Siang ini, tak seperti siang yang sudah-sudah. Raja cahaya tertutup awan kelabu. Aku yang sedang duduk di tepi jendela, dikejutkan dengan langkah-langkah cepat yang menuju ke arahku. Segera aku menoleh. Mataku langsung tertumbuk padanya, sosok gadis kecil lucu berponi berseragam merah putih yang diam menunduk. Senyumku melebar, segera kusambut dia.
“Hei, sudah pulang, Sayang? Dijemput siapa tadi?” tanyaku sambil membantu melepas kancing seragamnya. Aku mengernyit. Hingga beberapa detik, tak juga kudengar sepatah kata pun keluar dari bibir mungilnya.
“Rena kenapa?” nada tanyaku yang cemas masih juga didiamkannya. Ia menepis tanganku yang masih sibuk melepaskan kancingnya. Aku tersentak. Untuk sesaat, kubiarkan dia melepas sendiri seragamnya, sementara aku ke dapur, berkutat dengan gelas, toples gula, dan susu cokelat. Lima menit kemudian, aku kembali dengan segelas susu cokelat, untuknya. Rena menerima gelas yang kusodorkan, setelah mengganti seragamnya dengan legging bergaris dan kaos bergambar beruang.
“Ngapain aja tadi di sekolah?” aku duduk di sampingnya. Dia masih membisu. Hanya tangannya yang sebentar-sebentar mendekatkan gelas ke bibir, meminum sedikit-sedikit susu cokelatnya. Aku mengernyit. Ada apa dengan gadis kecil yang biasanya banyak bercerita ini? Untuk sementara, kudiamkan ia. Sejenak, aku sibuk sendiri dengan ponselku.
“Mbak Dara, aku mau sekolah kayak Mbak Dara aja!” celetukan itu membuatku menoleh. Keheranan.
“Eh, maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
“Ya kan Mbak Dara sekolahnya di rumah aja, belajarnya cuma pakai buku sama internet. Aku pengin kayak gitu aja!”
Aku terbelalak. Kenapa tiba-tiba Rena berkata begini? Aku memang kuliah di universitas yang punya sistem belajar jarak jauh, jadi hampir seluruh waktu kuliah kuhabiskan di rumah. Aku baru pergi ke kampus kalau ada ujian akhir.
“Lho, memangnya sekolah Rena kenapa? Enak dong, di sekolah Rena, malah banyak temennya.”
“Nggak! Sekarang temen-temenku pada nakal semua! Jihan, Nabila, sama Syifa, sekarang malah temenan sama Gita.”
Aku tertegun. Gita, ya, aku ingat nama itu. Rena pernah bercerita tentangnya dua hari lalu. Saat itu, Gita menemukan kotak pensilnya di dalam tas Rena dan menuduh Rena mencuri kotak pensil itu. Padahal, ketika itu Rena sedang bermain di halaman. Pernah juga, Gita sengaja mematahkan pensil Rena. Aku heran, bagaimana bisa anak kelas satu SD melakukan itu?
“Ya coba berteman sama yang lain juga, dong. Teman Rena kan nggak cuma mereka bertiga.”
“Lagian, nilaiku sekarang jelek-jelek, Mbak! Aku mau balik ke TK lagi aja! Di TK, nilaiku A terus! Sekarang nilai ulanganku cuma delapanpuluh lima, nggak seratus.” Rena masih bercerita, tanpa mempedulikan ucapanku tadi.
“Eh, siapa bilang kalau ulangan itu harus dapat seratus? Delapanpuluh lima itu bagus, lho! Pinter deh, adikku ini!”
“Bunda bilang, aku harus dapat seratus terus, biar bisa ranking satu. Terus, aku juga harus hafal Al-Quran, biar bisa ikut lomba tingkat propinsi.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Tak menyangka, ternyata di balik sikap cerianya yang selama ini kulihat, Rena yang masih berusia enam tahun itu merasa tertekan dengan target-target yang dibebankan orangtuanya. Mungkin ini penyebab Rena murung beberapa hari belakangan. Eyang sering bercerita padaku, jika Rena selalu menangis setiap akan pergi ke sekolah.
“Mbak Dara, nonton Sherina, yuk!” ucapnya tiba-tiba sembari berlari menuju kamarku. Aku tertawa pelan. Beberapa saat kemudian, Rena sudah asyik menonton Petualangan Sherina, film yang sangat terkenal di masa kecilku dulu. Rena langsung menyukainya sejak pertama kali kukenalkan film itu padanya.
Di sela-sela film, kudengar Rena tertawa dan bernyanyi mengikuti suara merdu Sherina. Aku tersenyum melihatnya. Kuharap mulai hari ini senyum dan tawa cerianya bisa kembali lagi. Semoga…
♯
No comments:
Post a Comment