Karya : Mila Jamilaturrosyidah
Burung Dara adalah burung yang paling setia, sekali menemukan pasangan yang cocok, sekali ia jatuh cinta, maka sekali itu pula mereka merasakannya berlanjut dengan menjaganya. Mereka juga sangat menghargai tuannya, meski terlepas dari rantai dan sangkar, mereka takkan meninggalkan tuannya, kata orang.
Tapi bagiku, Burung Gereja adalah burung yang paling setia diantara yang lainnya. Setidaknya bagiku, di sini aku sendiri, hanya kicauan merdu mereka dari atap dan dahan dahan pohon. Kehadiran mereka laksana anjing bagi orang Yahudi, laksana kucing bagi umat Muslim. Sangat spesial.
Aku hidup menyendiri, aku juga tak mengerti, seolah kehadiranku di dunia ini tak diharapkan, layaknya seperti keterpaksaan. Alunan kicauan merdu milik Burung Gereja, membuat senyum tipis terulas dari bibir pucatku. Setiap pagi kuberi mereka roti, di sore hari kuberi mereka sekantong gandum, bukankah mereka makan layaknya manusia. Ku-klaim mereka adalah milikku, peliharaanku. Meski, jauh sebelum aku kemari, mereka sudah terlebih dahulu menghuni pohon pohon di tempat ini. Kalau pun Tuhan marah padaku, dari tempat-Nya berada, sudah nampak terlalu jelas kondisiku di sini.
#
Jika Tuhan berbaik hati padaku, ijinkan kau mengklaim salah satu ciptaan-Nya sebagai kepemilikanku. Tidak dengan manusia, burung pun tak apa. Aku adalah seorang gadis, yang mungkin di tempat ini sudah tak bisa disebut gadis, tapi ingat aku bukanlah gadis malam, berkeliaran dan menggeliat di antara debuman musik, nafas berbau alkohol, dan udara dingin yang menguap bersama asap rokok. Rata-rata semua gadis seusiaku adalah pemuja matahari tenggelam, layaknya kelelawar, menyelinap keluar rumah dan mendatangi tempat remang-remang di setiap sendi kota ini.
Sedikit yang kutahu dari hasil menguping pembicaraan orang dan temanku. Tempat seperti itu bagai rumah kedua bagi mereka, dan mereka menamai tempat itu dengan ‘surganya dunia’. Meski begitu aku tak berani ke sana, mencium aroma di tempat itu saja pantang bagiku. Lagipula, aku secara tak langsung aku hanya bertamu di sini, dan diantara belasan juta penduduk di tempat ini , tak satu nyawa pun mengingat namaku.
#
Kau tahu, apa arti dari namamu? Jika iya, berarti kau adalah manusia beruntung. Jika kau tahu siapa yang membuatkan nama untukmu, berarti kau jauh lebih beruntung dari yang tahu arti nama mereka. Arti nama, bisa kau jumpa dalam kamus sejuta bahasa, kamus aneka nama. Tapi kalau penciptanya, tak mungkin kau jumpa dalam kamus apalagi tertera di buku rumus.
Bagiku, nama hanyalah sederet kata, berfungsi sebagai kata pengganti subjek, panggilan dan sapaan. Dan juga, ukiran di atas batu nisan. Selebihnya tak ada.
Kini namaku, adalah Calysta Anatasha, tak tahu apa artinya dan siapa pembuatnya. Dua kata itu juga tak ada fungsinya selain sebagai pengisi data dan kolom nama, tak ada tegur sapa. Satu hal lagi, aku selalu terbangun kala mendengar kicauan Burung Gereja, bukan jam waker, apalagi dering panggilan telepon genggam.
#
Setelah usai memberi sarapan untuk peliharaanku, aku berangkat ke sekolah. Tak ada teman yang mengajakku berangkat bersama dengan sepeda maupun berjalan kaki, kuputuskan berjalan kaki sendiri. Para pejalan kaki lain menatapku dengan tatapan yang mengerikan dan menusuk tepat di tengah kedua lensa mataku. Aku bak seorang pembunuh berdarah dingin, atau seorang buronan yang berhasil meloloskan diri dari jeruji besi.
Dengan perlahan, mereka berjalan mundur menjauhiku. Diantaranya berjalan dua kali lebih cepat meninggalkanku. Jalanan yang tadinya ramai pejalan kaki, sekarang lengang seperti ladang.
Perlu kutanyakan, apakah aku pengidap virus yang lebih mematikan dari Ebola yang menular lewat kontak mata dan udara. Atau aku ini sebenarnya limbah segala arah, yang dalam sekejap bisa menularkan berjuta penyakit, bagi mereka. Semua itu adalah sekumpulan opiniku yang mungkin bisa kususun menjadi esai berjudul ‘Serangkai Keluhan Hati’. Dan meraih penghargaan nobel, atas esai paling menyedihkan dan menyentuh hati.
Jauh di atasku, tempat matahari mengenakan kacamata hitamnya, mengacuhkanku yang kecil, kucel, dan kumal di bawah sini. Terik matahari, benar benar akan membuat aspal tak lagi hitam dan berakhir pudar, ini juga alasan mengapa para lansia seakan kehilangan daging dalam tubuh mereka. Karena daging dalam tubuh mereka mengerut dan mengecil, kulit pun keriput dan memiliki gelambir menakutkan seakan kulit mereka bisa sewaktu waktu merosot di tanah, menyisakan tulang belulang sebagai menu makan bagi keluarga belatung tulang.
#
Sepulangku, tak ada yang berbeda. Berjumpa teman, tak mungkin kusapa, atau mereka akan menganggapku gila. Berdiam diri di ruangan berukuran delapan kali delapan meter, sambil mengupas habis buku buku pinjaman dari perpustakaan, atau sekedar menulis siksaan batin di tempat laknat ini dalam lembaran harian.
Keluar di saat sore hari, memberi sekantong gandum untuk burung-burung gereja, setelah mendengar ejekan dari anak seusiaku dan cacian dari orang tua mereka, aku merambat untuk masuk ke dalam rumah. Ketika matahari tidur, aku menekuni setiap huruf di bukuku, menghafal bagian-bagian yang diperuntungkan. Setelah itu, hal yang sama secara berurutan terulang.
#
Hingga hari ini adalah puncaknya semua usahaku dan daya tahan batinku di sini, sidang skripsi. Sidang skripsi menggunakan bahasa daerah kota ini, astaga selama dua tahun ini aku tak pernah mempraktikkannya. Menghafal setiap kata di malam hari, kurasa cukup. Aku mandi dua kali lebih lama, memakai parfum yang tak pernah tersentuh, memakai baju terbaik yang kumiliki. Berjalan kaki, melewati banyak pejalan kaki lain, dan hal yang sama terulang lagi.
Bahkan, anak kecil di sini sangat pemberani sekali, melempariku dengan kerikil setiap aku lewat, mencoreti jendelaku dengan cat dan spidol, menghujaniku dengan snacks di genggaman tangan mereka. Pernah satu hari, aku mencoba menghampiri mereka, bermaksud menesahati mereka, siapa tahu mau. Namun, baru dua langkah, mereka menangis meraung-raung kesakitan, hingga orang tuanya datang dan memarahiku dan mencaciku. Kutarik lagi satu kesimpulan, anak kecil di sini tak hanya pemberani tapi juga pintar.
#
Tiga orang pria dan dua orang wanita, menatapku dari bawah hingga atas, mungkin memastikan tak ada pistol yang kusembunyikan. Pria paling kiri, mengenakan kacamata berbentuk lingkaran dengan rantai penyeimbang, terlihat paling tua diantara ketiganya. Pria nomor dua dari kiri, terlihat paling muda, dengan rambut disisir rapi ke belakang, mengenakan kemeja biru, dan memutar-mutarkan pena di tangan kanannya, kutaksir ia lebih tegas dibandingkan yang tertua. Di samping pria rupawan itu, seorang wanita tua dengan rambut keriting, berkacamata, mengenakan lipstik merah setebal roti isi buatanku. Di sebelahnya lagi, seorang wanita nampak lebih muda, dan segar, berambut jagung, dan sedari tadi menatapku tajam. Di paling ujung kanan, seorang pria, berambut coklat, memakai jas hitam, dan memiliki aura intimidasi yang paling besar.
Dua setengah jam sudah aku diberondong pertanyaan dari kelima dosen penentu atau lebih kusebut tim penyeleksi. Sungguh, diantara mereka tak ada yang ramah barang sekata pun. Tajam, penuh intimidasi, dan mengerikan. Sidang ini, sangat merusak kesehatan otak dan jantung menurut pengalamanku, maka kusarankan jika terjadi hal yang sama segeralah ikuti terapi jiwa.
#
Aku duduk di lantai sebuah bangunan yang megahnya luar biasanya. Menara Eiffel habis dicincangnya, Tembok Besar Cina runtuh ditebasnya, dan Patung Liberty memutih karena tiupannya. Aku sering kemari, meski berpuluh-puluh kilometer kutempuh dengan bis umum, menguras recehan di sakuku dan menyisakan ruang hampa di saku.
Tempat ini adalah ratu pariwisata di hatiku, tak perlu membeli tiket masuk bak bioskop, hanya perlu memberi satu keping uang logam, tak memberi pun tak apa, tak akan kena usir.
Aku cukup beruntung, di sini kutemukan seseorang yang sama denganku, dan dia mau menjadi temanku. Bahkan, ia mengajakku tinggal di negara asalnya, yang penuh jiwa toleransi dan dedikasi, serta jauh dari diskriminasi.
Demi Tuhan, aku ingin segera ke sana, dan menemui orang-orang yang memiliki binar harapan untukku. Keyakinanku takkan salah, Tuhan sangat bermurah hati padaku, masih menciptakan satu tempat di mana keberadaanku di sana pasti diterima.[]
Blitar, 23 Januari 2017
*dibuat untuk Writing Challenge FLP Blitar, dalam rangka menyambut Milad FLP ke-20.
No comments:
Post a Comment