| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz
Tahun berikutnya, selepas rampung dari Ma'had, saya menjalani kehidupan baru sebagai anak kontrakan. Beda dengan anak kos-kosan, yang hanya menyewa kamar. Anak kontrakan menyewa satu rumah, biaya ngontraknya dipikul bersama beberapa orang.
Lebih bebas. Tak ada jam malam. Pulang kapanpun tak jadi masalah. Hanya, biaya listrik dan air ditanggung sendiri, dibayar sendiri. Baru di kontrakan itupula saya mengerti arti menghemat air. Ya, sebab airnya beli dari PDAM. Tiap bulan ada tagihan, yang besarnya hampir sebanding dengan biaya listrik.
Selama di rumah tak pernah terpikir untuk berhemat air. Ya, sebab air di rumah berlimpah, tak perlu bayar, paling-paling hanya bayar listrik untuk menyalakan pompa air. Beda dengan PDAM, kita memang membeli air yang kita pakai.
Di kontrakan, beberapa teman membawa rice cooker. Memasak nasi sendiri, beli lauk pauk atau sayur. Saya kurang telaten seperti itu, selain karena jarang di kontrakan. Berangkat pagi pulang malam. Walhasil makannya ya di warung.
Pada bulan ramadan, ternyata jam buka warung menyesuaikan waktu sahur. Sekitar jam 2 pagi warung-warung sudah ramai. Beberapa warung memang buka khusus malam hingga pagi hari. Teman saya mengistilahkan warung nocturnal.
Ada pula warung yang buka 24 jam, dengan menu andalannya bubur ayam dan bubur kacang ijo. Ada pula warung khusus mie instan, namun penyajiannya ditambah telur dan sayur sawi.
Macam-macam sekali bukan? Jadi tak perlu khawatir kesulitan mencari warung untuk sahur, sebab ada banyak pilihan.
Warung favorit saya ya warung Madura. Ada banyak warung madura di sekitaran kampus. Mahasiswa biasa menyebutnya warung mak duro.
Pada bulan ramadan warung-warung memang tutup pada pagi dan siang hari, buka lagi jelang sore. Jam tidur pemilik warung pun juga berganti. Malam harinya untuk masak.
Meski banyak warung, namun jumlah mahasiswa yang indekos juga banyak. Sehingga warung-warung itu selalu "masak besar".
Selama tiga tahun saya tiga kali pindah kontrakan, di lingkungan yang berbeda. Terakhir ngontrak di area kos-kosan mahasiswa Brawijaya. Mengamati perbedaan harga dari warung ke warung. Jika dihitung, masak sendiri memang jauh lebih hemat. Hematnya bisa 3 kali lipat.
Namun bulan ramadan memang memberi berkah tersendiri, seringkali saya tidak perlu membeli makan untuk berbuka puasa. Apalagi, ketika ada kegiatan di Masjid dan Musholla, hampir selalu ada dermawan yang mencukupi kebutuhan makan berbuka puasa para jamaah.
Lebih hemat. Momentum untuk semakin mendekatkan diri pada yang maha kuasa, sekaligus menghemat anggaran hidup sebagai anak kontrakan, yang harus iuran untuk bayar listrik, PDAM, dan ongkos mengerjakan tugas-tugas kuliah. []
No comments:
Post a Comment