Kami sudah membagi tugas. Clara menghubungi band pengisi acara dan koordinasi dengan kelas X dan XI. Aku menghuhungi para ketua ekskul, komunikasi ke ketua panitia dan pihak sekolah.
Kami menjalankan tugas masing-masing, tanpa ada obrolan tambahan. Ke kantin pun kami tak lagi bersama, aku memilih untuk langsung pulang, karena banyak tugas yang belum aku kerjakan.
"Jangan berharap lebih. Jangan, tak usah, jangan sampai kejadian sama terulang. Fokus sekolah. Fokus. Tak perlu cinta-cintaan."
Tak hentinya aku membatin begitu. Sebab aku tahu betapa tersiksanya berada dalam suasana seperti ini.
"Tetapi apa salahnya? Kan hal yang wajar, manusia dibekali perasaan."
Selalu muncul persepsi lain yang membuatku bimbang. Jika keadaannya seperti ini, yang kuingat hanya tugas-tugas sekolah yang seabrek, dengan itu tak ada pilihan lain. Aku juga sudah cukup sibuk mengurus ekstrakurikuler dan tugas kepanitiaan.
###
Baru sampai di rumah, ternyata bapak ada tamu dari Malang. Mahasiswa ilmu sejarah yang ingin berkunjung ke Istana gebang.
"Zal, kamu temanin mas Arka ke gebang ya," Pinta bapak.
Padahal aku baru saja sampai rumah. Tetapi apa boleh buat, aku tak pernah menolak permintaan bapak.
"Nggak capek ta, apa istirahat dulu," Sahut Mas Arka.
"Dia udah biasa," Jawab bapak seenaknya.
Kami pun berboncengan motor honda supra x milik bapak menuju Istana gebang yang jaraknya cukup dekat dari rumah.
###
Di halaman istana gebang banyak anak bermain. Karena hari aktif, pengunjungnya pun tak sebanyak hari libur.
"Dapet tugas nulis makalah soal tempat ini dek, sekalian jalan-jalan," Jelas Arka.
Kami disambut pemandu, salah satu yang kutahu berjuluk Mbah Gudel, yang juga teman akrab bapak.
Selintas kulihat seorang perempuan duduk di bawah pohon Gada, pohon besar di halaman Istana Gebang. Sambil menemani Arka bertanya-tanya sesuatu pada juru kunci istana.
"Clara ..."
"Apa, siapa?" Tanya Arka.
"Aku kesana bentar ya kak, nanti kalau udah selesai aku tunggu di bawah pohon sana," Ujarku sambil menunjuk pohon besar.
"Oke sip."
Aku pun menghampiri Clara. Dia duduk sendiri sambil membaca novel, entah novel apa yang ia baca.
"Ra...," Sapaku.
Clara kaget mendengar suaraku, lalu menoleh ke arahku.
"Loh lu kok disini?" Tanyanya.
"Justru aku yang tanya, ngapain kamu disini?"
Clara kemudian menyodorkan novel berjudul "Loyalty in death".
"Baca novel?"
"Ya."
"Suka baca novel juga?"
"Lumayan."
Krik...krik...krik...
"Pohonnya rindang ya."
Clara tak menjawab. Dia fokus pada novelnya.
"Mereka main bolanya juga bagus."
Clara hanya menoleh ke kerumunan anak kecil bermain bola, namun tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Aku kesini nemenin mas Arka, anak sejarah UM," Jelasku tanpa diminta, "Dan eh ketemu kamu, sering kesini ya?" Lanjutku.
"Nggak, ini pas pengen santai dan sendiri," Jawabnya.
"Jadi aku ganggu?"
Aku pun duduk di kursi dekat pagar. Mengeluarkan ponsel nokia ketupatku, mengambil headseat dan mendengarkan musik.
Lagu-lagu Numero berdendang di telinga, namun sore itu pandanganku tak bisa lepas dari Clara yang duduk syahdu di bawah pohon. Tiba-tiba gerimis pun turun.
Kami berlarian mencari tempat berteduh, tak ada yang lebih dekat selain teras rumah Istana gebang. Rumah masa kecil Bung Karno tersebut.
"Bawa jas hujan?" Tanyaku.
"Bawa," Jawab Clara singkat.
Ia memasukkan novelnya ke dalam tas dan mengeluarkan rain cover hitam untuk membungkus tasnya.
"Gue balik dulu ya," Pamitnya.
Clara pun berlari menembus gerimis. Dia tak terlihat mengeluarkan jas hujan.
Bersambung
~~~~
Cerbung by Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment