Oleh Fitriara
“Subhaa nalladzi kholaqol azwaaja kullahaa min maa
tunbitul ardhu wamin anfusihim wamin maa tunbitul ardhu wamin anfusihim wamin
maa laa ya’lamun. Wa aayatul lahumul ardhul maitatu ahyainaa...”
“Hmm?”
“Subhaa nalladzi kholaqol azwaaja kullahaa min maa
tunbitul ardhu wamin anfusihim wamin maa laa ya’lamuun. Wa aayatul lahumul
ardhul maitatu ahyainaa haa wa akhrajnaa minha...”
“Hmm? Ulangi Haura.”
“Astaghfirullah, bentar mah.” Aku memejamkan mata mencoba
mengingat dan merangkai ayat pada juz 23 halaman pertama.
“Subhaa nalladzi kholaqol azwaaja kullahaa min maa
tunbitul ardhu wamin anfusihim wamin maa laa ya’lamuun. Wa aayatul lahumul..
laylu naslakhu minhunnahaaro faidzaahum mudzlimuun.”
“Haura, apa yang mengusik pikiranmu, sayang? Akhir-akhir
ini suka gak fokus setorannya?”
Saat itu hanya ujung kerudung yang mampu ku tatap. Bukan
mamah jika tidak berhasil menangkap gelagatku yang tidak biasa.
Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yaa Siin (36:36). Oke Haura, kendalikan
dirimu.
***
Aku mendekati jendela itu, kusennya keriput dengan kaca
yang tak lebih buram dari mata yang berkabut. Bulir-bulir hujan semakin deras.
Nampaknya langit sedang bersedih karena hujan tak berhenti sejak pagi. Mungkin
langit merindukan kekasihnya, bumi. Sama halnya aku yang merindukanmu. Apakah
aku bodoh jika mengharapmu hingga sudi menanti seperti ini?
Ku kenakan earphone yang telah terpasang di
telepon genggam. Murottal Sheikh Maher Al-Muaiqly tak pernah alpa menjadi
playlist harian. Ku buka Alquran bersampul hitam terbitan Menara kudus. Hanya
dengan cara ini aku tidak terpejam dengan pikiran-pikiran buta. Aku merapal
ayat-ayat suci Alquran yang telah ku hafal bersamaan dengan suara merdu Qori’
favorit hingga senja hampir ditelan malam. Aku beristighfar, bersholawat, dan
berdoa dengan mata terpejam. Memohon ampun atas rangkaian ayat yang sampai di
ingatan namun tidak mengendap di sudut hati.
“Haura, kita
jamaah sholat Maghrib ya nak.” Mamah memelukku dari arah belakang.
“Iya mah.” Dengan mata sendu aku mengikuti langkahnya dan
menaruh Alquran serta telepon genggam ku di meja belajar.
***
“Kamu tahu Haura, lelaki yang baik adalah yang
pengorbanannya tak terlihat. Cukup dia dan Allah saja yang tahu. Dia mendoakan
dengan cara yang ahsan, dia bantu dalam menyelesaikan urusan seseorang
diam-diam, dia yang tidak mengungkapkan perasaannya terang-terangan tanpa
keberanian mengikat.” Kata mamah setelah melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
Aku tetap mengenakan mukena dan duduk bersila diatas
sajadah merah. Inilah yang aku suka dari mamah, tanpa aku mengatakan apa-apa,
dia selalu tahu apa yang membuat kepala anaknya riuh seperti pasar malam. Aku
hanya diam dan tersenyum sekenanya.
“Sayang, jika kamu temui lelaki yang tidak seperti mamah
katakan tadi nak, jangan gegabah menilai dia tidak baik dulu. Semua lelaki itu
baik. Hanya saja beberapa yang baik itu bukan untuk kamu. Bisa jadi kamu yang
baik untuk lelaki baik lainnya. Terkadang Allah hadirkan seseorang di hidupmu
hanya untuk bertemu lalu memberikan pelajaran atau bersama denganmu selamanya
memberikan kenangan.”
Aku tertegun dan semakin bungkam. Tertohok sekali dengan
penuturan mamah.
“Jika kamu belum siap mengatakan perasaanmu kepadanya,
pun dia yang tak cukup berani mendatangimu, cukuplah jaga dia dengan kamu
menjaga dirimu sendiri. Jangan menyebut namanya di sembarang orang. Bisa-bisa
kehormatanmu sebagai perempuan bisa jatuh, sayang. Jaga diri baik-baik ya, dari
hati yang berharap kepada kaki yang mudah patah langkah.”
Ku tengadahkan kepala melihat jam dinding dan menggigit
bibirku. Menahan danau di pelupuk mata. Sayangnya pelukan mamah memang tempat
paling jitu untuk membendung segala pilu.
“Terima kasih, mah.” Ku peluk erat mamah sekian detik.
“Sama-sama, Haura. Lanjut murojaah ya. Hafalannya
keteteran kan gara-gara galau. Istighfar dan sholawat dulu. Minta sama Allah
dihapuskan segala gundah. Dijadikan mudah dalam menghafal dan mengamalkan
ayat-ayatNya.” Kata mamah sambil mengelus lembut kepala ku.
Ku seka gerimis di pipi. Tersenyum menatap mamah dan
mengangguk mengiyakan.
***
Aku duduk di bangku bis dengan earphone yang setia
pada telinga. Memandang langit lewat kaca jendela. Berbisik lirih melantunkan
ayatNya agar tak terlepas dari ingatan begitu saja. Aku percaya Alquran adalah
mukjizat yang dengannya segala ketidakmungkinan bisa datang tanpa aba-aba.
Seperti halnya kemarin, saat hafalanku berantakan yang membuat ku semakin dekat
dengan Alquran dan melupakan hal-hal yang tak layak diperjuangkan. IPK semester
6 naik drastis yang membuatku tercengang. Kata mamah, ini adalah anugerah saat
kita tidak menyerah menjaga Alquran. Bukankah harapan lahir dari mereka yang
tak berhenti berupaya, seperti pagi yang menghadiahkan matahari cuma-cuma. Bis
tak pernah sepi di setiap Senin pagi. Saat mendekati kampus, aku bergegas
memasukkan earphone ke dalam ransel dan
turun dari bis.
Tiba-tiba
telepon genggamku berbunyi. Aku melipir di tepi jalan dan mengambilnya dengan
sedikit terburu.
“Halo?”
“Assalamu’alaykum, Kirana?”
“Eh, wa’alaykumussalam
warahmatullah. Hehe. Haura, aku agak
telat ya. Toko masih ramai pengunjung.”
“Iya, gak papa. Aku tunggu di gazebo dekat kantin ya.”
“Oke, maaf nih. Maaf banget.”
“Iya, santai. Jangan ngebut di jalan.”
“Siap kapten. Yaudah Assalamu’alaykum Haura.”
“Wa’alaykumussalam warahmatullah.” Aku memasukkan telepon
genggam buru-buru ketika teringat janji mengembalikan buku perpustakaan. Aku
bergegas menuju ruang segiempat dari arah pukul satu tempatku berdiri.
Kirana memberiku pesan bahwa dia hampir
sampai ketika aku menunggunya di tempat kita bertemu. Kirana adalah teman
baikku yang baru hijrah. Hari ini kami akan mengikuti kajian kemuslimahan. Ia
merasa tak cukup percaya diri untuk datang sendirian. Jadilah aku menemaninya
agar ia tak merasa asing di lingkungan baru. Ku putuskan menunggu dengan
mengulang kembali hafalan tadi pagi. Saat aku meraba isi tas untuk mencari
earphone, DANG! Ia tak ku temukan. Ku coba mencari lebih teliti, ku keluarkan
isi tasku, ku buka kantong ransel, membolak balikkan isinya, nihil. Astaghfirullah,
perasaan tadi sudah ku masukkan ke ransel. Atau tertinggal di bis? Atau mungkin
jatuh saat aku tergesa-gesa hendak turun ya? Ku coba mengingatnya dengan
baik. Tapi tak berhasil menemukan jawaban. Ah, ceroboh sekali kamu Haura.
“Haura.”
Aku terkejut dan mencari sumber suara. Rupanya Kirana
telah tiba lebih cepat dari yang kuduga. Aku membalas sapanya dengan senyum
gusar.
“Ada apa, Ra? Kamu lagi nyari apa sih?” Tanya Kirana yang
kebingungan melihatku menggaruk kepala
yang tak gatal, menunduk di rerumputan, merogoh isi tas, dan kembali menggaruk
kepala.
“Ini lho, aku kehilangan earphone ku. Kayaknya
jatuh di bis deh. Atau waktu perjalanan kesini. Entahlah. Eh nitip barang ku
sebentar ya. Mau ku telusuri di gerbang masuk dulu.”
Aku telah berlalu dan sedikit berlari sebelum Kirana
mengiyakan.
***
“Haura, tadi Kafka kesini.” Kata mamah saat aku hendak
ziyadah (menambah hafalan) di taman belakang rumah.
“Tumben, ada apa mah?” Aku mengernyitkan dahi sehingga
membuat alisku saling bertatutan.
“Minta izin ke papah kalau mau ngambil alih tugasnya buat
jaga kamu, gitu.” Kata mamah sambil menyiram tanaman-tanaman kesayangannya.
“Mah, ini maksudnya dia ngajak taaruf gitu? Yang bener
mah? Mamah bercanda nih. Gak lucu nih mah.” Aku mengurungkan diri membuka
Alquran dan menatap mamah tidak percaya.
“Serius, sayang. Tanya saja nanti ke papah.” Gantian
mamah yang menatapku sangsi.
“Masya Allah, terus papah jawab gimana?” Aku mendekat ke
mamah dengan wajah penasaran.
“Rahasia.” Mamah membelakangiku dan mengambil paksa daun
kering yang belum rela terlepas dari rantingnya.
“Yah mamah.”
“Keputusan ada di tanganmu, sayang. Mamah dan papah pasti
dukung selama itu baik. Jadi gimana? Lelaki sholeh jangan sampai lepas lho,
nak.”
“Duh maaaa.” Aku tersipu malu sambil membenarkan bros
yang terlepas.
“Eh tadi dia ngasih Siomay depan GOR kesukaan mamah.
Pinter banget lho Ra dia ngambil hati. Kamu suka cerita ke dia?
“Hah? Enggak lah mah, aku sama Mas Kafka gak pernah
ngobrol banyak. Kalau ketemu aku aja dia nunduk. Ya aku ikut nunduk.”
“Bisa gitu ya. Kelihatannya saja yang paling gak peduli
padahal sedang berjuang memenangkan sebuah hati. Uhuk, suka nih mamah sama yang
begini.”
“Yeee mamah.”
“Selalu libatkan Allah dalam setiap pilihan yang kamu
ambil, nak. Apapun nanti jawabannya itulah yang terbaik. Allah gak pernah
dzalim sama kita. Oh iya, ada titipan buat kamu di meja tuh, masih terbungkus
cinta.” Kata mamah sambil memeragakan bentuk hati dengan kedua tangannya.
Seketika aku berlari menuju ruang tengah. Kubuka kotak
segiempat bersampul kertas payung. Duh, gak romantis gini Mas Kafka.
Masa bungkusnya seperti aku ini juara makan krupuk di kampung. Mata dan
bibirku membulat bersamaan. Melihat earphone ku yang hilang tiga hari
lalu kini ada di genggaman. Bukan sesuatu yang mirip, tapi ini benar-benar
milikku sebab ada namaku disana. Aku memang paling suka memberi nama pada
barang-barang yang kumiliki. Termasuk earphone itu. Agar tak tertukar
dengan yang bukan milikku. Aku terkejut. Tentu saja. Bersyukur juga. Bagaimana
dia bisa tahu. Bagaimana ceritanya barang ini sampai di tangannya. Ah tidak penting.
“Mamaaah, earphone ku kembali, mah.” Aku
menari-narikan tangan di udara seperti orang gila. Mamah hanya tersenyum sambil
menggelengkan kepala memandangiku. Begitu juga cintamu nak, sesuatu yang
telah mati memang sudah saatnya hidup kembali.
Hidup memang maha jenaka. Kehilangan justru diganti
dengan keberkahan berlipat ganda. Wa makaru wa makarallaah, wallaahu khairul
maakiriin. Mas Kafka adalah seniorku di Forum Indonesia Menulis. Dia telah
menerbitkan banyak buku dan begitu menginspirasi banyak orang. Itu saja yang ku
tahu. Tak lebih tak kurang. Setelah aku sholat istikhoroh dan Allah memberiku
jawaban yang menggembirakan. Minggu depan Mas Kafka bersama keluarganya akan
datang ke rumah untuk silaturrahim sebelum akhirnya semesta merestui langkah kami
berjalan seiring tanpa digiring di rumah mas Kafka. Lembaran baru telah siap
diisi. Selamat datang, awal. Meski ku tahu akan berakhir, kuingini akhir yang
berarti. Itu saja.
Blitar, 12 Mei 2017
Terinspirasi dari cerpen Dewi Lestari berjudul Sikat Gigi.
Gambar diambil dari Instagram Andriybastian.
No comments:
Post a Comment