Salah satu pertanyaan yang sama beratnya dengan "kapan nikah?", adalah, kapan bukumu terbit? Apalagi ketika banyak orang tahu kita aktif di komunitas kepenulisan, yang barangkali salah satu puncak karyanya adalah menerbitkan buku sendiri.
Memiliki buku adalah sebuah kebanggaan, atau mungkin juga kepuasan tersendiri. Bagaimana ide, gagasan, pengalaman, atau perenungan kita bisa dicetak berlembar-lembar, dijilid rapi, dengan sampul khusus yang merefleksikan fikiran dan perasaan kita.
Bagaimana puasnya, ketika beberapa jilid buku itu sampai ke tangan penikmatnya, lalu dibuka, dibaca, dan sekumpulan kalimatnya masuk ke alam fikiran pembaca, memantik logika dan memenuhi rongga imaji.
Karenanya, sebuah buku adalah representasi penulisnya, yang akan terus hidup, bahkan melampaui usia fisiknya. Dibaca sampai lintas generasi, dikritik, didebat, sampai ditafsir ulang. Sementara penulisnya, sudah berada di alam yang berbeda, sembari tertawa menyaksikan semuanya.
Meskipun tak sedikit juga, buku yang lekas dilupakan. Masuk ke dalam gudang, yang nantinya akan dicuci ulang, namun tak juga laku. Pada akhirnya lapuk, lenyap serupa remahan daun yang renyai diterpa angin.
Karenanya, bukan sekedar kapan buku kita terbit, namun akankah buku itu berusia lebih lama dari penulisnya? Atau malah sebaliknya, ia akan menjadi sampah rumahan yang dijual murah per kilonya?
Tentu butuh otak yang tajam dan penuh isi agar bisa menghasilkan buku-buku yang 'abadi'. Butuh sesuatu yang tak sekedar pengalaman biasa, namun juga kepahitan hidup, empati yang kuat, keterbukaan total atas banyak hal.
Kalau ditanya lagi kapan bukumu akan terbit? Jawab saja, aku tengah belajar menyesapi hidup, mengendus realitas, menghirup segala macam aroma, menelisik ke dalam diri sendiri yang kadang-kadang sok suci, tapi kadang pula bejat tak terkendali.
Semoga kita sempat menuliskannya, meski dicicil sepotong demi sepotong melalui catatan seperti ini. []
Blitar, 2 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment