Oleh : Fitriara
Diantara jarak yang tak surut,
Ada kisah yang terkubur.
Perihal nyeri diantara buku-buku.
Dalam episode ini,
Mungkin wajahmu adalah asing yang tak kekal
Yang akan kuberi ruang di ingatan.
#
Sepuluh tahun yang lalu, aku adalah bocah lugu yang baru menginjakkan kaki ke Kota Patria. Blitar, tanah kelahiranku. Dua belas tahun hidup di kota keras Sidoarjo karena sumber mata air bersih yang langka apalagi sejak kejadian lumpur Lapindo saat itu, ditambah setiap hari matahari bersinar begitu congkaknya, lalu lalang kendaraan keluar masuk pabrik, dan bisingnya jalanan yang begitu menyeramkan.
Saat itu tidak kutemukan peluk yang hangatnya sama dengan dekapan Ibu yang jauh, maka aku memilih dekat dengan buku. Aku adalah siswa SMP yang biasa-biasa saja. Orang tua yang mencari nafkah di luar kota, membuatku mau tak mau hidup bertumpu pada kakiku sendiri. Awal mula kecintaanku pada buku adalah saat aku mengetahui Perpustakaan Nasional Bung Karno berdiri megah di pinggiran kota. Tanpa ragu aku mendaftarkan diri sebagai anggota, sehingga dapat membawa pulang buku itu satu satu. Karena katanya, “sebelum sosial media, buku telah terlahir lebih dulu untuk mengubur sepi.”
#
Aku menjadi candu. Tempat favorit aku meminjam buku saat itu adalah bagian selatan museum. Koleksi buku-buku anak, komik, roman picisan dan teenlit-lah yang mengambil hatiku saat itu. Seminggu sekali aku mengunjungi perpustakaan dengan bersepeda; kado Bapak saat aku berhasil masuk SMP (meski bukan SMP yang kuharapkan). Jika mengingat bagaimana aku mendaftar ke SMP... ah sudahlah, bukan saatnya membahas itu. Lain kali saja kita bertemu di kedai kopi untuk membahasnya. Sepeda yang dengan senang hati menemaniku kemana pun aku pergi.
Suasana di sini sungguh berbeda. Sejuk dan ramah orang-orangnya. Namun karena bahasa dan logat yang aku gunakan tak sama dengan bocah-bocah Blitar, aku cukup sulit untuk mendapatkan teman sepaham. Tak papa. Semua butuh adaptasi. Aku yang hobi mengelilingi kota, berhasil menemukan tempat pulang selain rumah. Tempat ngadem terfavorit. Perpustakaan Nasional itu salah satunya. Saat hendak memasuki pelataran tempat parkir, aku melewati pos satpam. Kusapa Bapak yang berseragam putih hitam itu, ia mulai hafal dengan bocah berseragam identitas warna merah muda yang setia dengan sepeda birunya. Angin lembut seolah menyambut setiap kedatangannya, sehingga membuat rambut sebahu, hitam, dan lurus itu menari nari. Cantik sekali.
“Mari, Pak.” Kataku dengan senyum tulus.
“Yuk, mari-mari. Mau pinjam buku lagi Mbak?” Sahut Pak Satpam.
Aku hanya cengengesan sambil mengayuh sepeda yang menggelincir ke tempat parkir.
#
Untuk kali pertama aku suka bepergian sendiri. Me-time, katanya. Aku berjalan riang menuju ke pintu masuk. Setelah menitipkan tas, aku memasuki ruangan ber-AC itu, menyapa penjaganya, dan mulai sibuk dengan buku-buku yang seolah melambai-lambai ingin menemani hari-hariku. Terkadang mataku bersinar ketika melihat buku yang covernya bagus, membaca sinopsis yang “ya ampun, ini aku banget!!”.
Tak tanggung-tanggung, aku mengambil 4 hingga 5 buku yang sudah mengerlingkan matanya padaku. Lalu aku mengambil posisi duduk di tempat baca, seolah sedang menjawab soal Ujian Nasional, aku bingung memilih mana yang harus kubawa pulang. Maklum, perpustakaan hanya memberi kesempatan untuk meminjam maksimal 2 buah buku saja. Setelah bertapa cukup lama menentukan pilihan, akhirnya kukembalikan buku-buku pilihanku tadi ke tempat yang susah dijangkau. Ini kebiasaan burukku, menyembunyikan buku-buku pilihan yang tak bisa kupinjam saat itu, agar saat aku kembali setelah menyelesaikan buku yang ku pinjam, aku langsung tahu buku apa yang harus kubawa pulang. Meskipun, lebih banyak kecewanya, karena, ya, otomatis buku–yang kusembunyikan- itu sudah disabet orang lain. Lalu aku harus mengulangi fase pemilihan buku seperti sebelum-sebelumnya.
#
Waktu berlari bagai sedang berjuang memenangkan lomba maraton tingkat nasional. Tak terasa aku adalah siswa kelas 9 yang dihantui oleh Ujian Nasional. Hari-hariku sibuk dengan mengikuti les. Sepulangnya, aku harus duduk di madrasah diniyah dekat rumah. Setelah itu sibuk menjawab lembaran latihan-latihan soal yang memenuhi tas sekolah usangku. Aku merasa terhimpit waktu. Aku tak lagi sesering 2 tahun lalu dalam mengunjungi tempat favorit. Meski Ibu melarangku untuk membaca buku-buku yang bukan pelajaran sekolah, aku tetap keras kepala menyempatkan membaca novel tengah malam, dalam selimut, dalam remang-remang, hingga jatuh terlelap. Keesokan harinya, buru-buru aku mencari buku dalam selimutku itu lalu bergegas menyembunyikannya di almari pakaian. Pernah beberapa kali aku kepergok membaca novel—sepahamku itu tidak ada unsur porno atau hal-hal yang tidak seronok. Aku lupa apa judul bukunya. Hanya buku bersampul biru yang kuingat. Ia terampas sesaat setelah aku terpejam. Aku merasa ada yang menarik buku itu dari dekapanku. Ternyata Ibu. Aku melirik sekilas kemana Ibu menyembunyikan buku itu.
Gotcha! Keesokan paginya aku membuka rak pakaian paling bawah dan aku menemukan buku itu. Beberapa bulan menjelang UN, kebiasaanku mencuri-curi waktu untuk membaca novel akhirnya terbongkar lagi. Tak ayal membuat ku menangis tersedu-sedu karena bukan lagi buku yang terampas, tapi kartu anggota perpustakaanku.
#
Begitu cintanya aku dengan buku, hingga ia berhasil membuatku jatuh cinta juga dalam dunia menulis. Saat masuk SMK, aku berniat ikut ekstrakurikuler Jurnalistik. Diklat yang menyenangkan dan menantang membuatku merasa aku tak lagi menunggu bis di halte yang salah. Aku berhasil melewatinya.
Hobi membacaku tak punah oleh waktu, aku juga menemukan sahabat yang suka melahap habis buku. Dalam sekejap, aku, Lusi, dan Ike sudah terdaftar menjadi anggota perpustakaan Bung Karno. Kami selalu bersemangat bercerita mengenai buku yang kami baca. Lalu buku itu berputar sampai kembali ke pemiliknya. Kami selalu membaca novel di sela-sela guru menerangkan. Sama sekali bukan murid teladan. Menaruhnya di laci dan sebentar-sebentar menunduk untuk membaca. Ketika guru sedang mengawasi sekeliling, kami bertiga kompak duduk manis macam anak TK, khidmat mendengarkan ulasannya. Ketika guru menulis di papan tulis, kami kembali sibuk dengan bacaan kami yang sudah berpindah di atas meja dengan sampul LKS sebagai penutupnya. Begitu seterusnya.
#
Seiring bertambahnya usia, hal-hal spesial menurut kita pun berkembang. Kini tak lagi koleksi remaja, kami membabat habis koleksi yang ada di lantai dua perpustakaan Nasional Bung Karno. Satu Novel favorit yang paling kuingat dari sekian banyak judul yang sudah kubaca, adalah Mereguk Cinta dari Surga karya Abdulkarim. Novel bercover coklat keemasan itu ada di deretan teratas daftar buku favorit kala itu. Ia yang membuatku yakin bahwa takdir Allaah selalu baik. Ia mengajakku mengelilingi dunia, membuka cakrawala yang saat itu sedang labil tahap unbearable.
#
Satu lagi kebiasaanku, selain mencatat judul buku apa saja yang telah kubaca sejak SMP, mencatat poin poin penting di setiap buku, lalu mengupdatenya di Facebook. Aku yang juga ikut Rohis sudah memiliki semangat juang untuk berdakwah. Meski aku belum baik, setidaknya mari sama-sama untuk membaik lewat nasehat dari buku-buku yang kubaca.
#
SMK, masa-masa terindah yang entah kali keberapa membuatku jatuh cinta pada hal-hal yang kulihat kali pertama. Dunia jurnalistik yang ku tekuni sungguh asyik. Aku tersibukkan dengan lembaran-lembaran untuk menghiasi Majalah Dinding dan karya yang akan diterbitkan di majalah sekolah. Keadaan itu membuatku termenung, I was in for a big deal, tekuni lebih dalam atau pulang. Semangat itu yang membuatku bertahan hingga membawaku pada diklat jurnalistik di Tulungagung bersama rekan seperjuangan. Tak jarang tulisan kami mampir di lembar koran Blitar. Ada fotoku yang tersenyum simpul disana. Hal kecil itu membuatku bangga, meski aku tidak terfikirkan untuk memotong bagian itu lalu menempelkannya di dinding kamar seolah menjerit ke dunia bahwa “Hey, I have been there. Done that.” Aku sudah melakukan yang terbaik. Dalam versiku. Bukan versi orang lain.
#
Waktu berubah, musim berubah. Aku yang sekarang adalah seorang mahasiswi berhijab. Bermain-main di zona nyaman bukanlah saatnya. Aku tak lagi berhaha-hihi di sosial media. Pilihan buku agar terpilih menjadi nominasi terfavorit kian mengerucut. Namun jari jemari ku pun kian tak terlatih lagi dalam menari di atas kertas ataupun keyboard. Aku berusaha mendekat ke Asosiasi Jurnalis Warga Indonesia (AJWI), namun tak sampai memulai aku sudah mundur. Ingin bersilaturrahim ke Radar Blitar dan pedekate lagi dengan dunia lamaku, tapi nyaliku ciut. Sampai aku bertemu dengan Anisa Alfi Nur Fadhila, teman selaparku saat Kuliah Kerja Nyata (KKN), ia yang merupakan aktivis garis keras di Forum Lingkar Pena Blitar berhasil menyihirku agar ikut dalam dunianya. Diam-diam dia sudah menerbitkan banyak karya.
#
FLP, terlintas di benak, aku mendengar nama itu ketika masih duduk di bangku SMP. Ya, karena pelaksanaannya yang tidak lain adalah di Perpustakaan Bung Karno, tentu saja aku pernah tahu bahwa forum itu ada di sini. Di tempat yang tak butuh waktu lama untuk menjadi favoritku. Namun bertahun-tahun aku tenggelam dalam rasa takut. Berbagai pertanyaan berkelebat. “Bagaimana jika nanti aku gagal?” “Bagaimana jika nanti aku yang paling bodoh disana?” “Bagaimana jika aku tak bisa menyelesaikan tantangan yang diberikan?” and i was failed before i start. Memang segala sesuatu itu nampak rumit sampai hal itu selesai bukan?
#
Allaah menjadwalkan setiap pertemuan dengan senyuman, kenapa kita hadirkan ketakutan? 4 Desember 2016, menjadi saksi bersejarah. FLP telah melahirkan anak pertamanya. Sebuah antologi cerpen Jejak Jejak Kota Kecil. Aku pun membelinya untuk mengenal lebih dekat dengan penulis-penulis Blitar yang percaya diri menghasilkan karya. Ya, banyak kan diluar sana, bahkan kita yang sudah menekuni dunia menulis cukup lama, tapi tak cukup percaya diri untuk menyambangi penerbit, atau sekedar menjilid tulisan kita di percetakan sablon.
Kata Mas Kurniawan Gunadi yang kutemui saat acara Charity Talk yang diadakan oleh Katalis Pendidikan, “Kalau kamu mau nerbitin karya, jangan lihat kepada ‘nanti laku banyak gak ya, nanti banyak yang suka gak ya, nanti laku berapa eksemplar ya, saya mau bikin karya biar bisa menginspiasi orang lain.’ jangan. Fokuslah bahwa ‘saya mau nerbitin buku yang akan menjadi reminder saya pada khususnya dan orang lain pada umumnya’. That’s the point!”
#
Saat launching buku Antologi Cerpen, ada challenge untuk membuat tulisan Baper. Tidak disangka-sangka, bahwa tulisanku menjadi yang terbaper. Temanku yang memiliki nama pena Alfa Anisa yang menyebut nama akun instagramku pun kaget. Karena memang aku memakai nama ‘Perempuan Pertama’ saja. Biar misterius, katanya. Aku mendapat coklat yang bertuliskan “Inspirasi bisa datang dari mana saja, termasuk dari sini.” Entah siapa yang menulis itu, tapi aku sangat sepakat dengannya. Inspirasi yang biasanya hanya terlintas di benak namun enggan menulisnya akan menguap begitu saja. Semangat menulisku kembali hadir karena ucapan ajaib yang keluar dari mulut Penulis keren; Fauziah Rahmawati. Nama belakang kita sama. Semoga aku bisa mengikuti jejaknya.
#
Awal tahun 2017, aku mengakhiri ketakutanku. Kini aku bergabung di FLP. Forum yang luar biasa dengan orang-orang istimewa. Aku baru tahu, bahwa dosenku adalah ketua FLP Blitar; Ahmad Saifudin. Aku juga dipertemukan dengan tetanggaku, Mbak Lilik namanya. Yang ternyata sudah berkecimpung di dunia tulis menulis lebih awal, sejak berdirinya FLP Blitar tahun 2008. Aku juga bertemu Mas Fahrizal Aziz. Beliau pernah mengisi kajian di kampus beberapa waktu yang lalu. Orang-orang hebat yang ada di sekitarku, yang tidak akan kusadari jika aku tidak mengikuti Forum ini. Selain mereka yang kukenal sebelumnya, aku yakin, akan ada banyak hikmah dengan bertemu orang-orang baru. Either a blessing or a lesson.
Kini aku sedang mengikuti Reading Challenge yang diadakan oleh FLP Jatim. Resolusi untuk menumbuhkan kembali minat bacaku yang akhir-akhir ini malah lebih hobi membeli buku.
#
Kesulitan yang ku hadapi adalah ketika memulai dan mengakhiri, when I am stuck and nothing to write and no idea to give the ending. Kesulitan dalam memilih fiksi ataukah non fiksionist kah diriku ini. Ketika memilih fiksi, aku merasa sangat berdosa pada kemampuanku berimajinasi. Di sisi lain, ketika aku lebih memilih non fiksi, aku merasa bersalah pada dosen yang menggelengkan kepala tanda pasrah ketika melihat kemampuan menulis skripsiku yang sungguh memprihatinkan. Jika anggota muda FLP menyebutkan anggota pramuda yang dilema, aku adalah salah satunya. Kamu juga? Mari kita saling bertamu dan menemukan solusinya.
Jika kamu merasakan apa yang pernah aku rasakan; takut untuk memulai. Jangan turuti nafsu itu! Sekali lagi jangan! Mengutip ceramahnya John Green; Maybe there’s something you are afraid to say, or someone you are afraid to love, or somewhere you are afraid to go. It is gonna hurt. It is gonna hurt. Because it matters.
5 hari lagi adalah yaumul miladnya FLP. 9 hari lagi adalah yaumul miladku. Sungguh ini bukan kode. Semogaku untukmu para ahli perasaan, semoga kita bisa ‘Berbakti, Berkarya, Berarti’ dengan sesungguhnya seperti motto kita. Horas!
#
Oh ya, saran juga ya. Adain writing camp yuk. Terus aku mau jadi admin Instagramnya, masih sedikit sih ilmu desainnya, tapi semoga bermanfaat. Terus galang dana bareng-bareng gitu juga bisa mempererat pita cinta kita #ciegitu. Terus bikin film pendek. Kita bisa saling belajar ke yang sudah paham ilmunya. Boleh cek @reklamasa sebagai inspirator. Bisa juga dibuat musikalisasi puisi. Seru juga. Terus, rutin datengin penulis-penulis keren buat jadi motivator ya kak. That’s really worth it. Terus terus aja nih banyak maunya.
All in All, Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimushshalihat. Terima kasih ya Allaah, untuk tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya. Ketika kebaikan bernama lain kehilangan dan menemukan. Semoga detak dan detik kita kedepan semakin bermakna.[]
Blitar, 17-02-2017
(*) Dibuat untuk Writing Challenge FLP Blitar, dalam rangka menyambut Milad FLP
1 comment:
Done,
Post a Comment