Oleh : Fitriara
Seharian kemarin tak hanya perihal keseruan yang meninggalkan sisa berupa kulit terbakar dan tumpukan deadline yang minta perhatian. Seharian kemarin memberikan pelajaran, kebahagiaan, teman baru, rasa haru, dan pulang yang asyik.
Tuhan selalu punya alasan dibalik pertemuan demi pertemuan yang tidak kami rencanakan. Selalu. Manusia saja yang sibuk mengeluhi hal hal yang tidak perlu.
***
Siang itu, setelah sekilas menyambangi perpustakaan kampus sebelah bersama Mbak Nunung dan teman sekelasku, Laila, kami menunggu bis tujuan Blitar untuk kembali pulang. Lama kami menunggu. Penantian terjawab oleh waktu. Ternyata bis yang kami tumpangi penuh sesak, tak mengapa, kami bersabar untuk berdiri sampai satu per satu penumpang turun dan mempersilahkan kami duduk di tempat yang baru saja mereka tempati.
Perjalanan kali ini terasa berbeda sebab kami temui orang asing yang begitu asyik menjawab keluguan pertanyaan yang terlontarkan. Mereka adalah kelompok backpacker China yang disatukan dalam Rainbow Gathering.
Chou si lelaki yang mirip Vic Zhu lengkap dengan rambut sebahu rebondingnya; Xao Xao si gadis asyik berasal dari Mongolia; dan Yie si gadis pecinta etnik dari Guangzhou. Mereka ibarat 3 pulau yang dijembatani rasa ingin tahu. Meski tak selalu sama, mereka menikmati segala perjalanan seirama. Beruntung saya dan teman-teman mampu berbahasa Inggris meski tak seberapa. Sehingga kami bisa saling bercengkrama.
***
Bis telah mendarat di terminal Blitar. Kami dan para bule itu turun dan berpencar. Sesaat kemudian, seorang bapak memanggil kami untuk menerjemahkan apa yang para bule katakan. Kami dengan senang hati membantu toh kami juga sedang tak ada jadwal. Ternyata mereka akan pergi ke Bali esok hari dan mau memastikan tiket bis eksekutif. Mereka juga meminta saran untuk rumah penginapan dengan harga miring. Hebat sekali, pikirku. Kukira orang-orang bule yang singgah di kota orang selalu menginginkan yang mewah dan pelayanan sempurna.
Entahlah, dugaan saya meleset kedua kalinya. Kukira Chou adalah orang yang pendiam sebab dia tak mengeluarkan sepatah kata pun ketika di bis. Ternyata dia ibarat kembang api diantara kami. Meletup letup penuh semangat mendapati hal yang baru. Memberikan nyala bagi sekitar yang redup dan lelah.
***
Singkat cerita, kami menyinggahi satu demi satu hotel di sekitar PIPP. Sebab mereka ingin menelusuri ikon kota Blitar yang tidak lain adalah makam Bung Karno. Jadi tak salah jika kami memberikan inisiatif penginapan dengan harga miring di sekitar objek wisata. Namun semurah-murahnya penginapan, tetap saja mahal bagi saya.
Akhirnya, di penghujung senja kami mendapat penginapan dengan tarif semalam Rp. 175.000 satu kamar. Belum lagi seprei dan teh yang juga masih dikenakan tarif Rp. 30.000. (Kami di sini tidak termasuk saya dan teman teman yang turut menginap, mengingat rumah kami dekat, mengapa tidak pulang saja).
Setelah menaruh backpack dan sejenak melepas lelah, kami memutuskan untuk berjalan menelusuri kios pinggir jalan yang ketika malam tiba masih rela merentangkan pintu lebar-lebar demi menanti pejalan yang mau mengangkut barang satu dua jenis yang mereka tawarkan.
Chou, lelaki yang mengabdikan diri untuk musik, seketika melihat berbagai macam alat musik tradisional bertebaran di depan mata. Dia sangat ahli dalam memainkan segala. Kendang sentul salah satunya. Dengan segala perhitungan ketukan, suara yang dihasilkan, dan detail ornamen yang melekat tak luput dari kata yang keluar dari bibirnya.
Saya kagum dengan sopan santunnya terhadap siapapun yang dia ajak bicara. Mungkin berkat buku ajaib yang selalu ada di tas usangnya. Seperti pejalan pada umumnya yang mencatat segala kebaruan yang asing di telinga. Buku itu adalah teman perjalanan yang setia, kudapati berbagai kontak banyak kepala rupa-rupa dari segala penjuru dunia. Aiko dari Jepang, Pak Jarot dari Tulungagung, serta kosa kata Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang dengan lugu ia tulis seperti Sorry=minta maaf pun tertera.
Chou adalah muara bahagia yang tidak muluk-muluk. Dia selalu mengucapkan terima kasih, bagus, atau oke untuk menghargai lawan bicaranya. Chou ibarat kakek tua yang terbatuk sambil geleng geleng kepala sambil tersenyum melihat rupa semesta di kota kecil kelahiran saya; Blitar.
Ketika menjumpai penjual jus, kami mampir untuk memesan. Diluar dugaan, Chou memesan Jambu, tomat, dan alpukat untuk dibuat jus. Xiao lebih tertarik untuk mencampur jambu, jeruk, dan mangga. Sedang Yie mencampurkan alpukat, wortel, dan tomat. (mohon maaf jika sususan ini salah, sebab kombinasi jus kalian sungguh nyentrik). Kami saling berbagi minuman dengan rasa yang -sebenarnya-enak-kok-cuma-agak-gimana-kalau-kebanyakan.
***
Kami menikmati area Makam Bung Karno di malam hari. Terkadang Chou menjelma anak kecil yang begitu lincah dan memberi banyak inspirasi besar kepada saya. Ketika dia bercerita tentang gangguan makhluk tak kasat mata di suatu perjalanan, ia selalu merasa 'Oh ini bukan wilayah saya, maaf, saya pergi'. Sesederhana itu.
Yie yang menghilang tiba-tiba hadir dengan satu kresek es krim yang dia bagikan cuma-cuma. Kami mengobrol banyak hal di area Gong Perdamaian Dunia, bernyanyi bersama, membanggakan segala hal yang kami tahu, dan tak lupa mengabadikan momen lewat lensa kamera. Pertemuan harus kami akhiri sebab malam telah lama dikandung langit.
Tidak ada kata selamat tinggal. Kami memutuskan untuk bertemu kembali esok pukul delapan untuk menelusuri Museum dan makam Bung Karno. Juga tidak lupa untuk mengadopsi kendang sentul yang telah mencuri hati Chou sejak temu yang pertama kali.
***
Esok hari saya begitu bersemangat bangun pagi. Entah apa yang merasuki diri saya, yang pasti menjadi pemandu wisata tanpa bayaran bukanlah cita-cita orang kebanyakan. Sebab satu hal, saya percaya, beberapa hal tidak bisa dirupiahkan, seperti halnya perjumpaan yang belum pasti mau mengulangi diri. Saya beserta crew pemandu-wisata-tanpa-bayaran terlambat setengah jam dari janji yang terucap semalam. Saya kira mereka telah bersiap, sebab orang-orang barat selalu tepat waktu.
Ternyata begitu tiba di penginapan, kami tertawa melihat kondisi Xiao Xiao sang fotografer yang seperti kerupuk tenggelam di mangkuk soto. Dia tampak lemas di kursi ruang tengah. Meski sarapan telah disantap, semangatnya enggan hadir. Mungkin sebab dia belum mandi dan belum minum air putih 8 gelas sehari.
Tak lama kemudian Chou dengan segala keceriaannya muncul dari bilik kamar mandi, disusul Yie yang dengan gembira menyambut kedatangan kami.
***
Masih dengan baju mereka yang sama dengan pertama kali kami berjumpa, tujuan perjalanan kali ini adalah mencari cinderamata. Setelah keluar masuk kios, nihil yang kami dapati. Demi kebahagiaan Xiao yang ingini segelas kopi, kami pun berbelok niat untuk mampir di Warung Mbok Bari. Di bulan puasa seperti ini, jarang saya temui warung makanan yang buka di pagi hari. Padahal menurut saya pribadi, dengan adanya warung yang ada tidak mengganggu jalannya ibadah kami. Toh jika kami memang memiliki niat puasa dengan penuh, tentu tidak akan goyah hanya karena mencium aroma makanan dan membuat kelaparan minta dipadamkan.
Saya mengambil motor untuk memudahkan Chou mencari kendang idaman hatinya. Menelusuri pabrik pembuatan kendang semakin membuat pusing kepala sebab banyak pilihan di depan mata. Namun Chou tak kunjung mendapati kendang sesuai yang diincar sebab ukuran yang terlalu besar membuatnya kesusahan saat di perjalanan.
***
Baiklah, kami melanjutkan perjalanan ke Museum dan Makam Bung Karno. Yie yang berpencar dari rombongan untuk membeli SIM card, seketika muncul di pintu masuk Makam. Hanya saya, Laila, dan Chou yang memutuskan untuk ziarah ke Makam. Sedangkan Mbak Nunung dan Xiao memilih berteduh di samping makam.
Bak pemandu wisata yang sok tahu, Chou mengangguk ngangguk mendengar penjelasan saya tentang sejarah singkat di sini. Lalu kami berdoa dan menaburkan bunga. Hanya dengan melihat caranya berdoa, Chou menjelma menjadi lelaki dewasa yang taat beribadah. Setelah itu kami menuruni anak tangga.
Saat mengenakan sandal, Chou yang bergumam mengikuti suara adzan Dhuhur mengatakan kepada kami bahwa Adzan adalah suara terbaik yang dia dengar. Sebab di negaranya, banya orang dengan suara pas-pasan memaksa diri memegang microphone dengan gaya artis papan atas dan merusak gendang telinga.
Chou juga mengatakan bahwa muslim adalah orang-orang yang kuat, sebab mau untuk berpuasa demi kewajiban seorang hamba.
***
Sebuah kejutan harus kami cipta setelah banyak cerita yang terjalin dengan mengalir. Saya, Mbak Nunung, dan Laila memilih gelang sebagai kado pertemanan kami berenam. Mereka dengan senang hati memakainya. Lalu kita banyak berfoto di detik terakhir menjelang kepulangan.
Saya tahu mereka adalah pejalan yang mengawini semesta dengan baik, sebab saat obrolan seru atau melangkahkan kaki tak ada telepon genggam diantara kami. Mereka adalah pengingat diri untuk tak banyak dokumentasi agar tak melewatkan momen berharga.
Hanya memerlukan waktu sekitar 5 menit untuk sampai di penginapan. Angkutan yang secara khusus kami sewa kemarin telah menunggu.
***
Waktu menunjukkan pukul 12. Matahari sedang memamerkan sinar terbaiknya, sedang pipi kami basah sebab hujan tak mau tahu usaha pemilik tubuh untuk membendungnya. Kami berpelukan satu sama lain, menangisi bahagia yang begitu singkat, mensyukuri tiap detik cerita yang telah terabadikan di kepala. Xiao Xiao pun ikut menitikkan air mata. Ah, everybody always start with a good Hi but end it with complicated Bye.
Chou kali ini menjelma remaja kekinian yang melambai-lambaikan tangan sambil berdiri di pintu angkutan hingga kami menghilang dari jangkauan matanya. Sedang Yie membuat isyarat bentuk hati lewat tangannya. Xiao Xiao terlihat sedih sambil melambaikan tangan kencang-kencang.
Saya sempat mengatakan kepada mereka ketika akan naik angkutan untuk tidak mengucapkan selamat tinggal, sebab kami ingini sebuah perjumpaan yang mau mengulangi diri. Entah mereka yang kembali singgah di kota kami, atau salah satu dari saya, Laila, atau mbak Nunung yang mengunjungi kota mereka.
***
Terima kasih telah bersama-sama merayakan rasa yang tertuang. Kalian adalah orang baik, kami akan selalu mengingat. Selamat berjalan-jalan tanpa batas. Kalian, kami rindukan.[]
Blitar, 31 Mei 2017
No comments:
Post a Comment