Ini arsip wawancara saya
dengan beberapa tokoh yang sempat saya bawa pulang. Beberapa, ada di Majalah,
Koran, dan Bulletin yang tertinggal di Kos dan Kontrakan. Maklum, selama 3
tahun saya tinggal di Rumah Kontrakan yang berbeda, kontrakan tersebut adalah
komisariat salah satu organisasi. Jadi, ada banyak berkas yang tertinggal
disana. Sayangnya, yang tertinggal lebih banyak.
Sejak menjadi mahasiswa,
saya wawancara banyak orang dan tokoh. Mulai dari pejabat birokrasi di pemkot,
rektor, pejabat kampus, akademisi, hingga orang biasa. Kata banyak orang, karir
saya bisa lebih melejit jika bergabung dengan media level diatasnya. Mungkin
begitu. Tapi tidak semua media memang spesifikasinya adalah wawancara tokoh.
Entah kenapa, karena
kebetulan juga kala itu saya berada di Majalah yang baru saja terjadi rotasi
pimpinan. Biasanya, tugas wawancara langsung diambil alih oleh kepala editor.
Tapi karena kepala editor yang baru sangat sibuk, maka tugasnya diberikan ke
saya. Saya pun dapat jobs khusus : wawancara tokoh. Wartawan lainnya, dapat
jobs liputan kegiatan.
Wawancara tersebut,
memberikan kesan tersendiri, karena kita berhadapan langsung dengan tokoh yang
level akademiknya jauh diatas kita. Bahkan sudah Doktor dan Profesor. Bagi
wartawan kawakan, Wawancara semacam itu mungkin tak ubahnya ngobrol
biasa. Tapi bagi saya, yang masih belum apa-apa ini, ada banyak hal yang perlu
dipersiapkan.
Pertama, Penampilan.
Maklum, saya termasuk orang yang cuek dengan penampilan. Kalau kuliah, jarang
pakai pantofel, jarang baju di masukkan, apalagi rapi. Kadang menggunakan
sepatu ketz. Penampilan sangat penting, apalagi bagi orang akademik. Tapi kalau
wawancaranya di luar kantor, itu tak menjadi soal.
Kedua, tentu saja
pertanyaan. Karena ini wawacara langsung, bukan liputan lapangan, jadi
pertanyaan harus tepat dan padat. Artinya, karena narasumber kita seorang
akademisi, maka pertanyaan yang kurang tepat kadang justru menjadi obyek
kritik. Jujur, saya sering kali mengalami ini. Tak sedikit narasumber yang
justru mempermasalahkan pertanyaan yang kita ajukan.
Ketiga, Mental. Ini yang
paling berat menurut saya. Karena sebagus apapun pertanyaan dan penampilan,
kalau mentalnya tak siap, semua tak akan berjalan maksimal. Memang harus PeDe
saja. Tidak perlu merasa rendah diri. Itu kunci agar terlihat fine. Tapi
tetap saja, meski sudah beberapa kali wawancara tokoh, setiap ada tugas baru,
rasa dredeg itu selalu muncul. Tapi setelah wawancara itu berjalan,
semua cair seketika.
Lambat laun, saya jadi
menikmati aktivitas ini. Tidak hanya dalam tugas-tugas formal, kebiasaan
wawancara ini mempengaruhi saya ketika bertemu dengan orang –yang
sekiranya—menarik untuk diketahui lebih lanjut. Intinya, kebiasaan wawancara
ini membuat saya jadi sering bertanya banyak hal, baik dengan orang lain, atau
bahkan diri sendiri.
Pernah bergabung dengan
koran lokal dan media online, namun karena sifatnya berita, maka aktivitasnya
lebih pada liputan peristiwa atau isu tertentu, kalaupun ada wawancara dengan
seseorang, biasanya hanya meminta satu persepsi singkat atas isu atau peristiwa
tersebut. Misalkan, tentang kasus plagiat seorang dosen, kita akan bertemu
rektor dan mengajukan pertanyaan seputar itu saja, dan itupun sifatnya hanya
pelengkap dalam sebuah berita agar disebut cover both side.
Berbeda dengan
wawancara, disitu kolom khusus, kadang dalam dua lembar isinya wawancara dengan
satu tokoh tersebut. Artinya gagasan, persepsi, hingga pengalaman orang yang
kita wawancara tersebut secara total kita gali. Meskipun mungkin saja, hanya
untuk mempertanyakan satu topik tertentu. Tapi setidaknya, itu bisa memberikan
satu pandangan yang lebih utuh ketimbang hanya sekedar meminta respon atau
klarifikasi.
Sebenarnya, saya
tertarik untuk membuat rubrik wawancara khusus yang secara total membahas
novel. Wawancaranya langsung kepada novelis-novelis yang bersangkutan.
Inspirasi ini muncul karena saya sering baca Majalah Rolling Stone. Iri saja
ada Majalah yang secara total membahas musik, dan yang dibahas tidak hanya
musik-musik pop yang marketable, tapi musik cadas hingga personalitas musisinya
pun juga diangkat. Sungguh menarik, bukan? Semoga cita-cita ini bisa terwujud,
entah kapan.
Belakangan ini, saya
memang lagi fokus belajar membuat media online. Media belajarnya blog dulu,
karena blog kan gratis. Saya pernah bekerja sebagai penulis kontent dan disitu
saya belajar juga bagaimana membuat tulisan yang spesifik diperuntukkan media
online. Memang tidak jauh berbeda dengan rubrik di media konventional seperti
Koran dan Majalah, bedanya, media online lebih cair dan cenderung lebih bebas.
Tapi kalau terlalu bebas nilai “sakral-nya” jadi berkurang juga. Seperti
kebanyakan media online yang sering kita dapati ternyata antara judul, isi dan
isu yang dibidik sangat tidak singkron. Intinya, biar orang ngeklik.
Ternyata, tidak hanya
Mahasiswa dan Politisi yang butuh idealisme. Penulis kontent dan pengelola
media pun juga, agar tidak ikut-ikutan melahirkan berita-berita ‘sampah’ yang
hanya mengejar rating and share. Karena semakin tinggi rating and share,
semakin tinggi pula uang yang didapat.
Pengalaman kerja di
Majalah, Koran, dan Media Online itu telah memberikan banyak pengalaman bagi
saya. Semoga kedepan bisa memiliki media tersendiri, amin. Meskipun punya
keinginan pula untuk menulis banyak novel, cerpen, dan puisi. Oh, mungkin saya
terlalu banyak keinginan. Hehe
Tapi ada satu keinginan
yang sangat saya suka, namun di satu sisi juga hampir-hampir mustahil untuk
diwujudkan. Apa? Menjadi musisi. []
7 November 2015
A Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment