Apa dampak
dari membaca? Jawaban paling sederhana atas pertanyaan ini adalah, untuk menambah wawasan. Apalagi ada kalimat populer berbunyi : buku
adalah jendela dunia. Dulu mungkin iya, sekarang kalimat itu kurang relevan,
karena jendela dunia saat ini adalah internet. Internet menawarkan banyak hal,
yang bahkan tidak pernah kita fikirkan.
Lantas apakah
masih perlu membaca buku, jika sudah ada internet?
Kita perlu
ingat bahwa internet hanyalah wadah, atau sistem pencarian yang memudahkan kita
menemukan sesuatu. Tetap ada penyuplainya, yaitu pengguna internet itu sendiri.
Orang tidak akan pernah menemukan subyek “FLP Blitar” di internet jika tidak
pernah ada yang memposting tulisan tentang itu, entah melalui website, blog,
atau sosial media.
Sebagai orang
yang bergiat dalam bidang tulis menulis, pada akhirnya kita tidak saja sebagai
pengguna atau penikmat internet, tapi juga penyuplai tulisan. Tidak saja
sebagai konsumen, tapi juga produsen.
Jika kita
mencari data untuk tugas kuliah atau sekolah misalkan, kadang kita menemukan
postingan entah berupa makalah atau artikel ilmiah yang dilengkapi dengan
sumber. Kecil kemungkinan sumber-sumber tersebut berasal dari internet. Jikalau
sumbernya sebagian besar dari internet, itu sungguh keterlaluan.
Artinya,
membaca buku masih menjadi prasyarat. Tentu kita akan meragukan, bilamana ada
sebuah tulisan yang terlampau teoritik, namun tidak disertai dengan sumber.
Kita mempertanyakan tingkat validitasnya, mempertanyakan sandaran ilmiahnya,
apakah disandarkan pada pemikiran atau penelitian tokoh yang ahli dibidangnya
atau hanya sekedar imajinasi liar penulisnya.
Misalkan, ada
artikel yang menjelaskan jika tanaman tertentu bisa menyembuhkan total penyakit
ginjal, atau kanker. Mudah sekali? dunia kedokteran saja tidak berani sampai
mengklaim demikian. Makanya perlu data yang valid. Jika tidak, itu bisa saja
hoax.
Internet tidak
bisa sepenuhnya menggantikan buku. Meskipun tidak semua tulisan memerlukan data
pendukung, semisal catatan bebas seperti ini. Namun banyak hal dalam buku, yang
tidak selalu ada di dalam internet. Misalkan tentang pemikiran seorang tokoh.
Kita tidak cukup hanya membaca wikipeda, lalu merasa tahu segalanya.
Kita perlu
membaca buku yang pernah ditulis tokoh tersebut, untuk mengetahui pemikirannya
lebih mendalam. Kalau merasa tahu semuanya hanya karena info sekilas dari
internet, bisa bahaya.
Semisal, kita
kadung benci sebenci-bencinya dengan Karl Marx, yang merupakan ideolog
sosialis, embrio dari pemikiran komunis. Namun disatu sisi kita menggunakan
idenya untuk sesuatu hal, misalkan melakukan cara-cara represifmenekan rezim.
Demonstrasi, atau teori konflik lain, yang jelas-jelas merupakan buah pemikiran
Marx.
Internet
relevan sebagai media informasi, atau untuk menampung catatan-catatan ringan
lain. Kita tetap perlu membaca buku untuk mengetahui banyak hal yang lebih
kompleks. Tidak sekedar dipermukaan. Apalagi jika itu buku sastra seperti
novel. Kita tidak cukup hanya membaca ulasan atau sinopsis singkatnya yang
tertuang di internet, lantas kita merasa tahu keseluruhan isinya.
Kita tetap
perlu membaca buku, karena kompleksitas fikiran dan perasaan penulisnya ada
pada buku yang mereka buat. Lagipula, buku lebih awet. Berbeda dengan internet,
jika sewaktu-waktu dunia maya lenyap. Lenyap pula semuanya. Tapi buku tetap
tersimpan rapi di rak, meski kini banyak yang berdebu. []
7 Mei 2017
A Fahrizal
Aziz
No comments:
Post a Comment