| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz
Tahun 2009, pertama kali saya merasakan tinggal di Pesantren, meskipun Pesantren Mahasiswa. Namanya Ma'had aL Aly atau Ma'had aL Jamiah. Program wajib satu tahun bagi mahasiswa baru UIN Malang.
Karena namanya pesantren mahasiswa, aturannya pun tak begitu ketat. Hanya barangkali yang agak membebani kala itu, batas maksimal berada di luar Ma'had hanya sampai jam 10 malam. Lebih dari jam itu akan terkena iqob (semacam hukuman).
Menariknya, pada awal ramadan itupula, sekaligus pembukaan OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik) atau familiar disebut Ospek. Bayangkan betapa tidak mudahnya menjalani Ospek pas bulan puasa seperti itu.
Sekitar jam 2 pagi, sampai jelang imsak, kantin Ma'had sudah ramai diserbu mahasantri. Untungnya jumlah kantinnya ada lima, dan prasmanan. Meski begitu tetap harus antri, karena jumlah mahasantrinya ribuan.
Cuaca pagi yang dingin, membuat nafsu makan jadi kurang baik. Tetapi bagaimana lagi, harus dipaksa makan karena diperlukan cukup energi untuk aktivitas selepas subuh, hingga jelang magrib.
Meskipun berada di Ma'had, segala kebutuhan makan harus terpenuhi sendiri. Kantin itupun bukan milik Ma'had, namun Ma'had hanya menyewakan ruang.
Kadang pula, saya dan teman-teman satu kamar (berjumlah 6 orang) membeli bungkusan pada malam harinya, untuk dimakan waktu sahur. Rasanya jelas sudah beda. Nasinya sudah dingin, rasa lauknya juga berkurang.
Suasana kamar. Sumber foto : Instagram @uinmalikiphoto |
Itu karena kami malas harus berjalan kaki ke kantin dalam cuaca dingin dan kantuk yang masih menggelayuti. Meski kadang saya terpaksa ke kantin hanya untuk membeli kopi, teh, atau susu jahe.
Beda sekali dengan di rumah. Makanan sudah tersedia di meja makan, mau menyeduh kopi atau teh tinggal ke dapur, bisa sambil nonton "tafsir aL Misbah" di Metro tv (acara jelang sahur favorit saya).
Di Ma'had tidak demikian. Satu kamar dilarang bawa rice cooker dan Hotter (pemanas air). Alasannya, jika diperbolehkan, maka semua kamar akan melakukan itu, sementara daya listrik Ma'had tidak menyanggupi. Bahkan untuk charger hp pun kami harus numpang kamar pendamping atau biasa disebut Musyrif.
Walhasil, dalam kamar hanya ada lampu. Ada bekas colokan yang sudah dibredel. Saya amati semua kamar juga begitu. Jadi harus benar-benar berhemat. Karena itulah saya bawa radio baterai sebagai hiburan di kamar.
Tetapi itu tahun 2009. Android belum menjamur seperti sekarang, aplikasi WA juga belum ada. Jadi kebutuhan akan hp tak semendesak seperti sekarang.
Seminggu terakhir jelang idul fitri, kegiatan Ma'had diliburkan. Rasanya senang sekali. Bisa kembali ke rumah, menikmati sisa ramadan di rumah. Bisa menonton tv, menghadiri buka puasa bersama teman sekolah, ikut kegiatan ramadan komunitas, dll.
Sepenggal pengalaman yang sangat berkesan, dan membuat saya pribadi mensyukuri betapa nikmatnya bisa menjalani ibadah puasa di tempat yang berbeda. []
No comments:
Post a Comment