Gemericik
air bergelembung didalam oxygen yang di bingkis sebotol cairan tersadur angka
penuh nominal. Hening. Malaikat pemikul harapan terus berjalan dari utara ke
selatan, bersimpangan dengan sepasang kaki yang bergerak gelisah diatas
rerumputan petak paving. Deru mengendus harum kereta berisak menggiring dari
samping, menikung kehidupan diambang kematian. Ambulance dan Kereta Jenazah,
mereka kembar. Namun dari dua sel pengisi yang berbeda.
Disisi lain sepasang kaki tadi adalah
milikku. Menyebrangi jembatan layang beraspal dengan pilar menyokong kaum atas
sampai rendahan. Dari kokohnya pilar besar dan tembok bertuliskan 'Rumah Sakit
Daareh' telah meruntuhkan sebagian nafas orang-orang. Boleh menilik seluk timeter
yang memompa, dan menancap sampai jela
epidermis terdalam. Langit terurai tanpa kerlip bernama bintang, ia malu
menerang saat aku mulai mengarang.
Remang
dan terang di pinggiran trotoar bak kulit tipis bibir terpecah jeruk nipis,
setipis senyum mendapati saji jemari. Ah! Nasi goreng di samping jalur evakuasi
mengundang gejolak aneh di perut. Beginilah malam terremang, arang membakar tanpa
tabung elpiji, tangan belum dicuci
menyambar lembar bayam sampai mengambil uang kembalian. Aku tidak mensuci,
apalagi kau sebut mencaci. Di depan paguyuban menghilir ratusan orang, bisa
jadi penyebab segelintirnya ialah tangan berarang.
''Nduk,
belilah nasi goreng di depan rumah sakit, budhe sama pakdhe belum makan!''
Mata juling menafsir takut ke sekeliling
trotoar, sungguh aku berdiri tepat di belakangnya. Tersodor lembar biru mengugu
palu, tidak ada uang kembalian. Pedagang berambut kriting dan berkumis menghias
malu, meminta pembeli mencari kembalian. Hati melantang lancang,sewaktu malam mencari kembalian di samping mobil
jenazah yang melintas. Demi seutas karet yang mengikat bungkus nasi goreng.
''Permisi mbak., mau menukar uang,''
Perempuan berkerudung merah dengan kacamata menggantung di hidungnya menghadiahiku
lembar yang lebih tebal dengan senyum lelaki berambut ikal disampingnya. Pos
parkir berkisah mengasah lelah. Tungang langgang melawan arus malam membiar rok
menghambat, terpenting tidak terlambat. Ku berikan lembar nominal lebih kecil,
uang pas. Senyum pedagang datang melawan kumis yang menghias, berucap terimakasih
sebanyak anjuran Nabi.
Langkah
tergesaku di cegat oleh sang waktu, dencitan ban dari belakang. Ku tengok kuasa
yang diberi Tuhan. Sepasang kaki yang menancap diraga gemetar ketakutan,
bayangkan iris mu menilik titik semu kehidupan yang ada namun tiada, gelanyar
iba mencolek langit mendung yang terpekat hitam. Sosok di belakangku, lelaki seumur
tentara akademi berjalan rangkak menepuk kasarnya compang trotoar dengan kedua telapak yang tergores kerikil tajam hasil
pembangunan pajak rakyat. Menyayat jemari kaki sampai ubun kepala, lelaki tak
memiliki kaki, ah! Ia memiliki kaki sepanjang betis anak remaja, meloncat dari
sadel yang terpangku kawannya.
Suara ku
tertelan di ujung lidah, hidup serasa menjadi bedebah. Sejauh pukul 17. 30 getir
hidup tertelan kurun waktu satu jam. Berhubung libur dikubur sampai pukul 21.00,
lebih banyak pil pahit Rumah Sakit yang memilih bersarang di jantung dan di
cerna di lambung. Andai terbuka lebih lama, akan tersegap dingin malam diantara
kepul tabung oxygen, harum infus dan racik farmasi mengundang tubuh tubuh lapar
sebagai pengurang dosa, teringat begitu sianya kaki yang pernah dibuat menendang
udara hanya karena kekecewaan. Patahnya hati karena tertepuk sebelah tangan,
mereka yang tangannya dioles panas neraka berbau surga lantas mendiam dalam
doa, terbuang cuma cuma air mata, lalu melupa arti hidup yang sesungguhnya.
Celah 17.30 mengajari hidup benar dan benar benar hidup.
Penulis :
Jamilaturrosyidah, kerap dipanggil Mila dan
Jamila, lahir di Jombang pada 26 September 2003. Gadis yang sangat menyukai warna
coklat, namun kurang suka makan coklat. Sekarang ia tinggal di Blitar, Jawa
Timur. Tempat yang membuatnya jatuh cinta untuk kali pertama. Harapannya sekarang
adalah tetap bertahan menjadi dirinya sendiri, dan mengejar apa yang sudah
menjadi impiannya.
No comments:
Post a Comment