Oleh Ahmad Fahrizal Aziz
Sifat fanatik memicu hilangnya kesadaran. Hal inilah yang pernah dikaji oleh Ibnu Sina, ahli kedokteran atau fisiologi, tentang gangguan mental seseorang karena terlalu suka (maniak) pada sesuatu.
Teori ini kemudian disebut frenologi.
Rasa suka dan bangga adalah hal wajar, namun tidak wajar lagi jika sudah menjadi maniak. Karenanya istilah "mania" atau "maniak" sebenarnya istilah untuk menyebut seseorang yang mengalami gangguan jiwa, sayangnya justru dijadikan kebanggaan.
Tiga abad sebelum masehi, Plato sudah mengidentifikasi 3 kelas jiwa. Salah satunya, Thumoeides, yaitu jiwa yang hanya mengandalkan amarah.
Jika dikaitkan, sifat fanatik melahirkan banyak Thumoeides, lebih suka bermain kasar, mengedepankan amarah, bahkan rela berkorban nyawa.
Dalam kelompok tertentu, Thumoeides ini sering dijadikan "tukang gebuk". Suasana mental dan jiwanya dikondisikan untuk itu. Maka jangan heran jika ada orang rela jadi tumbal bom bunuh diri, demi kebanggaan pada sesuatu yang ia sangat fanatik terhadapnya.
Lalu, bagaimana dengan fanatik terhadap club sepakbola? Sampai ada tragedi baku hantam antar supporter yang menyebabkan nyawa melayang. Apa sebenarnya yang dicari dari itu semua?
Memang sangat membingungkan, apalagi dalam kelompok massa. Kesadaran diukur dari kelompok tersebut. Misalkan, ada maling ayam dihajar warga hingga tewas, tanpa berfikir bahwa perlakuan itu justru jauh lebih keji dari sekedar mencuri ayam.
Persinggungan massa memang sulit dihentikan. Termasuk ketika dua massa dari kelompok yang berseteru bertemu, ya katakanlah antar supporter club bola yang memiliki sejarah perseteruan yang panjang.
Meski generasi berubah, meski pelatih dan pemain itu telah berganti, mungkin kepemilikan club juga berganti, termasuk sebagian besar supporternya sudah beda generasi, namun sentimen keduanya tetap abadi.
Berbeda dengan fanatik terhadap agama misalnya, yang masih punya dasar teologis, Tafsir bahwa dengan sikap tersebut, ia akan mendapat surga misalkan.
Bisa juga fanatik pada organisasi, pada tokoh yang ia junjung, bahwa kepatuhan dan loyalitas tersebut akan memberikan keberkahan misalkan.
Lalu bagaimana dengan fanatik dengan club sepakbola, yang pemain dan pelatihnya terus berganti, yang tidak memiliki justifikasi teologi. Tidak ada yang berani bilang dengan mendukung klub tertentu akan jadi kaya atau masuk surga.
Apakah yang semacam itu perlu dimaklumi? Mengingat fanatisme itu ada dimana-mana, termasuk pada pasangan capres dan cawapres. Tidak hanya pada klub sepakbola. []
Blitar, 24 September 2018
www.fahryzal.com
Sifat fanatik memicu hilangnya kesadaran. Hal inilah yang pernah dikaji oleh Ibnu Sina, ahli kedokteran atau fisiologi, tentang gangguan mental seseorang karena terlalu suka (maniak) pada sesuatu.
Teori ini kemudian disebut frenologi.
Rasa suka dan bangga adalah hal wajar, namun tidak wajar lagi jika sudah menjadi maniak. Karenanya istilah "mania" atau "maniak" sebenarnya istilah untuk menyebut seseorang yang mengalami gangguan jiwa, sayangnya justru dijadikan kebanggaan.
Tiga abad sebelum masehi, Plato sudah mengidentifikasi 3 kelas jiwa. Salah satunya, Thumoeides, yaitu jiwa yang hanya mengandalkan amarah.
Jika dikaitkan, sifat fanatik melahirkan banyak Thumoeides, lebih suka bermain kasar, mengedepankan amarah, bahkan rela berkorban nyawa.
Dalam kelompok tertentu, Thumoeides ini sering dijadikan "tukang gebuk". Suasana mental dan jiwanya dikondisikan untuk itu. Maka jangan heran jika ada orang rela jadi tumbal bom bunuh diri, demi kebanggaan pada sesuatu yang ia sangat fanatik terhadapnya.
Lalu, bagaimana dengan fanatik terhadap club sepakbola? Sampai ada tragedi baku hantam antar supporter yang menyebabkan nyawa melayang. Apa sebenarnya yang dicari dari itu semua?
Memang sangat membingungkan, apalagi dalam kelompok massa. Kesadaran diukur dari kelompok tersebut. Misalkan, ada maling ayam dihajar warga hingga tewas, tanpa berfikir bahwa perlakuan itu justru jauh lebih keji dari sekedar mencuri ayam.
Persinggungan massa memang sulit dihentikan. Termasuk ketika dua massa dari kelompok yang berseteru bertemu, ya katakanlah antar supporter club bola yang memiliki sejarah perseteruan yang panjang.
Meski generasi berubah, meski pelatih dan pemain itu telah berganti, mungkin kepemilikan club juga berganti, termasuk sebagian besar supporternya sudah beda generasi, namun sentimen keduanya tetap abadi.
Berbeda dengan fanatik terhadap agama misalnya, yang masih punya dasar teologis, Tafsir bahwa dengan sikap tersebut, ia akan mendapat surga misalkan.
Bisa juga fanatik pada organisasi, pada tokoh yang ia junjung, bahwa kepatuhan dan loyalitas tersebut akan memberikan keberkahan misalkan.
Lalu bagaimana dengan fanatik dengan club sepakbola, yang pemain dan pelatihnya terus berganti, yang tidak memiliki justifikasi teologi. Tidak ada yang berani bilang dengan mendukung klub tertentu akan jadi kaya atau masuk surga.
Apakah yang semacam itu perlu dimaklumi? Mengingat fanatisme itu ada dimana-mana, termasuk pada pasangan capres dan cawapres. Tidak hanya pada klub sepakbola. []
Blitar, 24 September 2018
www.fahryzal.com
No comments:
Post a Comment