Kenapa
lagu-lagu zaman dulu begitu terkenang, bahkan selalu didengarkan lintas zaman?
Sebutlah The Beatles, yang seolah jadi kiblat bermusik banyak musisi kenamaan dunia.
Di Indonesia, nama Koes Plus menjadi sangat legendaris, bahkan di
pelosok-pelosok, lagu “Kolam susu” lebih terkenal dibandingkan Indonesia raya
atau Garuda Pancasila.
Saya sendiri
tiada bosan mendengarkan lagu-lagunya Ada Band era 2000-an awal, atau Sheila On
7 yang rasa-rasanya sulit tergantikan, meski belakangan muncul The Finest Tree
yang sekilas membawa warna yang sama, atau dulu ketika Erros Candra membentuk
Jagostu. Namun tetap saja, sulit rasanya menyamai Sheila on 7.
Beberapa lagu
hits antara tahun 2003-2005 juga sangat memorable, bahkan saya masukkan dalam
folder khusus, yang ketika memutar ulang seolah kembali pada dimenasi waktu
tersebut. Seperti lagunya Dewi Sandra yang berjudul Ku Akui, “Kerinduan” milik
Shela Madjid, atau “Cobala untuk setia” dari Krisdayanti. Juga lagunya Foo
Fighting berjudul 100 Years yang tak bosan diputar.
Apa karena
lagu dulu lebih berkualitas? Sepertinya tidak begitu. Saat inipun banyak lagu
berkualitas, bahkan dengan komposisi alat musik yang lebih bervariasi, serta
dengan kualitas rekaman yang lebih baik. Bedanya, sekarang banyak lagu bisa
kita dengarkan dengan mudah, lewat ponsel, buka joox atau berselancar ke
Youtube.
Beda dengan
zaman dulu, ketika ponsel hanya untuk telpon dan sms, maksimal untuk
mendengarkan radio. Sebelum pada akhirnya bisa menyimpan mp3, video, sampai
kini menjamur android dan sejenisnya. Atau harus membeli kaset rol, VCD dan
memutarnya melalui sound besar yang membuat seisi rumah heboh. Sekarang ini
mendengarkan musik bisa sangat privat, melalui headseat dan pirantinya
masing-masing.
Saat itu,
hanya sekedar ingin mendengarkan lagunya Nidji berjudul Child saja, saya harus
menerobos hujan menuju wartel, agar bisa request langsung ke penyiar radio,
itupun tidak selalu bisa masuk, sebab harus bersaing dengan penelepon lain. Sekalinya
bisa masuk, itupun pas break iklan. Sekarang yang semacam ini tak pernah
lagi kita temui. Wartel-wartel juga sudah tutup.
Kalau tidak
begitu, harus menunggu jam 10 malam untuk mendengarkan Pandawa Fm Tulung Agung.
Pada jam-jam itu lagu pop slow diputar, sembari berdoa semoga lagu yang ingin
kita dengar masuk playlist. Bahkan tak jarang sampai tertidur, sehingga
terbangun dinihari karena kemerosak suara radio yang kehilangan saluran. Bahkan
pernah sampai baterai habis.
Tapi suasana
semacam itu masih juga dipertahankan sebagian orang, dalam jumlah terbatas
musisi non mainstream masih merilis piringan hitam. Beberapa kolektor
ponsel jadul masih merawat gawai mereka agar terus berfungsi, bahkan dengan
beragam modifikasi. Sekarang tak disangka barang-barang kuno semacam itu
harganya melangit.
Sebagaimana
sisi kehidupan yang lain, hal-hal yang teramat sulit didapatkan, atau berat
dijalani akan menjadi kenangan tersendiri. Meski ketika itu berlangsung,
rasanya jenuh setengah mati, menggerundal sana sini, dan berharap ada keajaiban
datang untuk mempermudahnya.
Teringat
ketika pertama kali sekolah ke Kota, saya harus bersusah payah mencari
kendaraan. Dua kali naik angkutan umum, atau mengayuh sepeda BMX sampai kaki
pegal-pegal. Betapa nelangsanya ketika pulang larut sore, tapi tidak
menemukan satu angkotpun di perempatan kawi, akhirnya jalan ke selatan sampai
pertigaan rembang, naik bus turun jembatan kademangan, dan masih harus jalan
kaki sampai ke rumah.
Anehnya
hal-hal semacam itu, yang barangkali ogah kita jalani lagi, justru
menjadi memori tersendiri. Sementara kemudahan-kemudahan yang kita rasakan,
menguap begitu saja bersama waktu, tak tersangkut sedikitpun.
Namun
penderitaan ketika Tsanawiyah tersebut ternyata masih harus saya alami ketika
kuliah, bahkan dengan level yang lebih menyakitkan. Ketika pada tiga semester
pertama menjadi pejalan kaki, dan untuk perjalanan jauh harus berbagi ongkos
dengan angkot, atau berharap kebaikan teman meminjamkan motornya.
Untuk memenuhi
undangan kajian, diskusi atau ketika ada seminar umum di kampus sebelah, tak
jarang harus jalan kaki. Tapi anehnya pada saat itu, tidak begitu nampak beban,
sebab temannya banyak. Yang seperti itu juga banyak, terutama mereka para
perantauan, yang kadang harus membagi satu bungkus mie instan untuk dua kali
makan. Yang kadang-kadang, ketika membeli makanan, meminta porsi nasinya lebih
banyak agar bisa digunakan dua kali makan. Karena tidak semua mahasiswa
perantauan itu anak orang kaya.
Tugas-tugas
kuliah dan sejenisnya, yang dulu rasanya begitu menjengkelkan, membosankan,
apalagi setelah dikerjakan masih juga diminta revisi sana sini, harus resum
satu buku dalam semalam, ngeprint berlembar-lembar halaman sementara
rekening sudah menipis. Duh, geregetan minta ampun.
Tapi setelah
itu berlalu, apalagi bertahun-tahun setelahnya, muncul suasana melankoli.
Sudut-sudut kampus yang dulu nampak biasa, kini seolah memutar kembali cerita.
Mungkin rindu, tapi bukan berarti kita mau mengulanginya lagi. Karena toh
peristiwa akan berganti setiap masanya. Kita hanya perlu mengenang. Itu saja.
Selepas
fikiran kita dipenuhi sengkarut masa lalu yang pelik itu, barangkali ada
kesiapan yang lebih untuk menerima kenyataan hidup berikutnya. Sebab Tuhan
menganugerahi kotak untuk senantiasa mengingat, namun tidak semua hal bisa kita
ingat, tapi banyak juga yang tidak mudah kita lupakan. []
Blitar,
30 September 2017
Ahmad
Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment