Sekilas, judul di atas seperti tak punya korelasi. Namun, dalam catatan kali ini, dua kata tersebut ada hubungannya. Khususnya bagi saya.
Ada apa dengan senja, Surakarta, dan Fiersa?
***
Solo (selanjutnya akan saya tulis Surakarta), hampir sama seperti Malang; auranya seperti rumah yang bisa kita pulangi kapan saja. Begitulah yang saya rasakan. Meski kota ini sangat jarang dikunjungi, namun setiap datang rasanya sama. Seperti pulang ke kampung halaman.
Berada di Surakarta sejak Jumat kemarin cukup membuat saya sedikit melupa penat yang memadati rutinitas. Berkesempatan mencoba sejumlah varian kacang mete khas Wonogiri, juga Markobar, salah satu jajanan yang jadi ikon kota ini.
***
Saat akan berangkat ke Surakarta, tiba-tiba saya mengingat tanggal itu dan sebuah agenda yang menyertainya. Ini acara serupa yang sempat terlewatkan, pikir saya. Lalu, apakah kali ini saya akan melewatkannya lagi?
Adalah Fiersa Besari, seorang penulis, musisi, sekaligus pecinta alam. Tahun ini, ia meluncurkan buku keempatnya yang bertajuk Arah Langkah. Arah Langkah mengabadikan perjalanan keliling Indonesia-nya lewat tulisan dan fotografi.
***
Bung, begitu ia biasa disapa, mengadakan talkshow buku Arah Langkah di 9 kota. Diantaranya Bandung, Depok, Jakarta, Surabaya, Malang, Aceh, Semarang, Solo, dan Yogyakarta.
Namun, seusai roadshow di Bandung, Bung mendapat kabar bahwa sang ayah tengah dirawat di rumah sakit. Dan tak lama kemudian, beliau wafat.
Kabar ini jelas memukul batin Bung. Ia langsung me-reschedule tanggal kunjungan ke Jakarta dan Depok. Bung bahkan sempat menciptakan lagu Tentang Ayah bersama adiknya, Fahd Ramadhan Besari.
***
Bung melanjutkan roadshow-nya ke Surabaya, Malang, dan Aceh sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Sayang, saat di Malang, saya belum berkesempatan hadir langsung di sana. Padahal saat itu lokasinya di Gramedia Matos.
Dan di tanggal 2 bulan ini, Bung menyambangi Gramedia Jalan Slamet Riyadi, Surakarta. Saya terus mengingat tanggal ini, meski tak yakin akan bisa menghadirinya.
Saat akan berangkat kemarin, saya sempat ingin membawa buku Garis Waktu dan Catatan Juang juga. Tapi karena keraguan itu, hanya Arah Langkah yang terbawa.
***
Akhir pekan tiba. Saya masih berada di kota ini, mengawali hari dengan penantian selama tujuh jam. Seusainya, mari kembali arungi jalanan yang memadat. Di kanan-kiri, penjual takjil mulai menggelar lapak dagangannya.
Perjalanan berhenti pada sebuah hotel di kawasan Jalan Slamet Riyadi. Saya beserta kedua orangtua dan adik lekas memasuki kamar yang telah dipesan.
Namun, hanya sekian menit saja saya berada di situ. Meski sudah pukul empat sore, saya harus menuju ke sana. Walau terlambat.
Ya. Saya bertekad menuju Gramedia Surakarta.
***
Ojek online yang saya pesan terhenti di depan pagar Gramedia. Pelataran parkir telah padat motor. Di teras depannya pun sejumlah orang duduk lesehan.
Saya lekas menghampiri pak satpam demi memperoleh informasi seputar acara bincang buku Arah Langkah. Beliau meminta saya langsung masuk saja.
Sesampainya di dalam, banyak orang duduk di lantai sambil berbincang. Di ruangan sebelahnya justru lebih riuh lagi.
Saya tak langsung masuk ke ruang sebelah. Memilih mengambil tempat di sebuah sudut yang terhampari karpet, bersebelahan dengan seorang gadis berkacamata dan pemuda berkaus hitam. Biasa, melepas lelah.
Sembari melempar senyum sekilas, saya menanyakan acara talkshow-nya. Rupanya, talkshow telah berakhir sejak pukul empat tadi. Kini hanya tinggal sesi book signing dan foto bersama. Wah, foto bersama? Tapi, apa saya masih sempat?
***
Sayang sekali. Registrasi sudah ditutup saat ini. Saya sudah tak ada kesempatan lagi. Setiap orang yang ingin mendapat tandatangan dan berfoto bersama Bung harus menunjukkan nomor antreannya dulu.
Separuh kecewa, saya menanggapi keterangan gadis itu dengan tawa hambar. Seraya berkisah sedikit bahwa saya dari Blitar, dan harus dua kali memesan ojek online demi bisa sampai ke sini. Mereka berdua sempat kaget mendengar cerita saya.
Tak hilang akal, terbesit tanya di benak saya. Apakah seusai acara Bung akan keluar lewat sini? Alangkah beruntungnya jika saya bisa menungguinya sejenak dan meminta foto bareng.
***
Tapi, belum sempat tanya itu terlontar, pemuda berkaus hitam tadi menyodorkan Arah Langkah miliknya tiba-tiba.
"Ini Mbak. Mbak masuk pakai buku saya aja. Kebetulan saya nomer 185 ini. Belum dipanggil."
Jelas saya terperanjat mendengarnya. Dengan bukunya yang sudah di tangan, saya menanyakan keseriusan ucapannya. Dia mengiyakan.
"Tapi nanti Mas jadi nggak bisa foto bareng sama Bung." ujaran saya ditanggapi sama olehnya dengan separuh tawa.
***
Jadilah, setelah mengucap terimakasih berulangkali, saya diantar gadis berkacamata tadi ke ruangan sebelah. Ia berhasil menembus kerumunan orang dan menghentikan langkah kami tepat di depan panggung.
Dan sampai di sana, saya kehilangan kata-kata. Itu benar-benar Bung Fiersa, duduk di tengah, dengan beberapa eksemplar Arah Langkah yang sibuk ia tandatangani. Sembari menjawab berbagai pertanyaan dari peserta yang masih menunggu giliran.
Melihat saya yang sudah agak sulit berdiri karena kepayahan, seorang wanita yang mungkin pembawa acaranya, meminta saya duduk di tepi panggung. Di samping Bung! Mimpi apa saya sekarang? Ini mimpi, bukan?
***
Hingga, tibalah nomor urut 185. Usai bersalaman sejenak, saya menyodorkan dua Arah Langkah untuk ditandatangan. Yang bernomor saya akui milik saya. Dan punya saya justru saya bilang milik seorang kawan yang menitip. Ah, maafkan, karena saya sedikit berbohong, Bung.
Dengan ringan, Bung menjawab, "Siap!" sambil membubuhkan tandatangan. Tak lupa, saya bilang bahwa ada salam dari Komunitas Penulis Blitar.
Bung Fiersa sedikit terbelalak mendengarnya. Dia bilang sudah lama ingin main ke Blitar karena kagum dengan sejarah kotanya.
Bung pun menyematkan pesan agar Komunitas Penulis Blitar terus berkarya. Dengan sedikit berkelakar, ia pun meminta buku karya komunitas kami. Hehehe.
Obrolan singkat itu ditutup dengan berfoto berdua. Saya meminta tolong salah seorang peserta untuk mengabadikannya.
***
Di pintu keluar, saya berjumpa dua orang baik hati tadi. Mereka bernama Lisa dan Kevin, itu yang belakangan saya tahu. Tak lupa, saya menyerahkan buku Kevin.
Usai berterimakasih untuk kesekian kali, saya pamit. Duduk di teras depan, menanti ojek online yang telah dipesan.
***
Akhirnya, terimakasih Semesta, atas skenario tak terduga yang terjadi jelang senja ini.
Terimakasih Mbak Lisa dan Mas Kevin, atas kebaikannya yang luarbiasa, meski kita baru saling kenal duapuluh menit saja. Hanya Allaah pemberi balasan terbaik. Semoga kalian selalu dilindungi oleh-Nya. Aamiin...
Juga, tentunya matur nuwun Surakarta, dan hatur nuhun Bung Fiersa Besari, untuk telah ikut andil dalam membahagiakan hati saya hari ini.
Tetaplah berkarya dan menginspirasi, Bung! Bisa bertemu Bung di Surakarta hari ini, itulah nyata yang masih belum bisa saya percayai hingga detik ini.
Alhamdulillaah.[]
2 Juni 2018
Adinda RD Kinasih
Catatan ini dapat juga dibaca di sini.
No comments:
Post a Comment