Oleh : Faridha Fajriyah
Awal sore, 25 Februari 2018.
Di ruanganku yang sepi, terdapat sebuah cendela di sisi barat dinding kamar. Pandanganku menerawang pada kaca cendela dan membuat sorot mataku tertuju pada langit sore yang hamper jingga. Hari ini adalah kabar baik, tidak seperti kemarin; seluruh Blitar hujan lebat.
Senyumku mengembang, menunggu semburat jingga di barat sana menyapa kuncup malam. Angin sore selalu mesra mengundang rindu-rindu yang masih berkeliaran disana. Hingga rindu-rindu berkumpul mendekati aku yang sudah membuka pintu (rindu-rindu).
Kamarku seperti rumahku satu-satunya. Tempat paling privasi dari orang-orang kecuali pada orang-orang yang kuizinkan memasukinya. Kamarku sangat sederhana. Hanya ada beberapa buku, almari, tempat tidur, cermin lawas berukuran sedang, dan hiasan kupu-kupu di dinding sebelah utara.
Disini aku betah berlama-lama. Bahkan aku betah diam saja di dalam kamar dan hanya keluar jika perlu makan dan mandi saja. Seperti bertapa, sehingga para tetangga tidak tahu apakah aku sedang di rumah atau sedang keluar bersama teman-teman.
Kebiasaan menyendiri sudah bersarang padaku sejak lama, sejak keramaian memberikanku ketidaknyamanan yang nyata. Ketidaknyamanan yang membuatku diam di antaranya. Ketidaknyamanan yang membuat seluruh gelora berubah menjadi muram pada suasana. Hingga kesendirian ini membuatku jauh dari mereka, lingkungan tempatku dibesarkan.
Aku sangat individual dan masyarakat jarang sekali mengajakku untuk kegiatan karang taruna. Selain karena aku tidak tahu alur dalam karang taruna, aku sendiri belum bisa menyatu dengan mereka karena memang jarang bertatap muka. Sehingga membuat canggung saat aku diundang dalam salah satu acara walaupun aku berkumpul dengan orang-orang yang rumahnya dekat.
Aku berpikir, ini semua terjadi karena aku memang tertutup dengan mereka, dan juga kami memang tidak sejiwa. Terlebih saat aku sering keluar rumah hingga larut malam dan membuat anggapan mereka menjadi tidak-tidak terhadapku. Aku tahu mereka berpikir demikian dan aku hanya memilih diam.
Diam, karena penilaian mereka terhadapku adalah urusan mereka, bukan urusanku. Hidupku adalah urusanku, bukan urusan mereka. Jadi, biarkanlah aku. Walau terkadang aku merasa cemburu. Masyarakat bisa dengan mudah saling berbaur sementara aku tidak berani mencoba.
Semacam sebuah dejavu, saat mencoba berbaur justru aku seperti tahu bahwa pada akhirnya akan sama saja; aku kesulitan bermasyarakat.
Apa yang harus diubah jika di luar sana memang banyak sekali menawarkan pelajaran? Aku hanya ingin menilai sesuatu di luar sana dengan sudut pandang yang berbeda, yang tentu saja tidak dilakukan oleh masyarakat di wilayahku.
Bahwasanya dengan keluar rumah, aku bertemu dengan orang-orang yang melek budaya lokal dan ingin mengabadikannya dalam sebuah karya. Dari pemuda hingga manula, besar sekali semangat mereka dalam berkarya. Karya yang bahkan mungkin tidak terlintas di benak masyarakat pada umumnya. Entah bagaimana pendapat mereka, aku tidak tahu karya-karya tersebut dinilai bagaimana oleh mereka.
Di titik inilah aku merasa bahwa dunia mulai berbeda. Dunia bukan lagi tentang pemuda dan anggota tua, melainkan soal passion dan tresno kita terhadap passion itu sendiri. Yang menyatukan antara tua dan muda.
Duniaku adalah berkumpul dengan teman-teman di luar rumah, sedangkan dunia 'masyarakat' tetap pada lingkungannya. Mereka bergotong royong setiap dua pekan sekali, mementaskan orkes dangdut setiap bulan Agustus dan hajatan pernikahan, dan berkumpul dari satu RT menuju RT sebelah.
Percayalah, kegiatan bermasyarakat terlihat luar biasa penting saat aku tidak dapat melakukannya. Apalagi kegiatan arisan sebulan sekali yang membuat ikatan silaturahmi semakin erat bukan karena Hari Raya Idul Fitri saja.
Aku pun jarang berinteraksi dengan para tetangga sekedar menanyakan kabar atau saling berbincang-bincang di teras rumah setiap sore menjelang. Bahkan sudah beberapa tahun tidak menyaksikan acara televisi dan membuatku buta berita.
Entah mengapa, mengunjungi perpustakaan lebih menarik disbanding mengakrabi mereka. Harus kuakui begini adanya, meski terdengar sangat jahat bagi mereka. Kehidupanku dalam bertetangga saat ini sangat berbeda dengan pelajaran PPKn pada saat aku Sekolah Dasar, dimana dalam buku pelajaran mengajarkan kita untuk bergotong royong dan aku tidak melakukannya.
Pada kenyataannya, masyarakat sangat luar biasa saat bersatu. Tapi aku seperti sesiung bawang yang menjadi penambah bumbu. Tidak terlihat saat tidak dibutuhkan, dianggap bukan apa-apa saat dibutuhkan.
Tumbuh menjadi seorang yang invidual sudah menjadi makanan sehari-hari. Bersapa dan tersenyum saat berpapasan seperti sebuah hal yang sepantasnya saja. Anehnya, skenario ini kulakoni setiap hari. Aku merasa mendiskriminasi diri sendiri saat tidak mampu mencoba berbaur dengan mereka.
Rasanya tidak perlu membuat mereka mengerti bahwa setiap individu itu berbeda. Yang harus dilakukan adalah aku berbaur dengan mereka sewajarnya. Apa yang perlu dirubah saat semuanya sudah jelas? Aku mencumbui passionku, dan masyarakat tetap masyarakat yang bergotong royong setiap hari. I did it like ordinarily people.
Disini, aku tumbuh berbeda dari pemuda di lingkunganku. Saat mereka berusaha mewujudkan yang terbaik demi kemajuan bersama, aku lebih memilih keluar rumah saja mencari angin segar dan menemukan banyak hal yang tak sama. Dari perbedaan ini, aku merasa menjadi penyelamat bagi kebebasanku sendiri.
Saat aku merasa bahwa aku berjalan sendiri dan melawan arus masyarakat pada umumnya, aku belajar tetap mensyukuri apa yang belum pernah aku dapatkan dari mereka dan mensyukuri apa yang aku punya. Karena aku mendapati diriku sendiri dalam kebebasan memperjuangkan mauku tanpa mengusik hidup mereka.
No comments:
Post a Comment