Oleh: Adinda RD Kinasih
Suara Chris Martin dalam Speed of Sound-nya seketika membuat
mataku melebar. Mimpi indah yang baru setengah pun harus terputus. Huh, siapa
yang telepon jam segini sih? Seingatku, semua teman kampus sudah tahu kalau aku
sedang di Blitar, dan pantang dihubungi pagi-pagi begini.
Kubiarkan saja vokalis Coldplay itu bernyanyi, hingga terhenti di reff awal. Sesaat aku lega, karena bisa meneruskan mimpi indahku tadi. Namun, baru saja aku akan kembali memejamkan mata, lagu itu terdengar lagi. Hmm…baiklah. Sepertinya orang ini tak gampang menyerah. Kutekan tombol hijau dan kutempelkan ponsel di telinga.
“Halo, siapa nih?” tanyaku tak sabar. Suaraku parau, sarat kantuk.
“Selamat pagi, Regaaan…baru bangun yaa?”
Aku terhenyak seketika. Suara ini? Kujauhkan ponsel dari telinga sejenak, dan melihat nama penelepon di layar. Aku terbelalak. Kantukku lenyap sudah.
“Ayla?” ucapku setengah tak yakin. Suara di seberang mengiyakan dengan tawa pelan.
“Maaf yaa, jadi gangguin tidur kamu. Tapi aku mau bilang sesuatu. Besok aku mau ke tempat kamu, ya!”
Aku merasa berkali-kali lipat lebih kaget. “Apa, La? Ke tempatku? Ke Blitar, maksudnya?”
“Yup! Siang ini aku berangkat, dan besok kita ketemuan ya! See you tomorrow, Regan!”
Aku masih tak sanggup berucap sampai Ayla memutuskan sambungan telepon. Apa yang terjadi barusan benar-benar sebuah kejutan! Ayla, sampai bertemu besok. Rindu ini sudah makin menggunung saja rasanya.
Langit sore ini begitu bersih, tanpa secuil awan pun yang
menutupinya. Sungguh sebuah pemandangan yang menenangkan. Kontras denganku yang
sejak tadi mondar-mandir dengan gelisah di depan stasiun Kota Blitar. Kuedarkan
pandangan ke sekelilingku. Beberapa orang nampak keluar-masuk stasiun dengan
beragam bawaan mereka. Tapi mataku belum juga menemukannya. Di mana dia?
Seharusnya keretanya sudah sampai sejak seperempat jam lalu.Kubiarkan saja vokalis Coldplay itu bernyanyi, hingga terhenti di reff awal. Sesaat aku lega, karena bisa meneruskan mimpi indahku tadi. Namun, baru saja aku akan kembali memejamkan mata, lagu itu terdengar lagi. Hmm…baiklah. Sepertinya orang ini tak gampang menyerah. Kutekan tombol hijau dan kutempelkan ponsel di telinga.
“Halo, siapa nih?” tanyaku tak sabar. Suaraku parau, sarat kantuk.
“Selamat pagi, Regaaan…baru bangun yaa?”
Aku terhenyak seketika. Suara ini? Kujauhkan ponsel dari telinga sejenak, dan melihat nama penelepon di layar. Aku terbelalak. Kantukku lenyap sudah.
“Ayla?” ucapku setengah tak yakin. Suara di seberang mengiyakan dengan tawa pelan.
“Maaf yaa, jadi gangguin tidur kamu. Tapi aku mau bilang sesuatu. Besok aku mau ke tempat kamu, ya!”
Aku merasa berkali-kali lipat lebih kaget. “Apa, La? Ke tempatku? Ke Blitar, maksudnya?”
“Yup! Siang ini aku berangkat, dan besok kita ketemuan ya! See you tomorrow, Regan!”
Aku masih tak sanggup berucap sampai Ayla memutuskan sambungan telepon. Apa yang terjadi barusan benar-benar sebuah kejutan! Ayla, sampai bertemu besok. Rindu ini sudah makin menggunung saja rasanya.
♯
Kutengok ponsel yang sempat berdering beberapa kali. Tak ada pesan atau telepon yang masuk darinya. Kuhela napas panjang. Gelisahku mulai berubah jadi khawatir sekarang.
“Regan?”
Aku tersentak saat sebuah tepukan mendarat di bahuku. Segera kubalikkan badan, dan pada saat itu pula aku terpana. Gadis inilah yang sejak kemarin membuat jantungku berdegup tak karuan. Gadis inilah yang sejak tadi membuatku gelisah tak menentu. Kini ia ada di hadapanku, dengan sepasang mata berbinar, juga selengkung senyum manis di bibirnya.
“Ayla…” ucapku lega, seiring senyumku yang turut melebar. Cemasku hilang sudah. Rinduku lesap sudah.
♯
Baru kali ini aku merasa betah berada di Blitar.
Biasanya, saat liburan semester seperti ini aku hanya menyisihkan dua hari
untuk pulang ke rumah. Selebihnya kuhabiskan dengan berdiam di kamar kostku di
Malang, atau travelling bersama
teman-teman. Semua karena hadirnya Ayla. Rasanya aku tak keberatan jika harus
menandaskan waktu liburan sebulanku di sini, asalkan ada Ayla di sampingku.Aku benar-benar menikmati kebersamaanku dengannya selama dua hari terakhir ini. Kemarin, aku menantangnya mencoba nasi pecel khas Blitar. Masih terekam jelas di ingatanku, saat wajah manisnya itu memerah karena kepedasan. Kemudian kami juga mengunjungi Perpustakaan Bung Karno. Seperti yang sudah bisa kuterka, Ayla yang seorang pecinta buku itu langsung melahap sebagian koleksi buku di lantai dua. Aku pun harus rela menungguinya membaca hingga hampir dua jam. Tak lupa, kami melihat-lihat koleksi di Museum, juga berfoto di depan patung Bung Karno yang tengah duduk sambil membaca itu.
♯
“Mau ke mana hari ini,
Nona?” tanyaku separuh bercanda saat menjemput Ayla di tempatnya menginap,
sebuah hotel di kawasan Jalan Melati. Gadis berkacamata itu menanggapinya
dengan tawa kecil.
“Terserah kamu, Gan. Aku juga bingung mau ke mana.”
Kini giliran tawaku yang menyambut jawabannya. “Ya udah, buruan naik. Aku ajak kamu ke suatu tempat.”
Ayla mengerutkan dahi, penasaran. Tapi ia naik juga ke boncengan motorku. Jalanan Blitar cukup padat sore ini. Ya, ini memang jam pulang kantor dan pulang sekolah bagi sebagian orang. Beberapa kali aku menggerutu, tak sabar.
“Ya udahlah, Gan, nggak apa-apa. Namanya juga macet, kan. Di Jakarta malah jauh lebih macet dari ini.” kudengar Ayla berkomentar di sela berisiknya deru mesin.
“Hehe, habisnya jadi nggak sampai-sampai nih. Padahal sebenernya dekat, lho.”
“Emangnya kita mau ke mana?” rupanya rasa penasaran gadis ini masih ada. Aku tak menjawab, malah lebih memilih mempercepat laju motorku. Ayla terpekik kaget sembari mendaratkan pukulan pelan di punggungku. Aku tertawa.
“Terserah kamu, Gan. Aku juga bingung mau ke mana.”
Kini giliran tawaku yang menyambut jawabannya. “Ya udah, buruan naik. Aku ajak kamu ke suatu tempat.”
Ayla mengerutkan dahi, penasaran. Tapi ia naik juga ke boncengan motorku. Jalanan Blitar cukup padat sore ini. Ya, ini memang jam pulang kantor dan pulang sekolah bagi sebagian orang. Beberapa kali aku menggerutu, tak sabar.
“Ya udahlah, Gan, nggak apa-apa. Namanya juga macet, kan. Di Jakarta malah jauh lebih macet dari ini.” kudengar Ayla berkomentar di sela berisiknya deru mesin.
“Hehe, habisnya jadi nggak sampai-sampai nih. Padahal sebenernya dekat, lho.”
“Emangnya kita mau ke mana?” rupanya rasa penasaran gadis ini masih ada. Aku tak menjawab, malah lebih memilih mempercepat laju motorku. Ayla terpekik kaget sembari mendaratkan pukulan pelan di punggungku. Aku tertawa.
♯
Bersambung...
Baca bagian 1 di sini.
No comments:
Post a Comment