Bagi saya, sastra,
termasuk diantaranya cerpen adalah jenis tulisan yang memiliki dimensi berbeda
ketimbang jenis tulisan lain seperti Artikel Ilmiah, dan apalagi berita. Kalau
berita harus berdasarkan fakta, Artikel Ilmiah biasanya lebih menyoroti topik
tertentu dan harus dijelaskan secara mendetail. Misalkan, artikel ilmiah
tentang kesenjangan ekonomi, penulis harus secara detail menjelaskan apa itu
kesenjangan ekonomi, apa masalahnya, dan bagaimana solusinya. Tentu saja harus
sesuai fakta dan data yang akurat.
Kita membaca berita
untuk mendapatkan informasi (reading to get information), kita membaca artikel
ilmiah populer untuk mendapatkan data dan opini (reading to get perspective).
Misal, kita membaca artikel tentang kecantikan, tujuan kita tentu ingin tahu
apa yang dimaksud dengan kecantikan, fakta-fakta tentang kecantikan, dan
bagaimana memperolehnya. Termasuk opini tentang kecantikan dari yang ahli
dibidangnya, katakanlah dokter kulit atau ahli farmasi.
Untuk itu, jika ingin
menjelaskan sesuatu secara gamblang, mending menulislah artikel ilmiah populer.
Termasuk menulis tentang hukum-hukum, menulis tentang pendidikan, menulis
tentang segala hal yang menurut kita salah dan benar.
Lalu bagaimana dengan
cerpen? Untuk apa kita membaca cerpen? Cerpen adalah jenis berbeda dari berita
atau artikel ilmiah populer. Dibandingkan esai, cerpen hampir memiliki
kesamaan, dalam aspek memotret realitas. Bedanya, esai bisa ditulis dalam
bentuk yang cair layaknya bahasa berita seperti esai-nya Dahlan Iskan, bisa
juga ilmiah seperti tulisan Radhar Panca Dahana, bisa juga puitis seperti
esai-nya Goenawan Mohamad. Tetapi cerpen memiliki bentuk tersendiri, harus ada
dialog, alur, tokoh.
Persamaannya, esai dan
cerpen tidak harus menjawab sesuatu secara ilmiah maupun datable layaknya
Artikel Ilmiah. Kalau Artikel Ilmiah harus Ilmiah, kalau cerpen bisa
menggunakan isyarat-isyarat ilmiah, bisa juga tidak, tergantung selera.
Karena masuk dalam
genre sastra, cerpen bagi saya adalah karya tulis yang sangat terbuka pada
segala bentuk realitas. Justru akan sangat membingungkan ketika dalam cerpen,
atau karya sastra tersebut, realitas ditutup tutupi, atau misalkan di sensor.
Karya sastra, dalam hal ini cerpen, adalah upaya menghadirkan realitas dalam pikiran
pembaca.
Kita tidak bisa
menyebut cerpen-cerpen yang sekilas mendeskripsikan pornografi sebagai cerpen
porno. Konsep pornografi harusnya tidak ada dalam cerpen. Adanya di artikel
ilmiah, di artikel-artikel keagamaan. Misal dalam cerpen kita menulis, Lastri
melucuti bajunya di depan konglomerat dan memberikan tubuhnya untuk dinikmati
karena ia tak mampu membayar hutang.
Apakah itu bisa
disebut isyarat pornografi dan lantas kita menyebut itu haram? Iya haram, dalam
perspektif penilaian agama. Tapi bukankah kemampuan cerpen itu memotret
realitas? Ketimbang menyebut itu porno dan haram, bukankah itu lebih pada upaya
sang penulis untuk menunjukkan betapa seorang Lastri berada pada titik keputus
asaannya karena terlilit problem ekonomi. Dari kesadaran itu pula, akan
membangun empati pembaca, bahwa mungkin saja ada banyak realitas yang demikian.
Mereka yang karena faktor ekonomi, melanggar batas-batas etika.
Disitulah kekuatan
cerpen. Bukan sekedar memberi informasi, data, hingga opini, tapi mengajak
pembaca untuk merasakan (reading to feel) dan berempati. Mungkin cerpen
menyisakan pesan, tapi tidak selalu. Pesan itu bisa tersirat atau tersurat.
Atau bahkan seorang cerpenis kadang tak ingin berpesan apa-apa. Jika ingin
menyampaikan pesan secara eksplisit, lebih baik menulis artikel, bukan cerpen.
Bahkan menurut Plato,
Sastra itu mimesis (gambaran dari kenyataan), sastra pula, menurut Aristoteles,
sangat membutuhkan agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Sastrawan terkemuka
kita, Sapardi Djoko Damono, bahkan mengatakan bahwa sastra itu adalah gambaran
kehidupan, dan kehidupan sendiri adalah kenyataan yang terjadi.
Jadi dalam memandang
karya sastra, dalam hal ini cerpen, kita pun juga harus terbuka. Tidak boleh
hitam-putih. Tidak boleh sempit pandangan. Cerpen, dan apalagi novel,
dimensinya sangat luas karena merupakan mimesis (gambaran realitas).
Ambil contoh Novel-novel
Buya Hamka. Buya Hamka termasuk tokoh sastra (Islami). Misalkan novel “Di Bawah
Lindungan Ka’bah”. Novel itu masuk kategori novel Islami bukan karena tokohnya
Muslim, tapi karena nilai dalam ceritanya, dimana Islam menolak kastanisasi.
Hamid dan Zaenab tidak bisa menikah karena mereka dipisahkan oleh Kasta, Hamid
sebagai kaum miskin (Mustadafin) sementara Zaenab anak orang kaya. Perlawanan
terhadap kasta-kasta inilah yang merupakan pesan Universal Islam yang
terkandung dalam surat Al Hujarat : 13. Bahwa derajat seseorang bukan dari
kasta secara ekonomi, melainkan dari Ketaqwaan.
Tapi ingat juga, ada
satu adegan dalam novel itu dimana Hamid memberikan nafas buatan kepada Zaenab
yang bukan muhrimnya. Apa itu harus disensor dan bisa disebut melanggar moral?
Tentu tidak sesederhana itu. Karena sebagai sebuah realitas, maka harus
dipotret secara utuh agar pembaca pun bisa menangkapnya secara utuh. Seperti
halnya realitas, ia tak bisa dibendung.
Sehingga, jika hendak
menulis cerpen, maka paradigma yang harus kita bangun tidak seperti menulis
berita atau artikel yang sekedar memberi informasi, data dan opini. Tapi
bagaimana mengajak pembaca untuk ikut merasakan. Agar pembaca benar-benar
merasakan, maka deskripsi atas realitas dan keadaan itu memang sebisa mungkin
dihadirkan. (*)
Blitar, 18 Februari
2016
A Fahrizal Aziz
2 comments:
Menarik.
Herbal Jantung Tanpa Efek Samping
CANTIK, WRITING SHORT STORY MUST BE COLORFULL
Post a Comment