Oleh : Rizkha N. Latifah
Sebuah undangan bertuliskan Miss Fulanah dan Mister Fulan bersampul biru tergeletak di meja tamu kemarin mengingatkan saya tentang fenomena tentang jodoh.
Lagi-lagi masalah jodoh, asmara, cinta, dan karma masih menjadi topik hangat yang enak kalau dibicarakan bersama, apalagi anak sekolah seusia SD hingga SMA sudah sering jadi bahan sipu-sipunya rona wajah, bahkan keponakan saya yang masih duduk di TK malah dengan pedenya mengakui sudah punya pacar.
Haloo! Ini tahun 2018, saya masih belum memiliki keturunan apa jadinya nanti kalau anak saya sudah bersekolah. Huft, masalah pelik.
Baiklah kembali pada undangan tadi. Undangan bersampul biru itu ditujukan pada suami saya, dia tak mengaku bahwa undangan itu dari mantan terindah semasa SMA. Hihi saya ngeledekin suami.
Undangan dari sang mantan itu saya kaitkan dengan postingan jodoh yang lagi viral di media sosial belakangan ini, bertuliskan status sepuluh tahun pupus menjaga jodoh orang lain lengkap dengan foto-foto perjalanan pacaran semasa sekolah, kuliah, sampai kerja bersama terlihat bersama memilih profesi bersama sebagai abdi negara, guru bisa jadi.
Saya semakin terkekeh ketika suami saya bilang tentang viral itu dan undangan sang mantan terindah semama SMA. Jadi, saya sebut dia sebagai korban njagain jodoh orang lain.
Pada awalnya bukan saja karena kejadian tentang undangan suami dari mantan yang jadi manten orang lain. Ya, manten dalam bahasa Jawa berawal dari kata kemanten yang sama maknanya dengan pengantin.
Sang mantan pacar menjadi pengantin dengan orang lain bukan hal yang satu dua kali saja viral, dulu sebelum ada internet dan media sosial yang semudah ini. Zaman orang tua saya dan sesepuhnya sudah banyak yang mengalami hal ini, mantan jadi manten.
Dalam agama Islam dan tradisi Jawa sudah sering disebutkan bahwa Lair, Jodo, Rezeki, Pati (Kelahiran, Jodoh, Rezeki, dan kematian) sudah haqul yakin ditetapkan Tuhan bahwa takdir setiap manusia telah ditetapkan pada ruh dalam kandungan empat bulan.
Sebenarnya fungsi pacaran yang bertahun sering dianggap wajar sebagai ladang dan sarana pengenalan, penjejakan, atau tahap coba-coba, saya menyebutnya seperti itu. Mencoba-coba memainkan perasaan yang campur-aduk sebagai peran lelaki dan wanita yang seolah seperti sebuah pasangan resmi saja.
Padahal, kenyataanya setan dan nafsu saja memberikan bumbu-bumbu semu sehingga menjadikan hubungan lebih ke arah zina, awalnya sebatas pengenalan karakter, sikap, watak antarlawan jenis menjadi sarana incip-incip semuanya meski belum halal segalanya.
Saya menyimpulkan kejadian pembagian undangan dari mantan pacar ke suami bisa dianggap sebagai sindiran halus dari takdir bahwa pacar yang dijalin selama bertahun-tahun rasa kredit motor atau rumah tetap akan berakhir tragis apabila anggapan pacar adalah jodoh.
Ternyata mantan telah menjadi manten orang lain, beruntung kasus undangan suami dari mantan pada saat sudah beristri coba kalau kejadiannya seorang lelaki atau wanita yang masih single atau jomblo tambah semakin ngenes kalau belum ikhlas merelakan keberadaan manten yang mengundang secara terang-terangan.
Nah, saya yang mengakui tidak pernah mempunyai mantan saja agak risih — risih gimana tetapi saya mencoba memposisikan bagaimana perasaan seseorang pernah menjalani hubungan dan memutuskan untuk tidak berlanjut alias belum berjodoh, kemudian dengan niat menyambung silahturahim dan persaudaraan malah mengundang mantan yang salah tafsir menganggap bahan penghinaan, pembuktian bahwa dia dapat menemukan jodoh yang sebenarnya dan kebetulan pas lebih baik dari segi apapun dibandingkan dengannya yang pernah membiarkan atau memutuskan mantan pengundang.
Begitu tragis sebenarnya, saya malah menuliskan pengalaman kecil kemarin ketika mantan suami mengundang pada acara pernikahannya. Seperti mendapat ilham saya lebih memilih membuat coretan tentang topic mantan yang masih hangat-hangatnya bagi seumuran saya dalam rentang waktu tahun terakhir memutuskan ikatan halal dalam wujud undangan.
Saya menilai selain makna undangan pernikahan, walimatul ursy, ataupun resepsi bisa dianggap sebagai sarana reuni kawan-kawan lama atau mungkin luka lama yang sempat terjeda. Terlepas dari manfaat utama restu dan doa para undangan pengantin.
Mantan tetaplah sejarah dalam kehidupan seseorang dan telah menjadi lembaran masa kemarin yang tidak serta merta dapat dihapus begitu saja, justru dengan adanya mantan mendidik hati supaya lebih keras belajar menerima dan ikhlas tentang keberadaan masa kemarin yang perih dan sedih sehingga dapat berdamai lalu datang secara legawa bersama rombongan sahabat, kawan lama walau sekedar mengucap kata selamat atau berfoto bertiga dengan mantan pengantin seperti foto viral di media sosial beberapa waktu lalu.
Apapun itu, setiap hubungan yang retak dan patah lalu membuat kata mantan tetap mejadi episode bahagia yang dilewati dengan rasa damai harusnya ditutup dengan rasa terima kasih atas kejadian sehingga memperoleh pelajaran berharga dari setiap peninggalan rasa sang mantan pacar di masa kemarin.
Saya jujur mengatakan lebih hebat seseorang memilih jalur pacaran dengan aneka rasa di hati daripada saya yang belum pernah sama sekali mencicipi rasanya dikhianati, rasa patah arang tanpa semangat hidup, hingga rasanya move on (bangkit) dari keterpurukan putus pacaran.
Saya lebih memilih jalur aman untuk mengenal jodoh saya, karena selain sesuai syariat agama saya perkenalan sebelum masa lamaran dan memutuskan menikah, saya takut rasanya sakit hati sampai berpatah-patah lalu saya dipaksa harus belajar memaafkan dan menerima kenyataan.
Yang terpenting adalah bagaimana sikap kita menanggapi masa kemarin dengan damai dan tetap bersaudara meskipun itu mantan yang mengundang acara mantennya.
Malang Selatan, 23 Februari 2018
No comments:
Post a Comment