dok. pribadi |
Ada dua bangunan besar
yang berada di selatan makan Bung Karno : Perpustakaan dan Museum. Hanya saja,
dua bangunan ini jauh lebih sepi di bandingkan makam. Terutama Perpustakaan
yang selalu nampak lengang. Mungkin, para peziarah tidak cukup waktu untuk
membaca koleksi buku, majalah, atau koran yang jumlahnya puluhan ribu tersebut.
Tapi yang menarik, dua bangunan ini berada dalam satu kompleks pemakaman.
Kenapa?
Tentu tidak terlepas
dari sosok Soekarno sebagai teladan sejarah. Seseorang yang rajin membaca dan
menghimbau seluruh rakyatnya agar tak melupakan sejarah (Jas Merah). Sekalipun,
pro-kontra sempat terjadi tatkala Presiden Soeharto memutuskan untuk memakamkan
sosok kharismatik ini ke sebuah kota kecil yang tersuruk dan tak memiliki akses
transportasi yang baik. Hanya saja, sosok Soekarno tetap bersemayam dalam hati
setiap anak bangsanya.
Selain soal pemakaman,
kelahiran Soekarno pun juga sempat memicu perdebatan. Ada yang mengatakan
Soekarno lahir di Blitar, karena memiliki rumah dan kedua orang tuanya
dimakamkan di Blitar. Ada yang berpendapat bahwa Soekarno lahir di Tulung
Agung, Kabupaten yang letaknya sebelah barat Kota Blitar. Meskipun statement
paling kuat kemudian menjelaskan bahwa Soekarno lahir di Surabaya. Ada jejak
arsitektural juga disana. Namun sebutan Bumi Bung Karno justru makin melekat
kepada Kota Blitar yang ‘beruntung’ karena Presiden RI Pertama itu dimakamkan
disini.
Membaca
Soekarno
Figur Soekarno yang
begitu populer dan juga revolusioner, memang membuat banyak orang
berduyun-duyun menyambangi makamnya. Seokarno diyakini bukan orang biasa, untuk
itulah, figuritas Soekarno tersebut langsung menyatu dalam tradisi jawa yang
serba asketis. Padahal, keberadaan dua bangun besar tersebut (Perpustakaan dan
Museum) bisa menjadi tafsir lain dari sosok Soekarno yang selama ini lebih
direpresentasikan sebagai ‘petilasan spiritual’.
Soekarno muda adalah
tipikal yang rajin membaca dan menuntut ilmu. Ia berguru secara khusus dengan
H.O.S Cokroaminoto, dan bahkan, Soekarno banyak melahap buku-buku yang
melampaui usianya. Konon, setiap ba’da isya, dibawah remang cahaya ublek
(temaram) Soekarno membaca buku-buku pemikiran dan pergerakan. Soekarno pun,
termasuk satu diantara jutaan anak muda kala itu yang bersemangat untuk
melanjutkan pendidikan, sekalipun nasibnya terseok-seok karena kolonilisme yang
tak mengijinkan anak pribumi menjadi cerdas.
Soekarno pun sosok yang
mencintai sejarah. Tak jarang dalam setiap pidatonya, Soekarno membawa
nama-nama wayang. Ia juga memahami banyak sejarah dunia, termasuk ketika
berkunjung ke Rusia dan mendapati jejak-jejak Islam disana. Ia bahkan meminta
Presiden Rusia kala itu, untuk memugar sebuah makam tokoh Islam terkemuka yang
ternyata adalah Imam Bukhari, ahli Hadits yang begitu masyur. Bahkan sangking
kuatnya pengaruh Soekarno, sampai ada Masjid biru bernama Ir. Soekarno di
Petersburg Rusia. Konon, Masjid itu adalah jejak kekuasaan Islam dimasa lampau
yang kemudian dialih fungsikan menjadi gudang. Mengetahui hal itu kemudian Soekarno
melakukan komunikasi dengan Presiden Rusia dan menyuruh mengembalikan fungsi
Masjid itu sebagai tempat ibadah.
Soekarno sendiri juga
terkenal dengan slogannya, Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan Sejarah).
Kehadiran Perpustakaan
dan Museum tersebut seharusnya menjadi pengingat kita semua tentang sosok
Soekarno yang lain. Seorang yang tidak hanya dikenal sebagai mistikus, tetapi
juga seorang intelektual sekaligus budayawan. Yang rajin membaca (bahkan juga
menulis buku), yang mencintai sejarah, yang gandrung terhadap seni dan seorang
arsitektur ulung yang telah mendesain bangunan-bangunan bersejarah.
Kita tentu bangga karena
di Kota Blitar terbangun makam bung karno, namun kebanggaan tersebut tentu
bukan sekedar kebanggaan simbolik, melainkan harus secara dekat meneladani
sosoknya. Soekarno yang rajin membaca dan Soekarno yang mencintai sejarah.
Wallohu’alam.
18
Februari 2015
A
Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment