Suasana bedah karya FLP Blitar |
Kadang saya
juga heran kenapa Alfa Anisa bisa begitu ngeh nulis puisi dan bertebaran di
berbagai koran. Dan kalau diminta menjelaskan, selalu bingung bagaimana
memulainya. Apa jangan-jangan ini semacam euforia?
Dulu saya juga
tergolong rajin nulis esai atau artikel ilmiah di koran-koran. Bahkan beberapa
koran yang tak ber-honor pun. Tujuannya sebenarnya lebih pada euforia karena
kala itu, sebagai mahasiswa, punya tulisan yang terpajang di koran itu nampak
keren.
Baru setelah
mengurus Majalah, yang sering saya tulis adalah tugas-tugas liputan dan
wawancara. Ingin menulis lagi seperti dulu, tapi feel-nya agak berbeda. Apalagi
setelah booming media online. Hasrat menulis esai itu bisa dengan mudah nan
cepat tersalurkan.
Dan untuk
mengikuti jejak Alfa Anisa yang ngeh nulis puisi, saya pun belum tentu punya
feel. Sekarang, entah kenapa faktor feel menjadi sangat penting ketimbang
faktor teknis. Mungkin karena hidupnya berada di iklim “kebebasan”. Bebas
artinya, tidak seperti dulu waktu di Majalah dan koran, yang hidup dalam
deadline. Makanya ada slogan : deadline is my inspiration.
Untuk Alfa,
sastrawan memang sepertinya tidak dilatih, namun diciptakan. Yang dilatih itu
adalah wartawan dan akademisi. Apalagi kontent writer, pekerjaan yang sangat
mudah untuk ukuran orang yang pernah menjadi wartawan.
Tapi ada yang
bilang, kalau seorang wartawan bisa bertransformasi jadi apapun. Hampir semua
tokoh besar, atau penulis besar (termasuk sastrawan di dalamnya) rata-rata pernah
menjadi wartawan, meski hanya wartawan kampus. Kenapa wartawan? Karena berita
adalah jenis tulisan yang paling sederhana diantara semua tulisan.
Kata Mathew
Arnold, sastra adalah hirarki tertinggi dari proses intelektualitas manusia.
Artinya, jika bahasa berita adalah bahasa paling sederhana, maka bahasa puisi
adalah bahasa paling tinggi. Tinggi dalam arti, karena memungkinkan adanya
tafsir dan sebagainya. Sementara berita, tidak boleh ada tafsir. Harus jelas
dan lugas.
Makanya, kata
Ronald keating dalam Dead Poet Society, tidak ada seorang pun yang menjadikan
sastra sebagai tujuan. Meski sastra kini sudah di-institusional-kan menjadi
fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi. Namun mereka yang mengambil kuliah
sastra, tidak serta merta menjadi sastrawan, karena itu tadi, sastrawan tidak
dilatih, tapi diciptakan.
Maestro Puisi
kita, Chairil Anwar bahkan tidak jelas latar belakang pendidikannya. Taufiq
Ismail juga, seorang yang kini dikenal sebagai sastrawan, kuliahnya justru di
kedokteran hewan. Apalagi Ajib Rosyidi, tokoh media dan juga sastrawan
legendaris, bahkan hidup tanpa ijasah apapun. Termasuk Buya Hamka, dan apalagi
Pramoedya, hingga Dee Lestari. Dee Lestari bahkan lulusan FISIP.
Begitulah
kira-kira. Maka puisi itu didiskusikan saja, jangan di teorikan. (*)
Blitar, 19
Januari 2016
A Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment