Oleh : Nabila Ananda
Yey! Mama akan menjemputku. Senang sekali rasanya ketika tadi Mama mengirimkan pesan melalui ponsel pintar. Pendek saja pesan itu. “Nanti Mama jemput”.
Setelah membaca pesan itu jujur saja hatiku langsung berbunga-bunga melebihi ketika kalian mendapatkan cokelat spesial dari gebetan. Hehehe...
Aku tahu sih, mungkin bagi sebagian anak seusiaku, dijemput Mama dan merasa girang itu norak sekali. Tapi bagaimana lagi ya, aku memang benar-benar bahagia.
Oh iya, kenalkan, namaku Tania, umurku 14 tahun. Sekarang aku siswa kelas 2 SMP di kotaku.
***
Apa? Kalian tanya tentang kapan aku terakhir dijemput Mama? Kalau itu pertanyaan kalian, maka jawabannya adalah tak pernah sekalipun. Mama tak pernah sekalipun menjemputku sepulang dari sekolah sejak aku duduk di Taman Kanak-Kanak. Papa? Entahlah. Bahkan sekarang aku tak terlalu ingat dengan wajahnya.
Tentang Papa, aku hanya punya kenangan yang samar-samar. Waktu itu umurku sekitar 5 tahun. Papa sering menggendongku di pundaknya. Kadang Papa juga melambungkanku tinggi di udara lalu dengan sigap menangkap tubuhku yang kecil. Pada saat itu Mama juga terlihat bahagia. Mama akan sering membuatkan kue nastar kesukaanku.
***
Setelah itu, tak ada lagi kenangan manis tentang Papa yang tersisa. Hari-hari berikutnya kenangan tentang Papa dan Mama adalah kenangan yang paling aku benci.
Papa tak lagi menggendongku, Mama tak lagi tersenyum dan membuatkanku kue nastar. Papa akan berteriak, lalu Mama akan menjawab teriakan Papa dengan suara yang tak kalah tinggi. Papa akan menggebrak meja, lalu Mama akan memecahkan piring-piring. Suara berat Papa akan bersaing dengan teriakan Mama yang tinggi.
Oh Tuhan...sungguh aku takut sekali pada saat itu. Ingin sekali aku teriak dan menangis lebih kencang dari suara mereka, tapi seperti ada yang iseng menahan suaraku. Akhirnya aku hanya bisa sembunyi di bawah meja, di belakang lemari, atau di bawah tempat tidur sambil memejamkan mata dan menutup telinga.
***
Mama dan Papa kenapa sih harus teriak-teriak? Apa Papa tidak suka lagi dengan masakan Mama? Apa Mama marah pada Papa karena akhir-akhir ini sering lembur dan pulang malam?
Aku juga sering marah dan kecewa sama Tino yang suka merebut mainanku itu ketika mengaji di mushola. Tapi Ustadzah Hilda akan segera memisahkan dan meminta Tino meminta maaf. Tak bisakah Mama dan Papa saling meminta maaf? Haruskah aku pergi ke rumah Ustadzah Hilda untuk memisahkan Papa dan Mama?
Entah berapa lama setelah teriakan-teriakan Papa dan piring-piring Mama yang pecah, Papa meninggalkan rumah begitu saja. Bahkan Papa juga tak mengucapkan selamat tinggal padaku atau mengecup keningku seperti biasanya ketika aku beranjak tidur.
***
Sejak kepergian Papa, Mama berubah menjadi orang yang tak aku kenal lagi. Setiap hari Mama baru akan pulang ketika malam sudah larut. Mama selalu pulang dengan bau mulut yang menyengat, entah apa yang baru diminum Mama pada saat itu. Hari-hari selanjutnya, Mama pulang dengan membawa laki-laki yang berbeda setiap harinya.
Mama semakin jauh dariku.
Mama dan aku tak pernah benar-benar bertemu. Pagi, ketika aku berangkat sekolah Mama masih tidur. Dan malam ketika aku sudah tidur, Mama baru pulang.
Beberapa kali aku mendengar Mama ketika pulang, lalu aku akan membuka sedikit pintu kamarku dan mengintip. Mama akan menaruh beberapa lembar uang di atas meja makan untuk uang sakuku esok, lalu Mama akan segera masuk ke kamarnya dan menguncinya.
Tak ada lagi kue nastar buatan Mama, tak ada lagi senyum Mama. Mama juga tak pernah menanyakan tentangku, sekolahku, teman-temanku atau juga sekedar PR ku. Bagi Mama, memberi uang untukku itu sudah cukup.
***
Ah, kenapa tadi kalian bertanya tentang terakhir dijemput Mama? Kan jadi panjang ceritanya. Aku juga jadi nangis ini. Ah sudahlah, nanti kalau ada teman yang lihat kan aku malu. Masak mau dijemput Mama saja sampai nangis begini. Hehehe...
Sepertinya sudah sekitar 1 jam aku menunggu Mama di sini. Mungkin Mama sekarang masih dalam perjalanan dan terkena macet. Aku akan menunggu Mama di warung Mbok Nah di seberang jalan itu. Biasanya kalau jam istirahat aku suka ke sana bersama Renata teman sebangkuku. Tapi tadi kami tak sempat ke sana. Jam pelajaran dimampatkan, hingga tak ada jam istirahat untuk kami.
Aku akan memesan nasi rames dan jus jeruk untuk mengisi perutku yang sudah berteriak-teriak dari tadi. Sebentar, coba kalian lihat di ujung timur jalan sebelah sana. Itu Renata, teman sebangkuku. Ia dijemput oleh Papanya menggunakan sepeda motor. Pagi hari, ia akan diantar Mamanya. Setiap hari selalu seperti itu. Sebenarnya, aku iri sekali dengan Renata. Huft.
***
Tania, Mama tadi sudah akan berangkat menjemputmu, Sayang. Tapi maafkan Mama ya. Mama tidak bisa. Ada rekan bisnis Mama yang datang hari ini dan meminta Mama untuk menemaninya ke luar kota. Mama akan pulang lima hari lagi. Nanti teman Mama yang akan menjemputmu. Mungkin sekarang sudah ada dalam perjalanan ke sekolahmu.
***
Sepiring nasi rames dan segelas jus jeruk sudah sukses masuk ke dalam perutku. Dua jam waktu sudah berlalu sejak bel sekolah. Sekolahku sudah sepi. Mama belum juga datang menjemputku. Sepertinya aku harus sabar menunggu sebentar lagi. Ah apa susahnya menunggu setengah atau sejam lagi, toh hari ini aku akan menghabiskan waktu berdua dengan Mama sepanjang perjalanan pulang.
Apa ya yang kira-kira nanti akan aku bicarakan dengan Mama? Haruskah aku bercerita tentang artis-artis Korea yang akhir-akhir ini aku tonton bersama Renata? Atau artis sinetron yang berkulit pucat yang akhir-akhir ini digandrungi teman-temanku. Ah sepertinya membicarakan Aldo yang sering menang lomba lebih seru.
***
Aku akan tetap menunggu Mama. Aku tidak mau pulang dengan siapapun kecuali Mama, termasuk Om ini yang katanya teman Mama. Ayolah Ma, Mama pasti datang menjemputku kan? Aku kangen sekali dengan Mama. Toh Mama sudah janji mau menjemputku. Kenapa Om ini terus membujukku untuk pulang Ma? Aku tidak mau pulang Ma. Aku hanya mau pulang sama Mama. Titik.[]
Terinspirasi dari cerpen Yetty A.KA
Sumber gambar : Instagram @okyrisandi
No comments:
Post a Comment