Oleh : Yayuk Amirotin
Aku berjalan di belakang Rom sembari mengupas ubi
rambat panas yang kurebus setelah salat subuh.
“ Aowww!!!Panas!”teriakku lirih mengibas-ngibaskan
tangan.
“ Ya begitulah kalau gak mau bersabar,” jawab
Romenah mempercepat langkah.
“Ya sabar sih sebenarnya, tapi sebagai penghilang dingin maksudnya,” jawabku
mengelak.
“Hzzzzttt...!Kamu dengar suara itu?” tanya Rom.
“Apaan?” sambil asyik mencicipi ubi rambat yang
berhasil kukupas susah payah. ”Suara apa?” lanjutku mengulang.
Kudengar alunan lagu dan ucapan salam dari pengeras
suara. Romenah semakin mempercepat langkah.
“Eh, Rom.Tunggu aku!!Kamu mau ke mana?” tanyaku
setengah berlari menyusulnya.
Tapi Romenah tak
juga menyahut. “Bukankah kita akan pergi ke sawah?!” tanyaku protes.
Sikap Rom
membuatku sedikit kesal. Suara alunan musik semakin terdengar keras. Beberapa
langkah lagi, aku dan Rom akan menemukan sumber suara itu. Kulihat tubuh
sahabatku, posturnya memang tidak tinggi. Tetapi kemauannya sangat keras,
sekeras bilah kayu pendek yang ada di dalam tumbu yang ia gendong. Caping
menutupi rambutnya yang memutih.
“Kau lihat itu, Mur?” tanya Rom menunjuk ke
panggung, tepat di depan balai desa.
“Iya.”
“Pagi ini aku akan meletakkan tumbu dan selendangku,
aku tidak akan ke sawah. Aku ingin merdeka,” kata Rom lalu melepas tumbu usang
dari punggungnya.
“Tapi kan Rom, hari ini banyak orang yang panen.
Kita bisa memperoleh hasil lebih dari biasanya.”
“Murtini, setiap hari kita bergelut di sawah,
mengetek tanaman-tanaman padi dengan bilah kayu pendek itu. Mencari sisa-sisa
buliran padi yang mungkin satu-dua masih tertinggal. Berangkat pagi, pulang
siang. Bahkan, tak jarang petang. Sesekali kita harus menikmati kebebasan dan
kesempatan yang hanya setahun sekali ini,” Rom menjelaskan panjang lebar, keras
sudah kemauannya.
“Dengan baju lusuh dan caping tua ini?!Kita tetap
akan ikut jalan sehat maksudmu?!” tanyaku tak yakin.
“Memangnya kamu
malu ya, Mur?” Rom lekat menatapku. Kulit pipinya mulai mengeriput. Aku
memandangi bajuku, baju lusuh lengan panjang yang biasa kugunakan ke sawah
untuk mengasak. Celana panjang hitam kumal melekat di kaki serta caping tua
pelindung panas yang melegamkan kulitku pada siang hari. Balai desa semakin
ramai. Laki-perempuan, tua-muda hadir dalam acara jalan sehat peringatan hari
kemerdekaan ke-71. Mereka berpakaian olahraga bagus-bagus, rapi bersetrika.
Tidak seperti aku dan Rom yang jarang sekali bahkan tak pernah dua tahun sekali
pun menginjakkan kaki berbelanja ke toko pakaian.
Nyaliku ciut
ketika melihat para peserta jalan sehat bersepatu putih bersih dan bertopi
cerah. Kupandangi sandal jepit kotor yang jarang tersentuh deterjen. Warnanya
tak putih lagi, tapi coklat berdebu dan dekil. Sedekil bajuku yang sering
dicuci tanpa sabun. Maklum, aku dan Rom adalah kaum kecil. Untuk makan
sehari-hari saja susah, apalagi membeli sabun cuci.
“Aduhhhh!”pekikku lirih.
“Eh maaf, Bu!Maaf!!” tiba-tiba seorang anak kecil
tak sengaja menginjak kakiku. Ia bermain kejar-kejaran dengan temannya.
Temannya yang mengejar, tiba-tiba datang dan langsung menunjuk ke arahku dan
Rom.
“Haaaa....ada
pengemis, ada pengemis!” Kata anak kecil itu menunjuk-nunjuk ke arah kami.
Spontan para
peserta jalan sehat menoleh ke arahku dan Rom. Aku tertunduk, rasanya ingin
sekali menangis dan mengubur rasa malu dalam-dalam. Ingin rasanya kuberlari
meninggalkan tempatku berdiri. Mungkin memang benar kata anak kecil itu,
pakaian dan wajah kami pantas disebut pengemis. Tapi kami tak serendah itu,
kami masih punya harga diri, masih bisa bekerja, sehingga dapat menghidupi diri
untuk tidak minta belas kasih orang lain.
“Maafkan atas sikap anak saya, Bu,” terdengar suara
perempuan berdiri di hadapanku.
Perlahan kuangkat wajah. Ia tersenyum ramah dengan
wajah yang begitu cantik.
“Maafkan atas kata-kata anak saya, Bu,” ia mengulang
meminta maaf. “Dia masih terlalu kecil,” lanjutnya.
“Tidak apa-apa, Bu. Kami tidak marah dan
menyadarinya,” jawabku berusaha tersenyum.
“Ibu-ibu, hari ini bisa ikut jalan sehat gratis Bu,
tanpa ada biaya pendaftaran. Hanya setahun sekali peringatan hari kemerdekaan
ini. Jadi, siapa tahu ini adalah rezeki Ibu,” kata-kata perempuan itu sedikit
memompa semangatku.
“Nah, betul tuh
kata Ibu ini,” Rom membenarkan.
Perempuan muda
itu melihat kebimbanganku. “Bu, mungkin Ibu merasa malu dengan apa yang Ibu
pakai sekarang. Tapi, kenapa Ibu harus malu?Toh kita tidak mencuri atau minta
belas kasih orang lain. Saya sangat berharap dan bangga atas semangat dan tekad
besar Ibu untuk mengikuti acara ini,” perempuan itu kembali meyakinkan.
“Iya, Bu. Kami akan ikut. Terimakasih atas
motivasinya,” kepercayaan diriku mulai muncul.
Sang Ibu muda
tersenyum senang. Pukul 07.00 jalan sehat pun dimulai. Kepala Desa Pagerwojo
membuka acara pemberangkatan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama
kurang lebih seribu peserta. Sepanjang perjalanan, semua mata tertuju ke arahku
dan Rom. Pandangan yang mungkin bermakna heran, sinis, bimbang, bahkan
ketidakpercayaan. Tapi aku sudah tebal muka. Beginilah kaum pengasak. Harus
kedap malu terhadap cibiran dan gunjingan.
“Bedebah dengan gunjingan itu!” Ucapku lirih hampir tak terdengar.
“Kau mengumpat?!?” Rom yang berjalan di sebelahku
ternyata mendengar kata-kataku. Aku menoleh bercampur malu.
Pukul 08.10 kami sampai di tempat pemberangkatan.
Selanjutnya acara pengundian hadiah. Ah, jadi ikut berharap dapat hadiah. Lima
puluh hadiah hiburan telah selesai dibagikan. Kini menginjak ke hadiah tiga
besar. Panitia mengambil dua kupon dan segera membacakan nomor.
“Nomor yang beruntung adalaaahhh 1315.”
Seorang anak kecil naik panggung menerima hadiah
kipas angin.
“Selanjutnya yang berhak mendapat hadiah kompor gas
dua tungku adalahhh....,” panitia berhenti bicara. Jantungku berdegub kencang,
mungkin 150 kali per menit.
“Seribu tiga ratus enam puluh satu,” lanjutnya.
Kini tinggal hadiah utama berupa tiga ekor kambing.
Semoga yang terakhir ini adalah rezekiku. Bapak kepala desa naik ke atas
panggung dan mengambil satu kupon, lalu membacakannya.
“Yang berhak mendapat hadiah tiga ekor kambing
adalah nomor seribu lima ratus empat puluh....,” Bapak Fandy sengaja
menghentikan pembacaan nomor. Hening!Jantungku kini berdegup lebih kencang.
Mungkin seribu kali per menit. Apalagi nomor yang disebutkan tadi sama dengan
milikku dan Rom. Aku dan Rom berharap sekali bisa memperoleh hadiah.
“Seribu lima ratus
empat puluh lima.” Pupus sudah harapanku dan Rom. Kami saling memandang
penuh kecewa.
Seorang ibu muda naik ke panggung. Ibu dari anak
yang mengiraku seorang pengemis. Hatiku kecewa tapi pun turut bahagia. Kecewa
karena tidak bisa mendapat hadiah, dan bahagia karena ibu muda yang baik itu
memperoleh hadiah.
Ketika aku dan Rom beranjak , tiiba-tiba bapak
kepala desa memanggil kami naik ke atas panggung.
“Ibu berdua adalah peserta unik kami, untuk itu
kalian berhak mendapat uang tunai dua juta rupiah untuk kalian dan sekarung
beras.” Bapak kepala desa menyerahkan uang dan sekarung beras.
”Uang ini bisa untuk modal dan menambah penghasilan
Ibu. Saya yakin dan percaya Ibu mampu memanfaatkan bantuan dari desa ini dengan
baik,” lanjutnya.
Tepuk tangan riuh membanjiri suasana balai desa. Tak
terasa, air mata kebahagiaan mengalir di pipiku dan Rom. Kami berpelukan baru
menerima hadiah.
Sungguh hadiah kejutan yang tak terduga. Uang yang
belum pernah kumiliki sebanyak ini.
“Terimakasih atas rezeki ini, Tuhan,” ucapku lirih.
Aku dan Rom tersenyum bahagia.
“Merdeka!!Merdeka!!Merdeka!!”teriakku dan Rom
serempak disusul teriakan dan tepuk tangan hadirin.
Hari ini aku dan Rom merasakan kemerdekaan yang
sesungguhnya. Merdeka dari pekerjaan, merdeka dari dari penjajah, dan tentunya
merdeka dari rasa malu dan rendah diri.
No comments:
Post a Comment