Oleh : Adinda RD Kinasih
Saya mulai penasaran dengan nama Winna Efendi saat mendengar berita bahwa Afgan akan menjadi pemeran utama dalam film bertitel Refrain. Kabarnya, cerita dalam film ini diadaptasi dari novel berjudul sama, karya Winna Efendi. Saya pun mencari tahu tentang novel ini, yang ternyata sudah terbit sejak 2009. Saya membelinya di tahun 2013, saat masuk cetakan ke-16.
Refrain. Sebenarnya tema ceritanya sederhana, sesederhana judul dan sampulnya. Hanya mengisahkan sahabat sejak kecil, yang kemudian jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Namun, sahabat yang dicintai malah memilih yang lain. Ya, hanya seperti itu saja. Begitu pula pada novel-novel lainnya, yang selalu punya tiga hal sebagai tema pokok. Persahabatan, cinta, dan keluarga.
***
Tapi, bagi saya, gaya bahasa Winna menarik. Tak terlalu puitis, tapi juga tak banyak memakai bahasa gaul seperti cerita bertema remaja kebanyakan. Bahasanya mengalir dan enak dibaca, membuat kita seolah berada di tempat dan mengalami kejadian yang sama dengan tokohnya.
Satu hal lagi yang sepertinya menjadi ciri khas Winna, novelnya selalu “beraroma musik”. Itu pula yang saya temukan dalam Melbourne Rewind, Remember When, Tomodachi, Girl Meets Boy, dan yang terbaru, Some Kind of Wonderful.
***
Dalam Refrain ada Nata yang piawai main gitar dan menciptakan lagu. Ada Laura di Melbourne Rewind yang punya kegemaran mendengarkan lagu-lagu jadul. Dalam Remember When, ada Freya yang dikenal pendiam, namun ternyata menyukai lagu-lagu Greenday.
Dalam Tomodachi, ada Tomoki dan Tomomi, sepasang sahabat yang membuat film pendek sekaligus lagu temanya bersama-sama. Ada sang pianis Kai, bersama kenangan dan rasa bersalahnya dalam Girl Meets Boy. Dan ada Aurora a.k.a Rory dalam Some Kind of Wonderful, yang berbakat nyanyi sambil main gitar, namun ia memaksa menjauhkan diri dari dua hal itu sejak kematian suami dan anaknya.
Hanya Happily Ever After dan One Little Thing Called Hope yang sepertinya punya tema sedikit berbeda.
Dalam Happily Ever After, ada cinta yang dibangun seorang gadis dan ayahnya lewat dongeng-dongeng yang dibacakan setiap malam. Dalam One Little Thing Called Hope, seorang gadis muda rela menjalani kehamilannya sendirian, memupuk cinta untuk calon bayinya dengan merajut sepasang sepatu mungil yang cantik.
***
Salah satu sahabat saya pernah berkata, bahwa saya tak bisa pindah dari genre teenlit. Saya pikir dia benar. Saya memang suka genre ini, khususnya ramuan teenlit a la Winna Efendi yang selalu bisa melihat sisi-sisi lain dari tema sederhana tersebut, dan dengan gaya berceritanya, selalu bisa membawa para pembaca merasakan tiap adegan di dalamnya; tertawa, menangis, sakit, marah, kadang juga gregetan.
***
Winna Efendi merupakan salah satu penulis wanita Indonesia yang produktif. Terhitung, sudah ada satu buku nonfiksi berjudul Draf 1 : Taktik Menulis Fiksi Pertamamu; sebuah novel kolaborasi bersama Yoana Dianika bertajuk Truth or Dare : Kenangan Musim Hangat; dan sepuluh novel solo, yakni Ai : Cinta Tak Pernah Lelah Menanti, Unforgettable : Tentang Cinta yang Menunggu, Refrain : Saat Cinta Selalu Pulang, Melbourne Rewind, Remember When : Ketika Kau dan Aku Jatuh Cinta, Girl Meets Boy : Mengingat Kembali adalah Salah Satu Cara Terbaik untuk Tidak Merasakan Kehilangan, Happily Ever After : Alam Semesta Punya Rahasianya Sendiri. Tetap Percayalah akan Rencana yang Dipersiapkannya, Tomodachi, One Little Thing Called Hope : Seringkali Dia yang Tak Terdugalah yang Selalu Ada di Sisimu, dan Some Kind of Wonderful.
Kesembilan novel solonya diterbitkan oleh Gagasmedia, sementara novel terbarunya, Some Kind of Wonderful diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Tiga novelnya pun telah difilm-kan, yakni Refrain, Remember When, dan Melbourne Rewind.[]
16 April 2017
Sumber gambar : dok. pribadi & jpetite.wordpress.com
No comments:
Post a Comment