Karya : Rozak Malta
Membaca adalah hal yang paling membosankan, apalagi menulis. Ketika Cinta Bertasbih, novel karya H. Habiburrahman El Shirazy, adalah satu-satunya novel yang pernah aku baca sampai tamat ketika duduk di bangku SMK, bahkan hingga sekarang. Tak ada hal lain yang tak membosankan, selain nongkrong bersama kawan-kawan yang ditemani hangatnya kopi hitam dan khasiat kafein yang membuat betah walau menembus malam.
Ujian akhir sekolah telah usai. Libur panjang menanti pengumuman kelulusan hingga PK2 (Pengenalan Kehidupan Kampus), walaupun tak tahu akan ke mana kuliahku nanti.
***
Terasa bosan menikmati kopi sendirian di rumah tanpa kawan diskusi. Ikutlah kawanku ke suatu tempat di mana para aktivis antikorupsi berkumpul. Tempat yang nyaman untuk menikmati kopi, ditambah diskusi-diskusi ringan yang membuatku serasa baru lahir di dunia.
Umur 20 tahun pada waktu itu, dan aku merasa tak tahu apa-apa. KRPK (Komite Rakyat Pemberantas Korupsi), adalah kawan baruku untuk menikmati kopi, yang telah membuatku sadar akan kebutuhan membaca.
Kuhabiskan waktuku di tempat itu, yang oleh kawan-kawan KRPK disebutnya Markas. "Membaca adalah melawan", kata seorang kawan yang sampai saat ini masih aku ingat. Doktrin yang membuatku betah di Blitar, dan ingin berjuang melawan pejabat yang korup, bersama KRPK Blitar.
***
UNISBA (Universitas Islam Balitar) yang akhirnya aku pilih untuk pendidikan S1-ku. Menjadi mahasiswa membuatku semakin butuh akan bacaan. Waktu kosong telah berevolusi menjadi waktu untuk membaca. Buku-buku Hukum dan Sospol yang membuatku betah untuk membaca, dan belum mengenal novel. Membaca satu buku membuatku butuh akan buku-buku berikutnya.
Dari kenapa alasanku memilih UNISBA, aku menjadi buronan Dosen. Tak pernah ada makalah atas namaku, apalagi di absen harian. Waktu kuliahku selalu kalah dengan agenda-agenda markas, entah itu aksi demo, advokasi petani, dan juga agenda luar kota terkait pengawalan kasus korupsi yang tak hanya di Blitar saja. Tentu itu membuatku tak paham akan menulis, karena dengan membuat makalah setidaknya aku akan menulis.
***
Dengan bertambahnya bacaan yang aku baca, malah membuatku semakin merasa rancu ilmu dan kehidupan ini. Hari-hari penuh dengan perenungan yang tak menemukan jawaban, malah menambah pertanyaan-pertanyaan yang kuanggap tak ada jawabannya secara absolut. Kenyataan dengan perenungan selalu nampak jelas, seperti hitam yang berdampingan dengan putih.
Sampai aku merasa, orang hidup sebenarnya tak berguna, hanya kebetulan hidup yang akhirnya akan mati. Tersisa satu pegangan yang membuatku terus merasakan hidup, bahwa "Kita Ada untuk Orang Lain".
Aku berlari ke buku-buku sejarah dan Islam. Adanya konflik internal di markas membuat aku jarang lagi ke markas, dan lebih sering menghabiskan waktu di rumah atau ke warkop (Warung Kopi).
***
Beberapa kawanku di desa, membujukku untuk ikut dan aktif di kegiatan karangtaruna. Beberapa kali selalu kujawab "jangan sekarang, masih fokus kuliah", selalu kuberi alasan-alasan yang tak masuk akal sebenarnya.
Dengan Ngopi Mbareng (minum kopi bersama), akhirnya aktiflah aku di Karangtaruna Mardhatilla Desa Banggle.
Beberapa bulan setelah dilantiknya kepengurusan baru dan aku menjadi koordinator Bidang Pengabdian Masyarakat, karangtaruna telah banyak membuat agenda-agenda besar yang melibatkan masyarakat.
Sejarah baru telah di buat oleh Karangtaruna Mardhatilla, seperti terciptanya gagasan wisata edukasi berbasis sampah, yang pada awal 2017 ini telah melaksanakan peletakan batu pertamanya.
***
Melihat perkembangan Desa Banggle yang sangat masif, Bapak Kepala Desa menginstruksikan kepada karangtaruna agar segera membentuk KIM (Kelompok Informasi Masyarakat). Suatu keadaan yang tak siap aku hadapi. Aku ingin selalu menghindar dari KIM, namun kenyataannya namaku masuk di dalam daftar anggota KIM. Mau tidak mau, siap tidak siap, kami sebagai anggota KIM harus menyajikan informasi-informasi untuk masyarakat secara cepat, dan membuat artikel-artikel terkait desa yang menyangkut politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Pengalaman menulis yang tak kumiliki, membuatku bingung untuk berguru ke negara mana supaya tulisanku layak dibaca oleh masyarakat.
***
Setelah dibentuknya KIM, kami beberapa kali menggelar rapat yang membahas proker (Program Kerja) dan persiapan lainnya untuk pelantikan pada bulan April tahun 2017 ini. Ada beberapa program yang membuatku harus belajar secara mendalam, seperti program Sekolah Menulis yang akan dibentuk untuk semua kalangan kepada masyarakat Desa Banggle, dengan harapan supaya masyarakat akan sadar/melek terhadap membaca dan tahu akan tulis-menulis.
Seorang kawan yang juga menjadi ketua KIM, sebenarnya telah berpengalaman di bidang Jurnalis. Namun, melihat kesibukannya yang tak akan mungkin all out untuk segera membagi ilmunya kepadaku, ia menyarankan agar aku mencari organisasi kepenulisan.
***
Tak sengaja aku melihat di Instagram, pamflet FLP (Forum Lingkar Pena) Blitar yang akan launching buku pertamanya, Antologi Cerpen Jejak-Jejak Kota Kecil dan Open Recruitment anggota baru. Beberapa hari aku mencari tahu tentang apa itu FLP, melalui Google.
Bergabunglah aku dengan FLP Blitar, meski tak memiliki skill menulis seperti kawan-kawan lainnya. Bahkan tak jarang karya mereka sudah diangkat di koran ataupun media lainnya, seperti pengalaman kawanku, Fitriara, yang foto dan tulisannya beberapa kali masuk koran Blitar. Sebenarnya aku juga tak jarang masuk koran, tapi terkait dengan aksi demo, tak seperti kawan-kawan FLP lainnya. Tapi tak apalah.
Kawan-kawan baru di FLP yang aku pandang hebat semua. Semoga akan meresap kehebatan mereka ke jiwaku dan akan kubawa ke Desa Banggle melalui Sekolah Menulis, yang akan segera dibentuk pada pertengahan tahun 2017 ini.
FLP juga telah membuka kesempatan untukku melatih menulis. Seperti Writing Challenge yang diadakan demi memperingati Miladnya yang ke-20. Aku memilih konsep menulis perjalanan pendekku dari mengenal tulisan hingga ke FLP, yang kuanggap tak terlalu sulit, tanpa harus mengarang dan penelitian. Konsumsi nikotin dan kafein pasti akan bertambah dengan nyamannya perenungan yang ditambah dengan gesekan pena di atas kertas.[]
Blitar, 22 Pebruari 2017
*dibuat untuk Writing Challenge FLP Blitar, dalam rangka menyambut Milad FLP ke-20.
1 comment:
Lebih mak "yussss" dibanding diranah puisi,sungguh
Post a Comment