Oleh : Faridha Fajriyah
Malam itu, di sebuah kedai kopi dan ice cream, aku memilih melewati malam minggu sendirian di tengah orang-orang. Aku tidak menunggu siapa-siapa, juga tidak sedang ditunggu siapa. Aku hanya memilih diri sendiri menjadi teman malam minggu yang sederhana.
Sementara di luar sana, ada banyak cara mereka menikmati malam minggu. Yang aku lakukan tak selalu sama dalam menikmatinya. Sebenarnya aku tidak memiliki jadwal tentu untuk melewati malam yang kata orang syahdu itu.
Iya, memang syahdu. Syahdu karena ada beberapa dari mereka tengah merayakan hari istirahat dari aktifitas di malam hari hingga keesokan harinya.
Sebentuk waktu bagi kebanyakan para pecinta untuk menghabiskan masa pertemuan panjang dengan kekasihnya. Sebentuk waktu bagi kebanyakan pemuda yang berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul bersama teman-temannya. Sebentuk waktu bagi mereka yang lebih memilih diam di rumah, bercakap-cakap bersama kehangatan ruangan rumah dengan atau tanpa remah-remah makanan di meja ruang keluarga.
Aku, cukup sering menikmati waktu di luar rumah, demi berkumpul dengan teman-teman sejiwa. Atau berkunjung ke rumah mereka hanya karena aku tidak ingin malam minggu kulalui sendirian. Pernahkah kalian juga melakukan hal yang sama? Atau kalian tidak pernah melakukannya?
Aku lupa, berapa banyak malam minggu terlalui dan dengan siapa malam minggu itu terlewati. Aku sudah lupa. Sebab rupanya, yang kubutuhkan kini adalah malam minggu dengan diriku sendiri. Merenungi bagaimana kehidupanku selanjutnya. Merenungi bagaimana semua rasa tercipta seperti yang pernah didendangkan oleh sebuah lagu.
Apakah tetap seperti ini atau akan berubah suasana menjadi malam minggu di California. Atau malam minggu di London. Aku sungguh bernafsu akan hal itu. Aku bahkan sering berandai-andai jika saja suatu ketika aku menikmati malam minggu di antara butir salju yang turun perlahan. California, atau London, keduanya aku jatuh cintai dengan gila.
Walaupun sebenarnya, setiap malam minggu selalu sederhana dan sama. Tidak ada yang spesial dengan malam minggu. Ia hanyalah waktu yang panjang untuk beristirahat dari kesibukan, yang kemudian dinikmati dengan berbagai cara oleh penikmatnya.
Aah, aku pun lupa. Aku berandai tentang malam minggu seakan semua orang berada dalam usiaku, dalam posisiku. Hingga aku lupa bahwa penjual nasi goreng di selatan alun-alun tidak mengenal hari, bahkan di malam minggu. Ia tetap menggoreng nasinya untuk dinikmati para penikmat malam minggu yang mampir mengganjal perutnya.
Juga hampir luput olehku, bagaimana malam minggu bagi mereka yang tengah terbaring sakit di berbagai rumah sakit yang ada. Mereka tidak menikmati malam minggu selayaknya aku yang gila dan mengandai-andai perihal London dan California.
Bagaimana juga malam minggu mereka yang tengah berada di sel tahanan. Mereka hanya bisa menghitung hari hingga mencapai 2, 3, 5, 6, 7 tahun ke depan. Mungkin mereka juga lupa hari ke 106 di tahanan itu hari Selasa, atau Sabtu malam. Bisa jadi, setiap hari bagi mereka adalah hari Minggu saja.
Mungkin yang paling indah adalah malam minggu para nelayan. Biarpun terombang-ambing di lautan, tetapi mereka mendapati kesunyian dan syahdu ombak malam yang kubayangkan begitu rupawan. Biarpun dingin karena angin leluasa menerjang, tetapi nelayan menyaksikan cantiknya rasi bintang. Mungkin tidak setiap malam minggu mereka melaut. Tetapi, hal apa yang tidak menjadi indah jika itu tentang lapangnya lautan beserta ombaknya yang setiap hari selalu spektakuler? Ombak yang terkadang bergemuruh, terkadang tenang, serupa emosi yang arusnya mudah berubah-ubah.
Tapi jangan membayangkan bagaimana malam minggu milik para pemulung, aku tidak tega. Bisa makan saja bagi mereka sudah seperti surga. Jangan membayangkan bagaimana malam minggu milik seorang penderita kanker. Setahuku, mereka lebih sering menghitung dan bertanya "Ini hari ke berapa?" daripada bertanya, "Ini hari apa?". Namun aku harap, setiap dari mereka memiliki hari yang pasti untuk dilalui. Setiap harinya, dengan harapan mereka selalu sehat hingga hari yang tak pernah terduga jumlahnya.
Dan malam mingguku ini justru hal yang sangat biasa, karena banyak orang melakukan hal yang sama. Kita semua sama-sama duduk di kedai kopi. Saat aku berkata bahwa, "Waktu akan memberitahumu, bagaimana malam minggu kulalui dengan syahdu. Cukup dengan buku-buku, lagu-lagu, kopi, teh, atau ice cream, beberapa potongan belgian waffle dan remah-remah kenangan manis (pisang goreng topping coklat juga boleh). Kadang aku hanya duduk berlama-lama di antara bangku berpenghuni keriangan manusia milenial, yang melek media sosial dan gemar berphoto untuk memenuhi timeline instagram. Itu juga termasuk aku."
Sebenarnya itu adalah hal yang biasa saja. Yang tidak biasa adalah, sesuatu yang kita renungkan di malam minggu.[]
No comments:
Post a Comment