Oleh : Alfa Anisa
Menunggu masih menjadi tokoh utama dalam setiap kesempatan. Dan begitulah, sore itu ketika adzan Maghrib berkumandang, kami baru sampai di halte depan Gedung Pratanu. Bertemu dengan penyair dari Kulonprogo-Surajiya, yang ternyata sama-sama menunggu jemputan panitia. Mungkin sekitar 15 menit, panitia datang untuk mengantar di penginapan yang ternyata jaraknya tak jauh dari lokasi acara.
Di penginapan, kami sempat bersih-bersih, mengeluarkan lelah yang sempat terkumpul, sambil berbincang takjub atas sambutan dari fasilitas panitia di sini. Sekitar pukul 7 malam, kami diantar ke tempat acara yang telah ramai sekali oleh anak-anak muda.
***
Satu kata yang terucap secara spontan saat langkah kaki memasuki pendopo gedung-menakjubkan. Lantas kami berkeliling diantara banner-banner puisi yang dipajang di sekeliling, ditemani salah seorang panitia yang bersedia menjelaskan ini dan itu. Menikmati instalasi puisi, ya begitulah mereka menyebutnya, dan di sinilah saya benar-benar berwisata puisi yang diolah dalam berbagai bentuk.
Entahlah, kebahagiaan seperti mendadak menyatu, sebab puisi di sini dihargai sebagaimana lazimnya puisi adalah bentuk sastra yang paling tinggi. Mengabadikan setiap inci dari produk-produk puisi menjadi salah satu yang tak ingin saya lewatkan, sebab barangkali bisa menginspirasi teman-teman yang ada di kampung halaman.
***
Komunitas Masyarakat Lumpur. Nama ini terdengar aneh, namun ternyata memiliki filosofi dan makna yang luar biasa oleh pendirinya yaitu Pak Helmy. Seperti kata Pak Imam Budhi Santosa yang menjadi pemateri di Mancing Sastra, membuat nama ngawur menjadi suatu daya tarik sendiri bagi orang awam yang mendengar. Sebelum acara inti yaitu Mancing Sastra dimulai, dan kami yang lelah berkeliling menikmati hidangan-hidangan puisi dalam berbagai bentuk, para penonton disuguhi dengan penampilan musikalisasi puisi dan baca puisi. Setelah itu acara Mancing Sastra yang ditunggu pun dimulai.
Kenapa dinamakan Mancing Sastra? Karena bertujuan untuk memancing orang-orang menyukai sastra. Begitulah kira-kira pengantar yang disampaikan oleh moderator. Setelah itu, Imam Budhi Santosa dan Tia Setiadi bergiliran menyampaikan sesuatu pancingan agar para penonton yang hadir bisa mencicipi umpan yang diberikan.
***
Pak Imam Budhi Santosa, ah mungkin lebih tepat jika dipanggil Bapak atau Kakek, karena sepertinya usianya seperti bapak saya di kampung halaman. Beliau menjelaskan bagaimana cara menulis puisi yang tidak hanya sekadar keindahan, tapi memperhatikan makna juga sangat penting dipahami. Puisi sebenarnya terdapat di mana-mana, dan tidak hanya sekadar mencipta dan meniru, tapi cobalah untuk perhatikan sekeliling, bagaimana cara kita bisa memancing puisi-puisi yang ada di sekitar kita. Sebab, sebenarnya puisi hanyalah memungut dari sekeliling.
Dan yang perlu diperhatikan jika menuliskan sebuah karya namun tidak dimuat di koran, antologi bersama, atau tidak diakui oleh orang-orang, namun sebenarnya karya itu tetaplah disebut karya sastra. Karya yang keluar dari pikiran dan hasil kontemplasi selama beberapa waktu.
Dan yang terpenting, di akhir pembahasannya Pak Imam sempat mengatakan, "Saat dia menjadi penyair, saat itulah dia menjadi dirinya sendiri." Sontak para penonton pun langsung bersorak.
***
Setelah itu giliran Bang Tia Setiadi yang memperoleh waktu untuk memberi umpan kepada penonton yang hadir. Diawali dengan menceritakan sebuah puisi, hingga berlanjut pada sesi tanya jawab. Tak terasa waktu mendadak lari begitu cepat. Sekitar pukul 21.30 acara pun ditutup dengan sorak sorai dan raut wajah yang belum puas, karena memang waktulah yang masih berkuasa saat itu.
Setelah sempat berbasa-basi dan berfoto sebentar, kami pun kembali ke penginapan diantar oleh panitia.
Simak terus piknik sastra ini yang agenda tgl 15 April adalah Safari Sastra bersama penyair Nusantara 😁.[]
April 2017
No comments:
Post a Comment