Oleh
Imro’Atus Sa’adah
Dia
saudara kembarku. Kami mirip, wajah kami, tinggi badan, berat badan.
Hampir-hampir tak ada yang beda kecuali tahi lalat di hidungnya itu yang tidak
kumiliki. Orang-orang sering salah mengenali kami. Oya namaku Alifa Ambin.
Sementara dia, Alefi Ambin. Meski kembar, kami tak tinggal bersama. Ibu
meninggal saat melahirkan kami. Sedangkan bapak entah ada dimana. Kata orang
dia hilang saat aku lahir. Hilang begitu saja entah kemana. Bapak tak pernah
pulang dan tak ada seorang pun yang tahu kabarnya.
Maka
sejak ibu dimakamkan, aku diadopsi Paman Jali di Jakarta. Sementara dia dibawa
Pakde Warto ke Surabaya. Kami tak pernah ketemu. Memang sengaja tak pernah
diketemukan. Entah kenapa. Bahkan kami tak saling mengenal dan tak tahu kalau
kami kembar.
Sepertinya mereka merawat kami dengan baik
sehingga kami tak merasa kekurangan kasih sayang. Mereka juga bukan orang
miskin. Kebutuhan finansial kami benar-benar bisa terpenuhi. Kami berdua bisa
kuliah di luar negeri. Dan bisa dibilang kami berhasil menjadi orang. Sekarang
aku direktur di salah satu perusahaan di London. Sementara Alefi adalah penulis
sekaligus penterjemah yang karyanya selalu jadi best seller di seluruh dunia.
Hingga
pada suatu hari seorang wartawan salah mengenaliku sebagai Alefi Ambin. Awalnya
aku kira dia salah menyebut nama Alifa Ambin sebagai Alefi Ambin tapi ternyata
Alefi Ambin itu memang adalah orang lain. Sejak saat itu aku mulai penasaran
dengan Alefi. Kenapa kami memiliki nama yang sama. Dan wow, wajah Alefi memang
betebaran di google. Tidak seperti aku yang menetap di London. Dia memilih menetap
di suatu daerah di Jawa Timur yang bernama Blitar. Tepatnya di Jl. Bendogerit Kota Blitar. Begitu yang aku baca di google.
Berangkatlah
aku kesana, sebelumnya aku sempatkan mampir ke rumah Paman Jali. Paman Jali
tetap kukuh tak menceritakan apapun kecuali seperti apapun yang aku dengar
sejak kecil. Bahwa orang tuaku meninggal saat aku bayi. Itu saja. Titik. Tak
ditambahi keterangan sebab meninggalnya karena apa. Baru ketika kutunjukkan
foto Alefi Ambin dan biodatanya di salah satu majalah, dia mau mengakui kalau
aku memang punya saudara kembar. “ Paman, kenapa tak pernah mempertemukan
kami?” tanyaku tak mengerti.
“
Kami sepakat begitu. Agar kalian bisa hidup sebagai gadis normal” jelasnya,
yang masih juga tak kupahami.
“Tapi
paman seharusnya ...”
“CUKUP!
JANGAN TANYA-TANYA LAGI!” teriak Paman Jali memotongku yang membuatku
berjengit. Aku tertegun. Takut bertanya lagi. Ini adalah kali pertama paman Jali
membentakku. Seumur hidup, dia selalu
lemah lembut padaku. Demi itu, aku pun meninggalkan rumah paman dengan kecewa.
Akhirnya,
sampailah aku di Kota Blitar. Mobil BMW ku perlahan menuju rumah tinggal Alevi
Ambin yang konon, menurut berita yang kubaca sangat sederhana sekali. Aku berhenti
di sebuah rumah setengah tembok setengah bambu dengan sedikit halaman penuh
bunga bermekaran. Sebuah pohon rambutan yang saat itu berbuah lebat dan dua
buah pohon pisang barlin yang tampaknya juga mulai berbuah.
Aku
menghampiri rumah itu dan mencocokkan alamat yang kutahu dengan papan alamat di
rumah itu. Sama. Mungkin memang ini rumah Alefi Ambin. Setengah tidak percaya
melihat ini, yang kurasakan pasti sama seperti para wartawan yang mengunjungi
rumah Alevi Ambin. Seorang penulis best seller kelas dunia seperti Alefi Ambin
tinggal di rumah reot seperti ini, aku makin terheran-heran.
“
Rumah ini tidak reot. Rumah ini sangat nyaman untuk dihuni. Apalagi yang
dicari?”
Sebuah
suara mengagetkan aku. Seakan bisa membaca apa yang aku pikirkan, seorang gadis
bergaun biru langit, dengan jilbab putihnya menyapaku dari belakang.
“Kamu Alefi Ambin?” Tanyaku. Saat
itu pertama kali kami bertemu. Rasanya seperti bercermin. Kami benar-benar
mirip. Ya, tentu saja kecuali tahi lalat di hidungnya itu
Alefi hanya tersenyum. “ Ayo, masuk!
Ini rumah kita. Rumah ibu dan ayah” ajaknya menggandeng tanganku dengan lembut.
Rumah itu hanya berukuran lima kali
sembilan meter. Berlantai semen. Tiga kamar, sebuah kamar mandi dan dapur yang
semuanya sangat mini. Tak ada kursi disana. Hanya karpet yang dibentangkan di
seantero ruangan. Lalu sebuah meja panjang rendah di tengah. Dan bantal-bantal
tipis di tumpuk di pojokan mungkin sebagai alas duduk. Di dinding rumah ada
sebuah foto besar seukuran satu setengah kali dua meter. Foto, ayah, ibu, Alefi
dan aku. Lama sekali aku terdiam menatapnya.
“ Aku ambil foto ayah dan ibu dari
album, lalu fotomu dari google. Aku mengeditnya. Bagaimana, seperti keluarga
yang utuh kan?” Alefi menghampiriku sambil memberiku sebuah album besar. Di
halaman depan tertulis dengan huruf indah dan besar-besar, SWEET MEMORY AMINAH DAN BINTORO.
“ Nama kita Ambin adalah singkatan
dari nama mereka, Aminah Bintoro” jelasnya.
Mataku menatap halaman depan album,
ada foto Aminah dan Bintoro, ya ibu dan ayah kandungku. Mereka tersenyum dan
terlihat tampak bahagia. Sesuatu yang aneh menjalari tubuhku. Entahlah, sejenis
perasaan apa itu. Apakah senang atau sedih atau campuran dari keduanya
mengetahui kenyataan ini benar-benar kualami.
“ Aku ambilkan minum ya?” tawar
Alefi.
Tanpa menunggu jawaban, Alefi sudah
pergi ke dapur mini. Aku tak bergeming asyik menekuri album lembar demi lembar.
“Boleh
sambil makan pastel kok?” tawar Alefi lagi.
“Hhm...
“ Aku mendongak. Bahkan aku tak sadar segelas air putih dan lima bungkus pastel
sudah ada di depanku. “Ini...?” tanyaku heran.
“Kesukaanmu” Alefi hanya tersenyum.
Sementara aku menatapnya takjub.
Heran, bagaimana dia tahu bahwa minuman faforitku adalah air putih dan aku
sangat menyukai pastel. Ataukah sejak lama Alefi sudah memata-mataiku. Oh,
bukan tapi mungkin dia mencari informasi tentang aku atau malah menyewa seorang
detektif. Tapi ah memangnya kenapa jika begitu, kami kan memang saudara.
Setahuku saudara itu memang harus memahami saudaranya yang lain apalagi kami
saudara kandung dan saudara kembar. Akulah yang harusnya menyesal karena belum
tahu apa-apa tentang Alefi. Bagiku dia masih sosok misterius.
“Hm,,, Fa aku mau pergi ke suatu
tempat. Kamu boleh melakukan apapun dan masuk ke ruangan manapun di sini. Ya,
jangan sungkan karena ini memang rumah orang tua kita. Itu berarti rumah kamu
juga” pamit Alefi sembari mengambil dua buku tebal dari atas rak.
“Kamu mau pergi kemana?” Rasanya tak
sopan kalau dia meninggalkanku sendirian disini setelah mengaku kami bersaudara
dan bahwa kami baru bertemu.
“Surga” jawabnya ringan.
“What?” aku kaget. Alefi baru
saja menyebut surga yang menurutku agar sampai kesana kita harus mati lebih
dulu. Saking kagetnya reflek aku memakai Bahasa Inggris seperti kebiasaanku di
London.
“ Actually, the heaven in Blitar
“ Tak kusangka Alefi juga menjawab dalam Bahasa Inggris. “ Because
everything here”
“
Dimana itu” Aku penasaran. Alefi tampak bersungguh-sungguh saat mengatakannya.
“Tidak jauh, di bangunan besar di
ujung jalan sana. Setengah kilo dari sini. Nanti kamu boleh menyusul kalau mau.
Aku berangkat ya” Alefi berjalan keluar rumah dan dia benar-benar membiarkan
aku di rumah ini sendirian. “Aku hanya sebentar kok”
“Ha... “ Aku ternganga. Pikirku, apa
susahnya sih menyebut nama tempat itu? Lalu aku teringat kembali siapa Alefi
Ambin. Ya dia memang sudah jadi satrawan kelas dunia. Ah, mungkin saja
orang-orang seperti mereka memang suka dengan teka-teki.
Aku memutuskan berkeliling rumah. Dan
barangkali karena rumah ini satu-satunya sumber kenangan ayah dan ibu yang kami
tahu, aku mengagumi dan penasaran dengan setiap inci dari rumah ini. Aku
benar-benar memasuki tiga kamarnya. Mencoba berbaring di setiap ranjang disana.
Membuka semua almari lalu menyentuh isinya. Alefi menempeli almari ayah dan ibu
dengan kertas bertuliskan almari ayah dan ibu. Aku mengambil sebuah gaun ibu
dan sebuah kemeja ayah. Saat kucium, wangi parfum menyembul disana. Aku pun
memeluk gaun dan kemeja itu, membayangkan mereka adalah orang tuaku. Tapi
tiba-tiba terpikir olehku sudah selama itu bagaimana isi almari ayah dan ibu
bisa tetap wangi dan bersih. Bisa saja itu milik Alefi bukan milik mereka. Aku
merasa sangat konyol sekali. Tentunya
rumah ini pasti sangat berantakan Andai Alefi ada aku akan bertanya, “ Alefi
ini dari kamu apa dari mereka sudah begitu” Sialnya Alefi tak ada disini. Jadi
aku hanya bertanya-tanya dalam hati.
“Itu memang benar-benar milik ibu
dan ayah. Aku tidak merubah apapun. Saat aku datang kesini semua persis seperti
yang kamu lihat. “ sebuah suara mengagetkanku. Tiba-tiba Alefi sudah duduk di
ranjang kamar. Aku melirik jam dinding di kamar. Ah, tanpa terasa sudah
berjam-jam aku disana.
Aku menanggapinya dengan mengernyit.
“Tapi bagaimana mungkin seperti itu” Aku tak percaya begitu saja. Jangan-jangan
Alefi sengaja membohongiku.
“Kamu tak ingin tahu kabar ayah?”
pertanyaan Alefi mengejutkanku.
“Ayah?” Ulangku. “ Dia masih hidup?”
“Siapa yang bilang dia sudah mati.
Apa paman pernah bilang?”
“Tidak. Dia hanya bilang bahwa ayah
hilang.” Aku mengingat-ingat. Dalam pikiranku ayah adalah orang tak bertanggung
jawab yang menelantarkan kami begitu saja.
Alefi mengambil setumpuk majalah,
membuka sebuah halaman pada setiap majalah. “Profesor Doctor Emerald Lifiaudin
Bintoro. Dia ayah kita.”
“Bukannya dia salah satu pengusaha
terkaya di Indonesia.” Aku menatap Alefi lekat-lekat. Siapa tahu dia sedang
berimajinasi. Tapi mimiknya tampak serius.
“Iya, jalan pikiran yang aneh kan!
Dia berpikir kita akan manja kalau bersamanya. Kita mungkin tak akan bisa
seperti sekarang” jelas Alefi lagi.
“ Kau sudah bertemu ayah?” tanyaku
iri, dia mengetahui masa lalu kami lebih banyak dariku.
“Belum” jawabnya tampak sedih.
“Darimana kau tahu dia ayah kita?”
Alefi hanya menunjuk album. “Mirip
kan? Lagipula memangnya siapa yang mencukupi kebutuhan kita selama ini. Itu
ayah. Sebenarnya dia selalu mengawasi kita. Tanpa menemui kita.” Alefi
mengambil nafas dalam. “Pakde juga bercerita. Tentu saja setelah aku
desak.”lanjutnya.
“Jadi ayah yang merawat rumah ini
sebelum kamu datang” Aku menyimpulkan.
“Hm... mungkin dia menyuruh
seseorang. Tapi yang jelas dia melakukannya”
Kami terdiam. Sesaat sunyi. Aku bisa
mendengar detak jam di dinding rumah kami. Aku menatap Alefi. Dia mungkin lebih
tenang daripada aku yang rasanya terus dikejutkan oleh sesuatu bertubi-tubi.
“Oh, ya...” Alefi mulai berbicara
lagi. “Tadi aku mengunjungi kebun strobery. Aku jadi ingin menanam strobery.
Menurutku bentuknya imut sekali. Apa aku boleh menanamnya di kebun belakang
rumah?” tanyanya.
“Dimana ada kebun stroberi?” aku
malah balik bertanya heran.”Tadi katanya kau pergi ke bangunan di ujung jalan
itu”
“Ya, di tempat itu. Disana ada
banyak kebun.”
Aneka kebun di tengah Kota Blitar
ini. “The Heaven in Blitar” aku
teringat kata-kata Alefi tadi pagi. Ah, seindah apa sih tempat itu. Aku
penasaran. Aku berencana ke tempat itu di esok hari.
“Tapi kusarankan jalan kaki saja
kalau kesana. Jangan bawa mobilmu! “Alefi seperti dapat membaca pikiranku.
Sekali lagi aku hanya mengernyit.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Dulu ibu selalu jalan kaki. Dia
juga sangat menyukai tempat itu” jelasnya. “Jadi agar kau mengerti yang dirasa
ibu, berjalan kakilah”
Kali ini aku hanya mengangkat bahu,
“Entahlah!” jawabku sambil menguap. Aku segera berbaring di ranjang tidur. Baru
terasa lelah sekali rasanya tubuhku. Meski pikiranku tak bisa beristirahat.
Semua yang baru kualami seperti film berputar cepat dikepalaku. Rasanya seperti
menjadi orang lain. Sebuah judul film Jackky Chan terngiang-ngiang di telingaku,
“Who Am I?”
(To
be Continue)
******
No comments:
Post a Comment