Salah satu adanya komunitas
menulis –termasuk FLP—adalah mengajak orang untuk menulis. Menulis apa saja,
mulai dari yang sederhana hingga yang berat. Sementara judul diatas, terkesan ‘
melawan arus’.
Dulu, dalam sambutannya ketika
mampir di acara rutinan FLP Blitar, Mbak Zie bilang kalau semua orang bisa
menulis. Motivasi yang sama hampir selalu kita dapatkan dalam acara seminar,
workshop, atau pelatihan menulis. Memang semua orang bisa menulis, maksudnya
bukan menulis huruf kapital, tapi membuat karya tulis entah itu artikel,
cerpen, dll.
Pada kesadaran yang sama,
kadang saya berfikir bahwa tidak semua orang itu harus menulis. Mungkin menulis
untuk sekedar memenuhi tuntutan akademik boleh-boleh saja, semisal menulis
makalah, paper, jurnal, hingga tugas akhir kuliah. Meskipun semua mahasiswa
pernah melakukan itu, tapi mereka tak bisa disebut penulis, yang disebut
penulis itu adalah mereka yang menulis secara berkesinambungan dan memang
benar-benar concern dalam bidangnya.
Seorang disebut cerpenis,
ketika dia banyak menulis cerpen –katakanlah seminggu sekali—dan cerpennya
terpublikasi serta dinikmati oleh banyak orang. Seorang eseis, adalah mereka
yang memproduksi karya-karya esei dan terpublikasi. Seorang novelis, tentu
adalah mereka yang pernah menulis novel dan novelnya terbit. Begitu pun
seterusnya.
Dan yang penting juga, tidak
hanya belajar menulis, belajar apapun memang harus fokus. Masdhar Zainal, salah
satu cerpenis muda yang namanya tengah merangkak naik, bercerita bahwa untuk
mendapatkan kosakata baru, setiap pagi dia membuka kamus bahasa indonesia,
mencari – menghafalkan – serta memodifikasi kata-kata baru, atau yang jarang
diketahui publik. Belum lagi dengan aktivitas membacanya. Artinya, cerpenis
sekelas Masdhar saja masih belajar setiap hari. Ingat. Setiap hari.
Sementara, beberapa ‘calon
penulis’ yang belum punya kelas –termasuk saya—kadang ogah-ogahan untuk
sekedar belajar, atau menghasilkan karya tulis. Misalkan, ada seseorang yang
curhat dan sedikit mengeluh tentang sulitnya menulis esai. Namun keluhannya itu
tidak sebanding dengan usahanya. Misalkan, dalam seminggu kurang dari lima esai
dia baca. Itupun kalau memang beneran dibaca. Sementara saya sendiri, setiap
minggunya membaca lebih dari 20 esai. Itupun kadang masih tertatih.
Juga, ada yang mengeluh soal
kebingungan dia nulis cerpen. Bingung yang sekedar bingung. Bukan bingung
karena sudah usaha. Bingung tapi jarang baca cerpen dan jarang datang ke acara
bedah cerpen FLP Blitar yang hanya seminggu sekali itu. Bingung tapi nggak
pernah mau berusaha untuk mengatasi kebingungannya dan hanya mengeluh.
Yang seperti ini, sebaiknya
memang tidak harus menulis. Dan tidak semua orang pun harus menjadi penulis. Realistis
saja. Saya misalkan, meskipun suka menyanyi, tapi juga tak harus menjadi
penyanyi, dan memang tidak ada usaha untuk menjadi penyanyi.
Anda renungkan, ketika ada
orang yang curhat dan bahkan mengeluh soal sulitnya menulis, tapi dia jarang
membaca dan belajar menulis. Itulah sedikit hal yang sering saya dapati ketika
harus mengelola komunitas menulis. Yang seperti itu kadang saya susah memberi
saran. Karena mungkin bukan saran yang dia butuhkan, tapi hanya ingin orang
lain mendengar keluhannya.
Sayangnya, tidak semua orang
nyaman dengan keluhan-keluhan yang sekedar keluhan itu. Termasuk di FLP Blitar,
jika ada yang ingin menulis, lebih baik yang serius saja. Yang tidak serius
mending tidak perlu menulis, karena tidak ada seorang pun yang bisa menjadikan
kita penulis, kecuali diri kita sendiri. (*)
Blitar, 26 November 2015
A Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment