4017 M, usia yang lumayan uzur untuk bumi tercinta. Udara
panas berkelana kemana-mana. Empat atau dua musim sama saja. Sama-sama
terselubung panas membara didalamnya. Setetes air sangat berharga untuk
manusia. Tanah retakpun masih bisa diterima, masih bisa ditempati dengan
bantuan teknologi.
Ketika hari berbaju malam, langit tak beratap muncul
dengan memamerkan bintang-bintang, rembulan dan awan tipis yang menghiasi.
“Ayah, aku ingin sekali memetik satu bintang untukmu”
celetuk Tia kepada lelaki paruh baya yang sedang menelentangkan tubuh di
rerumputan. Mereka sedang menikmati indahnya langit di laboratorium botani
lantai teratas rumah mereka. Atap rumah yang terbuat dari fiber glass itu
dibiarkan terbuka, mereka hendak menikmati gemerlapnya cahaya malam di langit
yang tinggi.
“Kamu bisa?” melepaskan lipatan tangan di bawah kepala.
Sejenak Edo memiringkan badannya, memandang lekat-lekat jawah putri semata
wayangnya yang sedang mengkhayal.
“Sudah larut, udara malam tak baik untuk kesehatan.” Edo
beranjak dari tempatnya. Berjalan melewati jejalanan kecil diantara barisan
tanaman. Sesampai di depan pintu masuk Edo menekan tombol merah bulat yang
berada samping daun pintu. Atap fiber glass itu menutupi laoratorium botani,
tanpa mengeluarkan sepatah kata Edo berjalan menuju ruang keluarga. Dengan
angkah santai Tia mengikutinya. Gadis polos itu tak mengikuti Ayahnya yang
kemudian duduk di sofa empuk depan TV. Tetapi Tia lebih memilih langsung masuk
kamar. Mematikan lampu dan tidur dengan tenang.
Sejenak Edo merenung, memandang foto almarumah istrinya
yang berada di meja kiri sofanya, menarik napas dalam-dalam dan
mengeluarkannya, seperti ada yang mengganjal di hati dan ingin segera
dikelurkan. Perlahan dia meraih satu album foto. Edo seolah berbicara pada foto
itu, tapi nyatanya dia tak mengeluarkan satu katapun. Setelah keganjalan itu
sedikit lenyap, diletakkan kembali foto itu pada tempat semula.
Hari cepat berganti. Seperti biasa sebelum berangkat
aktifitas Edo dan Tia sarapan di ruang makan.
“Ayah, hari ini aku ikutan seleksi tim 412 untuk
ekspedisi ke Kepler-1867f, planet kembaran bumi” Sembari menunggu Ayahnya
mengunyah makanan, Tia meminum susu dan merapikan pakaiannya.
“Semoga berhasil nak” Edo mengangguk mantap. “Jangan lupa
bawa bekalmu. Kalau ada apa-apa telpon Ayah. Kalau uang sakumu habis bilang.”
“Siap Ayah. Tia berangkat dulu”
Edo memangdang punggu putri semata wayangnya hingga
punggu itu menghilang dari pandangannya. Sejenak Edo meletakkan sendok dan
garpunya diatas piring. Bernapas panjang. Dia mengambil telepon seluler di saku
depan celananya. Memilih icon galeri. Mencari-cari foto almarhumah istrinya.
Setelah ketemu, dia bernapas panjang lagi.
“Dian, apakah kamu melihat kami disini? Lihatlah buah
hati kita. Dulu kamu bersusah payah mengajarinya membaca dan menulis. Hingga
SMA dia masih terbata dalam membaca, belum terampil dalam menulis. Dia sering
menangis tengah malam hanya karena dua hal itu.” Edo bernapas panjang sambil
mengedipkan mata perlahan. “Nampaknya buah hati kita punya mental yang cukup
tangguh. Hingga dia mampu menunjukkan kepada orang-orang kalau dia memang anak
hebat. Mungkin ini semua juga karena rasa sayangmu yang tiada henti kepadanya.
Sekarang dia hampir meraih impiannya. Menjadi astronot. Semoga kamu ikut
berbahagia di alam sana.”
Kini Edo dan putri semata wayangnya berdiri tegak di
ujung laboratorium botani. Menatap langit yang menyuguhkan pemandangan angkasa
sedang berevolusi dan rotasi dengan cepat. Mereka berdiam sejenak sambil
melipat tangan di depan dada. Membiarkan penat terbawa udara dingin yang
menerpa tubuh mereka.
“Pergerakan benda-benda angkasa di tahun empat ratus
tujuh belas beda ya Yah dengan pergerakan benda-benda angkasa di abad-abad
sebelumnya.” Tanya Tia kepada Edo sembari meliriknya.
“Bedanya apa?”
“Mereka lebih dekat dengan bumi dan lebih cepat
berevolusi dan berotasi. Kira-kira kapan ya hancurnya alam semesta itu
terjadi?”
Edo teresnyum. “Kamu masih ingat dengan gulungan selotip
yang ditekan pada ujungnya? Yang kamu perlihatkan kepada Ayah saat kamu masuk
pertama kuliah astronomi -- ”
“Dia akan berlari kencang dan pada titik tertentu dia
akan diam dan kembali menuju arah yang berlawanan, arah semula.” Lanjut Tia.
“Ya, kurang lebih seperti itu.” Edo memandang Tia.
“Kurang lebih hampir sama dengan teori-teori yang telah di kemukakan oleh para
ilmuan. Pada suatu ketika semua yang berevolusi dan berotasi akan berhenti pada
waktu tertentu dan akan berputar berlawanan dengan arah putar sebelumnya. Kita
hanya bisa memikirkan tetapi tidak ada yang tahu pasti kapan hancurnya alam
semesta akan datang.”
Tia memperhatikan Ayahnya yang sedang berbicara. “Wah,
Ayah hebat. Selain mahir dalam botani, Ayah juga tahu tentang astronomi” Tia
tersenyum riang.
“Bagaimana seleksimu sepekan yang lalu?”
“Tia terpilih Yah. Besok pagi-pagi Tia akan berangkat
menuju NASA
Tepat pukul sepuluh. Semua tim ekspedisi bergegas menuju
pesawat. Roket telah siap membawa pesawat mereka. Suara yang memekakan telinga,
udara panas dari bawah roket keluar, perlahan roket naik menerobos atmosfer dan
membawa pesawat tim ekspedisi keluar angkasa.
Setelah mendarat di Kepler-1867f mereka bergerak seperti
halnya di bumi. Berjalan, menggerakkan anggota tubuh, bergeleng, berbicara dan sebagainya.
Mereka tinggal disana untuk beberapa waktu. Melakukan penelitian di
Kepler-1867f guna memperoleh data secara akurt. Serta mengetahui gejala alam
apa saja yang terjadi di Kepler-1867f.
“Tak terasa sudah hampir tiga bulan di Kepler-1867f”
Batin Tia sambil mengusap-usap batu kecil yang ada di telapak tangannya. Batu
itu baru dua hari dia peroleh dari hujan meteor berkategori aman. “Ayah,
sebentar lagi aku pulang membawa bintang untukmu” Gumam Tia.
Ekspedisi sudah cukup. Perpulangan segera dilakukan.
Banyak hal yang dialami oleh tim ekspedisi 412 di Kepler-1867f. Tia
mengingat-ingat tentang apa saja yang telah lakukan di Kepler-1867f dia
termenung memandangi jendela pesawat.
Pesawat
komunikasi yang belum diarahkan ke Kepler-1867f dengan pesat hal itu membuat
para tim ekspedisi 412 kesulitan melakukan kontak dengan penduduk bumi. Hasil
penelitian ekspedisi hanya bisa di kirim ke NASA saja, itupun lambat. Karena
hal ini membuat Tia rindu kepada Ayahnya.
Bumi
masih tampak seperti bola ping pong. Itu tandanya jarak yang di tempuh masih
lumayan jauh. Ada gerakan aneh yang menyita perhatian tim ekspedisi 412,
kromosfer menyapu bumi! Perasaan campur aduk menyelimuti hati mereka, termasuk
Tia. “Ayaaah!!!”
Selesai..
Rosy Nur Sita
Ketua FLP Blitar
No comments:
Post a Comment