Oleh: Adinda RD Kinasih
Ayla makin keheranan saat
kubelokkan motor ke pelataran sebuah gedung berlantai dua.
“Ayo turun,” ucapku
setelah memarkirkan motor. Ayla menurut, meski ada kebingungan yang tersirat
dari raut wajahnya. “Inilah tempat berkumpulnya semua kenangan kita.” sambungku
pelan. Ayla menggelengkan kepalanya beberapa kali. Aku tahu dia masih belum
mengerti maksudku.
“Lihat.”
telunjukku mengarah pada sebuah papan nama yang tak jauh dari tempat kami
berdiri. Kini Ayla terbelalak. Ya, aku mengajaknya ke sini, tempat pertama kali
kami bertemu. Gedung SD kami dulu. Kupandangi Ayla yang masih terpaku di
tempatnya. Ada kaca-kaca air yang mulai pecah di sepasang mata itu.
“Regan…aku
nggak nyangka kamu…bakal ngajak ke sini…” ucapnya terbata. Lagi-lagi, aku hanya
bisa tersenyum.
“Ayo
masuk, Ayla.” ajakku sambil menggenggam tangannya. Kami berjalan bersisian
dalam diam.
Beberapa
saat kemudian, langkah kami terhenti di lapangan. Aku duduk di salah satu
sudutnya, sementara Ayla mengambil tempat di sampingku. Sore itu sekolah sudah
sepi, karena siswa pulang lebih awal. Akhir-akhir ini, hampir semua sekolah di
Blitar sedang musim ujian.
Menit
demi menit berlalu, tapi tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir
kami. Entah mengapa lidahku kelu. Semua kata yang telah kususun sejak berangkat
dari rumah tadi mendadak lenyap.
“Regan…aku
kangen banget sama kamu…” sontak kutolehkan kepalaku ketika mendengar kalimat
itu. Sesaat aku tersenyum, namun kemudian wajahku berubah serius lagi.
“Aku
masih nggak percaya, kamu bisa ada di sini sekarang, Ayla.” ujarku. Ayla
terkekeh pelan.
“Aku
juga nggak nyangka bisa main ke Blitar, terus sekarang ada di sini. Sama kamu…”
tatapan matanya berubah sendu. Aku tertegun. Kebekuan kembali hadir di
tengah-tengah kami.
“Eh,
kamu ingat nggak, dulu aku suka main bola di lapangan ini.” kataku tiba-tiba,
mencoba mencairkan suasana. Ayla lagi-lagi tertawa, matanya menyapu sekeliling.
“Iya.
Dulu kamu mainnya selalu mau menang sendiri. Terus suka jahilin teman yang lain
juga. Tapi justru nggak pernah berani usilin aku!” kelakarnya sambil
menjulurkan lidah. Aku nyengir menahan malu. Tak kusangka Ayla masih mengingat
semuanya.
♯
“Ayla…aku
mau cerita sesuatu…”
Ayla
mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertuju pada layar ponsel. “Ya? Apa?”
Kupejamkan
mata sebentar. Kuhela napas panjang. Kemudian mulai bicara.
”Enambelas tahun
lalu, pernah ada seorang bocah lelaki kecil yang sangat menyukai seorang gadis
sebayanya. Gadis itu berwajah manis, dengan senyum yang tak pernah bosan
singgah di bibirnya. Rambutnya selalu berkepang satu. Tutur katanya lembut dan
sabar, tapi dia akan berubah tegas dan berani, setiap kali sifat usil lelaki
kecil itu mulai kambuh. Dan anehnya, lelaki itu selalu menuruti perkataannya.
Lelaki itu pun tak pernah marah, meski gadis berkepang satu itu punya nama
panggilan yang berbeda dengan lainnya. Lelaki kecil itu mulai sadar bahwa ia
sangat menyayangi gadis berkepang satu itu,”
Aku
terdiam, sejenak memandang Ayla yang terpana.
“Tapi, pada suatu siang, ada
sebuah kejutan yang diberikan gadis itu. Dia berkata di depan kelas, bahwa hari
itu adalah hari terakhirnya bersekolah di situ. Lelaki itu tersentak, dan hanya
sanggup terdiam. Bahkan dia tak sanggup beranjak dari bangkunya untuk
mengucapkan perpisahan pada gadis itu. Lelaki itu tak pernah merasa sesedih itu
sebelumnya. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, airmata lelaki nakal itu
mengalir tanpa henti. Untuk pertama kalinya ia merasa…hmm, patah hati…”
Ayla
memandangiku tak percaya. Sepasang matanya sudah bertelaga sejak awal aku
bicara.
Kugenggam
erat kedua tangannya.
“Aku sayang kamu, Ayla. Bahkan sejak hari pertama kita
bertemu di SD saat itu. Tadinya kupikir, rasa itu akan hilang seiring dengan
kepindahan kamu. Bahkan beberapa tahun setelah itu, aku coba melarikan hati ke
hal lain, bahkan pada orang lain. Tapi, aku nggak bisa bohong, bahwa ada satu ruang
di sini yang pintunya nggak bisa dibuka. Karena ada satu penghuni di dalamnya.
Kamu, Ayla.” kuakhiri kata-kataku dengan selengkung senyum. Kini hatiku melega.
Tapi
Ayla tak tersenyum. Justru isaknya yang makin jelas tertangkap telingaku. “Aku
juga sayang kamu, Regan…."
Seharusnya, jawaban Ayla bisa melebarkan senyumku. Tapi, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang berhasil memakuku di tempat. Membisu. Ada sesak
yang melingkupi hatiku lagi.
♯
Bersambung...
Baca part sebelumnya di sini.
No comments:
Post a Comment