Oleh : Ahmad Radhitya Alam
Akhir-akhir ini kita banyak mendengar pemberitaan mengenai persoalan Presiden BEM UI yang mengacungkan kartu kuning terhadap Jokowi. Dilihat dari kaca mata manapun hal ini menimbukan sebuah paradoks. Di satu sisi kita melihat bahwa itu merupakan sebuah tindakan yang tidak pantas yang dilakukan seorang mahasiswa kepada pemimpin negaranya, apalagi tindakan tersebut dilakukan di muka umum dan dalam sebuah kegiatan yang diliput oleh media.
Tetapi di sisi lain kita dapat melihat bahwa tindakan tersebut merupakan representasi kekritisan mahasiswa terhadap pemerintahan. Ini tergantung cara pandang kita dan mungkin pada blok mana kita memihak. Atau juga kita malah bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di negeri ini?
Sebagai seorang pelajar memandang sesuatu dengan sikap kritis itu sudah menjadi keharusan senagai penerapan dari kurikulum. Tetapi terkadang sikap kritis itu menjadi katalis namun akhirnya hilang dan menguap begitu saja tanpa ada hasilnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah sikap kritis itu hanyalah sebuah formalitas dari penerapan kurikulum dan prinsip demokrasi? Atau memang hanya sebuah gurauan yang tertuang pada secarik aturan?
Jika dilihat pemaknaannya kritis berarti bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan atau juga tajam dalam penganalisaan (KBBI, 2016).
Dilihat dari sisi ini kita kadang salah dalam memanknainya. Selalu saja kita memotong pemaknaan pada kalimat berusaha menemukan kesalahan. Karena itu kita selalu menganggap sesuatu yang kritik salah dan keliru. Padahal kritis adalah tajam dalam penganalisaan. Bolehlah kita kritis pada sesuatu, tetapi jangan lupakan sesuatu kebenaran yang menempel padanya.
Menilik fakta sejarah –yang kelam juga menggembirakan- yang pernah dialami negeri ini, yaitu reformasi. Di situ mahasiswa menjadi aktor penting pada berbagai aksi protes terhadap pemerintahan. Mereka menjadi penyambung lidah masyarakat kepada pemerintah yang berkuasa. Sampailah pada kasus berbagai konfik yang terjadi di ibukota yang katanya non sistematis (atau juga sistematis).
Namun apakah ini murni sebuah protes sesuai hati nurani tiap mahasiswa yang ada? Ini menjadi sebuah pertanyaan besar di kepala kita. Bukan karena saya menafikan perjuangan mereka. Tetapi hal ini tak pernah muncul dalam agensi-agensi penjual berita.
Juga ketika kita menggulingkan sebuah kekuasaan tirani, maka kita akan melahirkan sebuah kekuasaan baru yang kita tidak tahu apakah itu lebih baik dari kekuasaan yang terdahulu ataupun lebih buruk lagi. Toh, sebagai seorang pengkritik kita tidak akan pernah memegang tampuk kekuasaan.
Lalu bagaimana cara mengkritik yang baik? Jimmy Paat, pengamat pendidikan UNJ dalam program Mata Najwa mengatakan bahwa mengkritik yang baik adalah dengan membaca buku dan menguraikan apa yang ada di dalamnya, kemudian mengungkapkannya sesuai dengan fakta yang ada di masyarakat. Kemudian, apakah kita sudah mengkritik dengan cara itu? Atau mungkin kita hanya asal bicara sesuasi isi kepala?
Dalam acara Puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2018 di Danau Cimpago, Kota Padang, Sumatera Barat wartawan asal Surabaya yang tukar posisi dengan Jokowi, Muhammad Yusri Nur Raja Agam mengatakan “Kalau rakyat merdeka, pemimpinnya susah. (Mereka) terlalu merdeka, semua dianggap merdeka. Padahal, ada aturan kemerdekaan agar lebih beradab.”.
Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaanpun masih ada batasnya, yaitu norma dan aturan dalam masyarakat. Kalau tidak, maka kemerdekaan berbicara serta mengkritik akan dapat membahayakan pemerintahan dan negara.
Menuju inti dari semuanya. Sebagai pelajar atau mahasiwa kita harus mengkritisi dengan netral tanpa emebel-embel apapun. Ketika kita mengkritis kebijakan tidak usahlah kita harus sampai melakukan aksi yang anarkis. Toh, kita juga menikmati hasil dari kebijakan tersebut.
Marilah kita sikapi dengan damai dan berbudaya sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang digali dari kebudayaan kita.
Sumber gambar: https://4.bp.blogspot.com
No comments:
Post a Comment