Oleh : Faridha Fajriyah
Malam yang membisu. Aku saksikan angin berlalu sembari menggoda
rambutmu, dan menyingkap ponimu hingga kening itu terlihat. Wajah teduh itu
masih tertunduk, juga membisu seperti malam ini. Perempuanku yang meneduhkan
pandangan, yang menjadi arah kakiku pulang. Ku dapatkan dia yang sederhana pada
sebuah masjid, sore hari pada sebuah acara buka bersama di madrasah tsanawiyah.
Bernama Anum Alfiyani, seorang perempuan yang membuat hatiku
jatuh cinta luarbiasa dengan segala sederhana yang melekat dalam hidupnya.
Perempuan yang tidak seharipun mengenakan polesan warna pada wajahnya, namun
dia tetap teduh dalam pandangan.
Ini adalah malam ke 673 sejak janji suci ku ucapkan demi
mempersuntingnya sebagai bidadariku. Di teras rumah ini dia selalu mengajakku
untuk berdua menikmati malam dengan secangkir teh dan potongan roti. Sembari
memainkan ujung rambut, dia memintaku untuk segera menghabiskan teh bikinannya.
"Keburu dingin tehnya, Bi," katanya dengan lugu. Tidak pernah ada
jawaban yang benar-benar membuatnya puas selain sikapku - dan meminum teh
buatannya-.
Mataku tak beralih dari wajah teduhnya. Dengan ekspresi
wajah yang pintar dia menceritakan banyak tempat yang pernah dikunjunginya
semasa masih sendiri. Perempuan mandiri yang selalu berusaha tampil tangguh di
depan semua orang yang mengenalnya. Meskipun sesungguhnya, dia tidak pernah
setangguh itu bila di depanku. Terlebih bila itu tentang ayahnya yang sudah
tiada, airmatanya akan mudah terjatuh. Sepertinya itu lebih menyakitkan dibandingkan
ku tinggal mati sekalipun.
"Besuk aku mau belanja sama ibu. Besuk lusa kan ada
rutinan baca yasin dan tahlil keluarga. Aku malu kalau nggak memberikan apa-apa
di acara besuk lusa. Beberapa kali rutinan aku nggak buat kue apa-apa gara-gara
sakit," ujarnya padaku penuh kepolosan.
"Lalu besuk mau buat kue apa? Uangnya cukup untuk
belanja? Besuk kita undang saudara kamu juga, berarti kamu pasti mau buat
banyak kue," jawabku memberikan penjelasan. "Aku hanya takut kamu
kelelahan. Sebulan pulang dari rumah sakit sebenarnya kamu belum boleh punya
banyak kegiatan,"
"Tapi aku nggak enak sama saudaramu. Aku udah sehat, tapi
nggak boleh bantu mereka pas repot begini," katanya ngeyel.
"Beli saja kue yang sudah jadi. Nggak perlu bikin kue,
nanti kamu malah repot sendiri. Besuk aku antar beli kue,"kataku akhirnya
memberi keputusan mutlak untuk masalah sederhana ini.
Memang begitu gelagat istriku kalau sudah punya mau. Kadangkala
terlalu memaksakan hingga tubuhnya jatuh sakit seperti sebulan lalu. Apalagi
istriku sedang hamil muda. Itu membuat aku takut terjadi apa-apa, karena sakit
sebulan lalu juga karena kelelahan. Dan repotnya lagi, perempuan juga selalu
memikirkan rasa tidak enak terhadap sesama saudaranya jika ada acara seperti
yang akan diadakan besuk lusa. Tidak enak jika tidak memberikan sumbangsih
untuk acara. Memberikan kue misalnya. Mengubah keikhlasan menjadi rasa
terpaksa.
***
Dua tahun lalu, di teras yang sama siang hari menjelang
bulan puasa. Di kursi yang sama, bersama seorang perempuan yang aku cintai. Kami
membayangkan akan duduk berdua setiap malam di teras rumahku. Menyaksikan tebaran
cengkrama bintang dan bulan yang menggantung tenang di langit legam. Tidak
banyak yang kami mau saat itu, kami ingin bisa bersatu dan menjalani hari-hari berdua.
Tak cukup sehari dua hari, dia menyaksikan bagaimana peluhku
terjatuh setiap siang demi rupiah untuk membantu keuangan ayah ibuku. Aku
bukanlah orang yang memiliki banyak harta waktu itu. Tetapi dia mampu
menemaniku hingga kemampuan kerjaku dilirik oleh banyak usahawan yang ingin
turut serta bekerja sama denganku.
"Dek, bulan depan aku beli motor yaa. Motor yang lama
sudah terlalu tua untuk mengantar barang-barang ini,"ucapku suatu ketika.
"Memang tabungannya sudah cukup?," dia bertanya
dengan nada tidak percaya dengan kenekatanku.
"Ada ... cuma kurang beberapa ratus ribu saja,"
jawabku dengan masih bekerja mengukir kayu-kayu pesanan pelanggan.
"Terus yang kurang ratusan ribu itu, dapat darimana?
Kerjaan kan belum ada yang selesai,"
"Kemarin pakdhe nyuruh aku menjual tujuh puluh potong
kayu jati. Aku mengambil keuntungan lima puluh ribu rupiah setiap potongnya.
Jadi cukup untuk tambahan beli motor. Malah sisa banyak. Nanti malam mas mau
bantuin angkat kayunya ke truk dari Malang, milik pembelinya itu," kataku
menjelaskan.
Dia senang sekali aku bisa membeli motor dari hasil jerih
payah sendiri. Aku juga mengatakan padanya bahwa sisa uang hasil menjual kayu
jati akan digunakan untuk membayar hutangku yang sudah dua bulan tidak ada
kabarnya. Cukup menjadi beban pikiran hutang-hutang itu dikepalaku. Dan seperti
biasa, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya selain kata "Iya, Mas
... Lunasi dulu semua tanggungannya, baru memikirkan langkah ke depan,"
Selalu itu-itu saja jawabannya. Memang belum pernah ku temui
perempuan sesabar dan begitu tulus menerima setiap ketidakistimewaan diri ini.
Suatu hal yang tidak bisa membuatku melirik perempuan lain selainnya dia. Dia
tidak pernah memintaku menjadi yang dimauinya, justru mendukung setiap langkah
yang aku jalani. Seperti pesan ibuku saat pertama memperkenalkannya kepada ibu.
"Jalani saja, kalau sudah waktunya berjodoh pasti terjadi pertalian suci
itu,"kata ibuku waktu itu.
***
Dua tahun menjalin kasih dengannya, aku semakin yakin dan ingin
segera meminangnya menjadi istriku. Ini adalah bulan puasa ke dua aku
bersamanya. Dia semakin rajin menasihatiku agar memperhatikan kesehatan, sebab
aku memang bekerja dari siang hingga malam. Apalagi kalau bulan puasa seperti
ini. Pesanan ukiran kursi dan pintu semakin banyak dan harus selesai sebelum hari
raya. Memang seperti kerja paksa, tapi itu demi keluarga dan juga kewajiban
sebagai seorang lelaki. Apalagi aku berniat untuk segera meminang perempuan
yang menemaniku disusah dan senang itu. Tidak enak juga anak orang terlalu lama
dibuat menunggu untuk dipinang oleh aku yang memiliki tampang pas-pasan.
Dan hari ini, aku menyisihkan waktu sehari untuk
beristirahat. Menaruh semua alat ukirku di gudang kayu sehari saja. Aku lelah.
Tapi alasan lainnya adalah, karena nanti sore aku harus menghadiri acara buka
bersama dengan alumni madrasah tsanawiyah. Acara itu bisa saja ku abaikan, tapi
aku harus datang sebab madrasah tsanawiyah tidak terlalu jauh dari rumahku.
Lima menit sudah sampai jika aku mengendarai motor.
Tapi aku cukup kecewa sesampainya di sana. Sebab dari enam
ratus alumni pada angkatanku, tidak lebih dari tiga puluh orang saja yang hadir
sore itu. Tahu begitu aku tidak datang saja. Namun kecewaku mati, ketika aku
temukan sesuatu yang sesungguhnya ku cari-cari. Pandanganku hanya berpusat pada
suatu tempat: Masjid.
***
Pagi ini aku menemani istriku membeli banyak kue untuk acara
yasin tahlil keluarga nanti malam. Istriku yang saat itu memang hamil muda terlihat
menahan lelah harus memilih banyak kue. Aku ada dibelakangnya, mengamati dari
belakang dan menunggu istriku selesai memilih kue. "Jangan lama-lama ...,"
tegurku padanya yang semakin bingung memilih kue.
"Iya, sebentar. Aku harus pilih kue yang pantas untuk
disuguhkan," jawabnya sedikit kesal dan terus memilih kue yang ada di dalam
etalase. Bingung memilih kue tradisional atau kue bolu. Belum lagi bingung
memilih kue yang memakai pewarna atau yang biasa saja.
Aku mendengus. "Dek, yang penting itu ikhlasnya. Beli
yang banyak dan yang enak, kalau cuma biar ga malu-maluin yaa percuma. Allah nggak
terima sedekahnya,"
"Tapi kn juga nggak boleh asal milih, Bi,"
jawabnya dan membuat aku diam. Jawabannya ada benarnya.
Berselang lima belas menit, akhirnya istriku selesai memilih
kue. Kue bolu isi keju dan lemper kesukaan ibunya menjadi pilihan untuk dibawa
pulang. Tersirat gurat sayu diwajahnya karena lelah. Aku tidak pernah tega melihat
istriku hingga selelah itu, tetapi dia juga keras kepala untuk mendengarkan
nasihatku.
"Beli camilan dulu ya, Bi. Aku pingin," katanya
sebelum pulang kerumah.
"Iya ...," tidak ada jawaban selain itu untuknya.
Dengan mengendarai motor, aku berbalik arah menuju penjual camilan
di samping pasar kabupaten demi melunasi keinginan istriku yang sepertinya
sedang nyidam makanan. Sesampai di depan penjual martabak, rasanya jantungku
hendak copot dari tempatnya. Berdiri di depanku seorang perempuan mengenakan
jilbab merah jambu yang pernah menemani susah senangku di kala aku bukan
apa-apa. Aku menatapnya, dia pun sama. Istriku sibuk memesan camilan kesukaannya.
Seperti hendak kiamat, bertemu dengannya disaat sedang bersama istriku. Yang aku
takutkan hanya bila istriku tahu bahwa dia adalah bekas kekasihku yang selama
ini membuatnya cemburu. Walaupun istriku tidak pernah tahu siapa perempuan
dihadapanku itu. Tapi sepertinya kesalahan sedang merundungku.
Dia, bungkam karena kelu. Diam menatapku begitu dalam
seperti menyampaikan lukanya yang masih lebar menganga. Memaksaku memutar
kembali kisah-kisah yang berakhir sengketa, tanpa ku tahu bagaimana nasib
hatinya. Dan masih dirundung kesalahan sedangkan dia bersikap biasa saja
seperti kita bukan siapa-siapa.
***
Terinspirasi dari sebuah cerpen Sepotong Hati Yang Baru.
No comments:
Post a Comment