Oleh : Alfa Anisa
Bila tidak salah mengingat, saat itu langit berwarna abu-abu, awan tipis berderet rapi saat kepalamu menengadah ke langit-langit. Aroma tanah yang baru saja kejatuhan air dari langit menguap ke udara bercampur dengan aroma minyak wangi pengunjung yang melintas silih berganti.
“Aish!” kau bergeming tak jelas sambil membenarkan letak duduk dari anak tangga kedua menuju tangga paling atas. Duduk seorang diri di sebuah bangunan yang disusun dari campuran batu granit berbentuk persegi panjang—bekas tempat Gong Perdamaian sebelum dipindahkan ke bangunan baru sebelah kiri.
Tubuh kurusmu terbungkus kaos panjang berwarna garis hitam abu-abu dengan bentuk wajah tirus dan rambut ikal acak-acakan yang kau biarkan menutupi hampir sebagian wajahmu.
***
Kau menatap orang berlalu-lalang yang melintas tak jauh dari hadapanmu, hanya berjarak sekitar dua meter dari tempatmu duduk, berebut mengabadikan kenangan bersama gong besar atau Gong Perdamaian yang menyembul dengan bola dunia di bagian tengah. Gong itu kira-kira berdiameter dua meter, dengan gambar bendera berbagai negara di dunia yang mengelilingi bola dunia.
Pandanganmu belum beralih dari pengunjung yang mendekat ke arah gong— sepasang kekasih berbincang-bincang di sudut, menunggu giliran untuk memotret, seorang gadis dan perempuan paruh baya yang sedang duduk bersantai di anak tangga bagian selatan, ada juga kerumun remaja sedang menyiapkan kamera dari saku lalu bergiliran untuk berpose dekat gong.
Sepasang matamu dengan jeli menatap masing-masing dari mereka, seakan-akan sedang menilai karakter melalui ekspresi wajahnya. Lalu tatapanmu beralih ke layar gadget yang kauletakkan di pangkuan, menyentuh huruf-huruf yang ada di layar seperti menuliskan sesuatu yang baru saja kautemukan.
***
Ketika sesaat kemudian, matamu beralih ke arah pria paruh baya berkulit hitam legam yang duduk di atas paving tak terpakai di samping gerbang bercat hitam. Salah satu gerbang menuju gong perdamaian. Tatapan pria itu terlihat memandang ke arah jalanan yang bising lalu-lalang kendaraan akhir pekan. Samar-samar suara gamelan yang ditabuh masih terdengar dari kejauhan, karena baru saja aktraksi topeng monyet di tepi jalan beraksi. Salah satu tangan pria itu sesekali membuka tabung penutup es yang diletakkan di depannya, mungkin memastikan jumlah dagangan yang dijual hari ini sudah berkurang.
“Cckck,” kedua bibir tipismu berdecak lirih, tak beralih pandangan ke arah lain.
Kau menaksir usia pria itu sebenarnya masih tiga puluh tahun, namun dari garis-garis wajahnya terlihat seperti sudah empat puluh tahun lebih, hal itu terlihat dari binar mata sayu yang memancarkan beban nasib tergantung dari garis-garis di matanya.
***
Bibirmu terkatup rapat, angin beraroma lembap mulai berputar-putar di udara, hawa dingin pun menelusup ke pori-pori tubuh. Kedua tanganmu terlipat di depan dada, mengusir gigil yang tiba-tiba datang mendekati.
Meski mendung masih menggantung di langit karena hujan yang baru saja reda, namun tak menyurutkan niat para pengunjung yang semakin banyak berdatangan di area gong perdamaian. Bangunan ini terletak di sebelah kiri gedung utama Perpustakaan Bung Karno, dekat dengan perpustakaan anak dan remaja. Orang-orang semakin banyak yang hilir mudik melintas, entah hanya sekadar duduk-duduk menikmati akhir pekan mengelilingi kompleks makam bung karno, mengabadikan kenangan atau hanya sekadar berjalan-jalan menghabiskan waktu.
Namun, mendung siang itu seperti malapetaka bagi pria penjual es drop. Kau menatap pria paruh baya itu sekali lagi, kepalanya terlihat menengadah ke langit-langit, sepasang mata sayunya seperti menerka-nerka cuaca hari ini sambil berdoa agar terik mentari kembali terhampar di seluruh semesta.
***
Entah karena merasa prihatin tak ada satu pengunjung sekalipun yang membeli es dari pria paruh baya itu, atau lantaran hanya ingin berbincang-bincang saja, kau memasukkan gadget-mu ke dalam tas selempang lalu beranjak berdiri mendekati pria penjual es drop itu.
“Mas, esnya satu.” Katamu sambil mengeluarkan uang sepuluh ribuan di saku celana.
Pria paruh baya itu duduk menopang dagu sambil menatap jalanan bising, tak menyadari keberadaanmu yang datang mendekat, sontak saja dia terperangah kaget dengan kehadiranmu yang begitu tiba-tiba.
“Kacang hijau saja, Mas,” katamu ketika penutup tabung es itu terbuka, dan pria paruh baya itu mengambil es sesuai permintaanmu.
Setelah kau menerima uang kembalian lima ribu rupiah dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana, lalu kau ikut berjongkok di belakang gerbang hitam itu sambil menikmati es drop yang baru saja kaubeli.
“Sudah lama jualan es drop ya, mas?” tanyamu mengusir keheningan karena sama-sama terbungkam dalam diam.
Pria itu hanya menatapmu, tersenyum kecil lalu mengangguk pelan. Tangan kanannya meraih topi di kepala, lalu mengipaskan ke arah tubuhnya yang ditumbuhi banyak keringat.
***
Sebenarnya kau sedikit jengkel, padahal kau sudah merelakan untuk menghampiri pria ini mungkin sekadar bisa menemani ngobrol atau setidaknya mengurangi jumlah es yang saat kaulihat tadi masih penuh tapi ternyata keberadaanmu tak sepenuhnya dianggap ada, mungkin seperti pengunjung yang mampir untuk duduk sebentar. Apalagi setelah beberapa menit berjongkok, sama sekali kau tak mendengar pria penjual es drop itu menawarkan dagangan ke orang-orang yang melintas, hanya duduk diam menunggu.
Kedua alismu yang sedikit tebal terlihat menyatu ke tengah, bibirmu terkatup rapat seperti menduga-duga pendapat tentang penjual es drop ini yang mungkin saja salah. Kedua tanganmu kau kibaskan ke udara karena air es masih menempel di telapak tangan yang membuat tanganmu berasa lengket.
Kau melirik jam di pergelangan tangan kanan, jarum jam masih menunjukkan pukul dua siang. Mendung masih menyelimuti langit, gigil pun masih setia menyelimuti tubuh orang-orang, namun air hujan sepertinya sudah berhenti atau barangkali doa dari penjual es drop telah berhasil.
***
Riuh suara para pengunjung mulai terdengar lebih berisik, karena sepertinya mendung hanyalah menipu orang-orang agar lekas berteduh. Orang-orang semakin ramai hilir mudik, bergiliran mengabadikan ingatan dan takjub suasana siang itu di kompleks gong perdamaian dengan layar ponsel.
Kau melepas kacamata lalu meletakkannya di atas kepala, mungkin kau sudah kehabisan kata-kata ingin berbicara lebih banyak dengan penjual es drop itu, karena nyatanya penjual itu tak terlalu tertarik dengan keberadaanmu yang berada di sisinya hanya sesekali menoleh tanpa menggubris.
“Tinggal berapa Jan?” tanya seorang pria tua bertubuh kecil yang juga menenteng dua tabung di kedua tangannya. Lalu ikut-ikutan duduk di hadapan pria penjual es drop itu.
Kau melirik sebentar, lalu kembali mengarahkan pandangan ke arah amphiteater yang berkerumun anak-anak muda berpakaian olahraga yang berlari-larian di rumput hijau. Kau berpkir mungkin mereka sedang melakukan pemanasan sebelum melakukan pertandingan, entah olahraga apapun itu.
Telunjuk dan jari tengah penjual es drop itu diacungkan di hadapan pria tua yang berada di depannya, tanpa berniat untuk membuka suara. Bibir bagian kirinya sedikit naik ke atas, dalam hati kau tahu pria itu hanya mengelus dada.
“Sabar aja, Jan, aku saja masih lima potong yang terjual.” Gerutu pak tua itu duduk bersila sambil mengipasi tubuhnya dengan topi yang tadi sempat dipakai.
Pria paruh baya penjual es drop itu hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Semenjak pagi terik matahari memang tak mampir meski hanya sebentar, mendung masih menyelimuti hingga siang mulai beranjak menuju sore hari.
***
Sebenarnya kau kurang mengerti kenapa pria paruh baya itu sama sekali tak membuka suara, meski tatapanmu berulangkali tak menatap mereka berdua yang sibuk berbincang, namun sesekali kau masih melirik dengan mata sipitmu dan kedua telingamu juga masih awas untuk mendengar percakapan mereka berdua.
“Balik yuk, Jan, sepertinya mau hujan.” Ajak pria tua itu beranjak berdiri, dan pria itu tampak hanya mengangguk.
Kau hanya menatap mereka berdua yang bersiap untuk pergi, dan melepas kepergian penjual es drop itu yang ternyata berjalan dengan susah payah, kaki kirinya seperti tak bisa diluruskan sebagaimana orang normal, berjalan dengan sedikit pincang.
Ketika beberapa langkah mereka berdua telah pergi kau menemukan selembar kertas yang tertinggal di dekat paving yang diduduki pria paruh baya penjual es drop tadi. Kau memungutnya, dan menduga itu milik pria paruh baya itu lalu membaca rangkakian huruf yang tertera di dalam lembaran kertas itu.
Aku ingin menemui Tuhan. Siang ini, ya siang ini telah kusiapkan rencana-rencana kecil, tak lupa bekal yang telah kusiapkan semenjak seminggu yang lalu. Hari ini hari Jumat, hari baik yang dipercaya tak akan mendapat siksa di alam lain. Dan aku juga telah bekerja sama dengan para malaikat untuk mengantarkanku untuk menemui-Mu Tuhan.
Kau terhenyak kaget, tiba-tiba dari kejauhan terdengar bunyi benda keras saling bertabrakan diikuti jeritan orang-orang.[]
Blitar, 24 Maret 2016
No comments:
Post a Comment