oleh Sheefa A
Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menulis beberapa acara yang ada di
televisi, yang kebanyakan tidak mendidik. Sayangnya tak hanya 4 acara seperti
yang saya tulis sebelumnya. Ada beberap acara lagi di televisi yang menurut
saya juga tidak menyehatkan bagi penontonnya. Ada tigat jenis acara yang akan
saya tulis kali ini. Jika merasa masih ada lagi yang menurut anda bisa
dimasukkan katagori acara yang tidak menyehatkan, silahkan ditambahkan sendiri.
Talkshow.
Program talkshow yang kali ini akan saya bahas
adalah sebuah program yang mengedepankan-lagi-lagi-curhat masalah pribadi di
depan umum. Tapi bedanya mereka dari kalangan masyarakat biasa, bukan artis. Tentu
saja saya tidak perlu menyebutkan nama acaranya, anda pasti akan tahu sendiri
jika nanti membaca tulisan saya ini sampai akhir. Konsep acara ini kurang lebih
adalah orang yang sedang punya masalah pribadi, entah dengan kekasihnya, teman
atau keluarga, yang menurut konsep acara ini sendiri, pihak penyelenggara acara
akan membantu menyelesaikan masalah mereka yang datang ke acara ini. Tapi saya
tidak tahu secara pasti apakah masalah mereka akan benar-benar selesai atau ini
hanya akal-akalan pembuat konsep acara demi rating dan sharing yang
ujung-ujungnya pada pembodohan masyarakat?
Di tengah acara, orang yang sedang mempunyai konflik
dengan mereka yang datang ke acara ini akan di datangkan. Setelah orang
tersebut datang, biasanya emosi-emosi dari keduanya akan muncul. Tidak jarang
dari mereka yang kemudian akan marah-marah di depan kamera, karena mengetahui
ternyata kekasihnya selingkuh misalnya, dan selingkuhannya kemudian juga
diundang di acara ini. Saya, maaf sedikit jahat, ingin sekali mengatakan “Lah
situ kok marah-marah di depan kamera? Bukannya kamu sendiri yang ingin datang
ke acara ini, dan ingin supaya masalah kamu diselesaikan-ya kecuali kalau kamu
hanya ingin mencari sensasi-? Harusnya kamu tahu dong konsekuensi untuk
menceritakan masalah pribadi di televisi, yang pastinya pihak televisi juga
ingin mendapat keuntungan dari masalahmu.”
Beberapa artikel yang saya baca mengatakan jika acara ini
hanya sekedar settingan belaka. Tetapi meski begitu toh kenyataanya program ini
tetap tayang sampai sekarang dan mereka medapatkan jadwal tayang pada waktu prime
time, bahkan pernah mendapatkan sebuah penghargaan. Saya benar-benar tidak
tahu apa yang membuat program ini pantas untuk mendapatkan penghargaan pada
kategori program Talkshow, sedangkan nomine lainnya lebih pantas
mendapatkan penghargaan, sebut saja acara Hitam Putih yang dibawakan oleh Deddy
Corbuzier misalnya.
Saya juga tidak tahu manfaat apa yang bisa diambil dari
acara ini. Saya heran dengan orang yang datang ke acara ini dan menceritakan masalah
pribadinya ke masyarakat luas. Saya juga heran dengan penggagas acaranya,
kenapa harus membuat acara dengan konsep seperti ini. Tapi saya lebih heran
lagi dengan orang-orang yang mau menghabiskan waktunya hanya untuk menonton
acara semacam ini. Semoga kita bukan salah satunya yaa.
Gosip Artis.
Acara satu ini bisa dipastikan selalu ada di setiap stasiun televisi
Indonesia. Kecuali stasiun TV yang memfokuskan dirinya pada news dan
TVRI sebagai televisi yang konsentrasi pada hal-hal yang berkaitan dengan
keindonesiaan. Memangnya apa saja yang dibahas di acara ini? Namanya juga gosip
artis, maka yang jadi bahan perbincangan juga seputar kehidupan artis itu
sendiri. Mulai dari artis A yang sedang berpacaran dengan artis B. Lalu mereka
diwawancara, ditanyai tentang tips menjalin hubungan kekasih agar selalu
romantis dan sebagainya. Tentang artis C yang baru putus dengan artis D, lalu
ditanya tentang bagaimana perasaannya setelah putus, atau apa kira-kira yang
menyebabkan mereka putus.
Tak hanya itu, bahkan artis yang sedang makan, menonton
film di bioskop, memasak, bahkan juga berbelanja pun juga akan menjadi isi dari
acara ini. Apa sih sebenarnya spesialnya seorang artis yang sedang makan hingga
harus dimasukkan ke dalam berita? Mengikuti apa yang dikatakan seorang Comic
(istilah untuk para stand up comedian), mungkin jika artisnya makan beling akan
menjadi menarik untuk diberitakan. Sekali lagi maaf ya agak kasar. Hehehe...
Barang-barang yang dibawa artis saat di lokasi shooting
pun tak luput dari jeratan para pemburu berita ini. Apa saja isi dompetnya, isi
tas, hingga apa saja isi mobilnya juga akan diberitakan.
Kita pastinya sudah bisa memilih bukan apakah gosip artis
ini menjadi program TV penting yang harus ditonton ataukah sama sekali tidak
penting jadi lebih memilih untuk tidak melihatnya?
Berita.
Kenapa saya memasukkan berita menjadi salah satu program
TV yang tidak menyehatkan? Sebelum menjawabnya, izinkan saya mengutip ungkapan Joseph
Goebbles seorang Menteri Propaganda Nazi zaman Hitler, “Kebohongan yang
diulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran”.
Di bangku sekolah kita pasti diajarkan jika berita
mempunyai sifat yang faktual atau sesuai fakta yang pastinya tidak akan
melakukan kebohongan, tidak berpihak pada kepentingan atau netral, dan
semacamnya. Dan kita tentu saja percaya. Begitu juga dengan saya yang percaya
dengan hal tersebut. Hingga akhirnya ketika kuliah, salah satu senior saya di
pers mahasiswa bercerita tentang media (termasuk televisi) dalam membuat berita
tidak selalu seperti sifatnya yang saya sebutkan tadi. Contohnya saja pada
permasalahan “Lumpur Lapindo”, ada media ketika membuat berita ini menggunakan
judul “Lumpur Lapindo” dan ada juga yang menulisnya dengan “Lumpur Sidoarjo”
atau “Lumpur Porong”. Kira-kira apa yang membedakannya? Kita tahu jika Lapindo
adalah nama perusahaan, sedangkan Sidoarjo/Porong adalah nama daerah. Media
yang memilih judul “Lumpur Lapindo” seakan mengatakan jika bencana banjir
lumpur ini diakibatkan oleh perusahaan, sedangkan media yang memilih judul
sebaliknya menganggap bahwa bencana ini adalah bencana nasional bukan akibat
perusahaan. Lalu media mana yang lebih memilih menggunakan “Lumpur Sidoarjo”
atau “Lumpur Porong” sebagai judul beritanya? Jika belum tahu, silahkan cari
tahu sendiri ya. Lalu silahkan cari tahu juga apa hubungan media tersebut
dengan PT. Lapindo.
Jika kita mengingat pemilu presiden tahun 2014 lalu, dan
mencermati berita yang dibuat oleh media, mungkin memilih untuk mematikan
televisi dan memilih tidur adalah pilihan yang tepat. Ada beberapa media yang
begitu condong kepada salah satu calon presiden pada saat itu. Berbagai berita
mereka ulang-ulang untuk membangun citra calon ini, dari waktu pagi sampai
ketemu pagi. Menjatuhkan pihak lawan juga dilakukan berulang-ulang.
Berita-berita ini mereka sisipkan di berbagai program mereka, entah yang dalam bentuk
news atau talkshow biasa bahkan sampai acara seperti Stand Up
Comedy.
Mereka terus memberitakan prestasi sang calon meskipun
itu biasa saja. Persis seperti yang dikatakan Joseph Goebbles tadi, kebohongan
yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebenaran, tapi di sini bedanya
hal-hal biasa saja yang diulang-ulang dan ditambah dengan sedikit bumbu-bumbu
akan menjadi hal yang luar biasa. Bukankah sesuatu yang berulang-ulang dapat
menghegemoni kita serta merasuk ke alam bawah sadar kita. Jika sudah begitu
bisa dipastikan hal tersebut akan mempengaruhi sudut pandang kita dalam melihat
dan menilai situasi.
Akhirnya berita-berita yang mereka buat sukses
mengantarkan sang calon memenangi pemilu. Masyarakat percaya begitu saja dengan
berita-berita yang mereka buat tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu apakah
berita tersebut bisa dipercaya 100% atau mereka sedang tertipu karena ada
maksud lain dibalik pembuatan berita tersebut.
Tak berhenti sampai disitu, ketika sang calon terpilih dan
mulai mengenalkan para menterinya, TV ini kembali beraksi. Dalam sebuah talkshow
mereka mengundang beberapa ahli untuk membahas tentang gaya berpakaian sang
presiden terpilih dan para menterinya. Mereka membahas tentang kemeja berwarna
putih sampai lengan kemeja yang dilipat. Wow. Memang sebegitu pentingnya ya
membicarakan tentang lengan kemeja yang dilipat sampai mengundang beberapa ahli?
Saya tidak sedang membenci siapapun ketika menulis ini.
Saya hanya kecewa dengan sebuah media dalam membuat berita yang harusnya tidak
memihak pada pihak manapun terutama permasalahan politik, tetapi ini malah
sebaliknya. Tapi tidaklah mengherankan jika media satu ini begitu getol untuk
membangun citra salah satu calon presiden tersebut. Kita mengetahui bersama
jika pemilik media ini juga merupakan ketua umum dari salah satu partai
politik, sedangkan partai politiknya sendiri memang berkoalisi dengan calon
ini. Take and Give. “Aku membangun citramu di TVku, nanti kamu kasih aku
jatah dalam kabinetmu”. Kurang lebih seperti itu. Dan sampai hari ini pun,
televisi ini tidak berubah dalam berita-beritanya. Masih tetap membuat
pencitraan terhadap pemerintah dan program-programnya. Hal ini mengingatkan
saya pada nasib media di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Media juga digunakan
sebagai alat untuk mendukung kekuasaan pemerintah pada saat itu.
Maka sejak hari itu,
tepatnya ketika senior saya di pers mahasiswa mengatakan jika berita di media
tidak netral, saya lebih hati-hati dalam melihat atau membaca berita. Saya
memutuskan untuk tidak langsung percaya pada berita mereka, meskipun itu media
nasional sekalipun. Biasanya saya terlebih dahulu melihat TV atau koran apa
yang memberitakan, dengan begitu saya juga bisa tahu kenapa media ini pro dan
kenapa media ini kontra terhadap pemerintah. Jadi saya tidak akan menelan
bulat-bulat apa yang mereka beritakan. Bahkan kalau saya benar-benar muak
dengan pemberitaan sebuah televisi maka dengan cepat saya akan segera mengganti
salurannya atau memilih untuk mematikan televisi dan menggantinya dengan
kegiatan yang lain.
Pada berita di televisi juga tidak jarang terlihat sebuah
peristiwa yang sebenarnya salah tapi dibuat seakan-akan benar, sedangkan yang
benar dibuat menjadi salah. Tentu saja mereka tidak hanya melakukannya sekali,
tapi berkali-kali hingga kita yang menontonnya tidak sadar jika berita tersebut
sudah dibolak-balik kebenarannya. Jika acara berita yang diharapkan bisa
memberikan kecerdasan bagi penontonnya saja seperti ini, lebih baik kita juga
tidak usah melihat berita.
Dari ketujuh acara
televisi yang saya ceritakan, saya tidak bermaksud untuk mengeneralisir bahwa
semua TV dan programnya seperti itu. Saya masih melihat ada televisi yang tidak
mengikuti arus ini. Mereka punya sinetron yang “lebih bisa ditonton” dari pada
sinetron TV lainnya, yang biasanya dikonsep dalam bentuk sitkom dengan
permasalahan yang diangkat juga lebih sederhana dan lebih masuk akal, tidak
melulu tentang cinta. Stand up comedy juga menjadi pilihan yang bisa ditonton.
Selain itu ada juga program komedi yang diisi oleh pemain yang memang cakap
dalam melempar jokesnya, tanpa harus menceritakan masalah pribadi di
atas panggung. Masih ada juga berita yang menyehatkan. Mereka jarang
bersentuhan dengan berita politik. Mereka lebih sering memberitakan tentang
anak-anak muda Indonesia yang berprestasi atau ide-ide kreatif lainnya dalam
menangani permasalahan masyarakat yang kompleks.
Tapi mengingat acara TV
yang menyehatkan jauh lebih sedikit dari pada acara yang tidak menyehatkan,
saya secara pribadi lebih setuju dengan pendapat teman saya yang memilih untuk
tidak membeli televisi nanti ketika berumah tangga. Pemilik televisi dengan
program-programnya ibarat penjual dan barang dagangannya, sedangkan kita
sebagai penonton ibarat pembeli. Sebagai seorang pembeli tentu kita punya hak
untuk memilih barang mana yang akan dibeli. Seorang pembeli pasti juga akan
memilih barang yang bagus dan bermanfaat baginya. Jika sebuah barang memang
tidak bagus, maka ia akan meninggalkan dan tidak akan membelinya. Tapi
sayangnya masih sedikit sekali “pembeli” yang cerdas dan bisa memilih “barang”
mana yang bagus dan bermanfaat baginya.
Jika kita kembalikan pada
undang-undang penyiaran, sudahkah acara televisi kita sesuai dengan tujuannya
yang menumbuhkan sikap mental masyarakat Indonesia? Bagaimana mental akan
tumbuh jika disuguhi dengan adegan putus cinta lalu menangis berhari-hari
seakan-akan ia menjadi orang yang paling menderita sedunia? Sudahkah
memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia? Bagaimana bisa
mempersatukan masyarakat Indonesia yang mempunyai beragam warna kulit, jika
konsep cantik dan ganteng adalah milik mereka yang berkulit putih, rambut
lurus, sedangkan mereka yang tidak adalah sebuah “pelanggaran”? Sedangkan kita
tahu sendiri jika saudara kita di Indonesia bagian timur kulitnya berwarna
gelap, khas dengan rambut keritingnya. Saya juga tidak akan membahas tentang
apakah acara televisi tersebut dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
masyarakat Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jauh sekali.
No comments:
Post a Comment