Oleh: Adinda RD Kinasih
Ayla
Pelataran
terminal Kota Blitar lengang. Aku duduk di ruang tunggu penumpang. Ini hampir
pukul tiga pagi, dan hawa makin terasa menggigilkan tubuh. Kurapatkan jaketku,
seraya melongok arloji sebentar. Duapuluh menit lagi bis akan berangkat. Tapi
aku masih duduk di sini.
“Lho,
kamu belum naik, Ayla? Sebentar lagi bisnya berangkat!” Regan menghampiriku
separuh panik. “Oh ya, ini ada teh anget, diminum dulu.” ia menyodorkan sebuah
gelas plastik.
Kutatap
wajah Regan dengan mata basah lagi. “Makasih udah nemenin aku tiga hari ini,
ya. Maaf kalau aku banyak ngerepotin. Maaf juga tentang…”
Regan
menggeleng. Genggaman tangannya membuatku terdiam. “Nggak perlu minta maaf,
Ayla. Aku justru seneng banget bisa ketemu kamu lagi. Oh ya, ini ada sesuatu
buat kamu.” dia menyodorkan sebuah kotak sedang. Aku menerimanya.
“Makasih
banyak ya… Aku juga punya hadiah buat kamu,” aku pun mengangsurkan sebuah tas
kertas padanya. Regan menyambutnya dengan senyum. Matanya berbinar saat membuka
tas itu.
“Waah,
keren banget kaosnya. Miracle…” dia
membaca tulisan yang tertera di kaos krem itu. Tanpa kusangka, ia langsung
memakai kaos itu. Kontan saja aku tertawa.
“Ayla,
this T-shirt just like us. Miracle.
Bertemu kamu, dan menghabiskan tiga hari ini bersama kamu, itu hal paling ajaib
buat aku. Makasih banyak ya. Kamu
hati-hati,” ucapnya pelan. Aku mengangguk berat.
“Aku
yang seharusnya minta maaf. Karena nggak mencari tahu tentang kamu dari dulu.
Karena nggak segera mengungkapkan perasaanku. Tapi satu hal yang kutahu, Ayla.
Kamu akan lebih bahagia nantinya.” Regan
tersenyum, meski ada hujan yang mulai menggenangi pelupuk matanya. Dini hari
ini, aku kembali melihat Regan menangis.
“Kamu…juga
harus…bahagia, Regan…” ucapku tersendat. Airmata makin tumpah di wajahku. Kulangkahkan
kaki memasuki bis yang telah siap melaju sejak tadi.
♯
Di
dalam bis patas yang lengang, kubuka hadiah dari Regan. Sebuah kotak musik
berbentuk hati. Instrumental Time To Say
Goodbye yang kukenali sebagai karya Richard Clayderman mengalun pelan saat
aku membuka penutup kotak musik. Lalu, kutemukan sebuah lipatan kertas pada
salah satu bagian kotak musik itu.
Dear Ayla
Zahrantiara…
Terimakasih
banyak. Hanya dua kata itu yang bisa mewakili segala perasaanku. Terimakasih
untuk telah hadir di sini, mengobati rinduku, juga menjawab tanya hati yang
selama ini membuat kita penasaran, hahaha…
Mungkin di saat
inilah aku benar-benar mengalami apa yang biasanya tertulis dalam novel dan
tergambar dalam film. Bahwa cinta tak harus memiliki…
Tapi tak apa,
Ayla. Aku tetap mensyukuri perasaan ini.
Mungkin kini,
kamu memang akan menikah dengan Mas Yasa, aku pun juga sudah mulai serius
dengan Marsha. Tapi, segala tentang kamu takkan pernah hilang dari benakku.
Oh ya, adikku
juga titip salam buat kamu. Dia sangat menyukai nama yang sengaja kuberikan
untuknya, Nayla Zahrantiara. Hampir sama seperti namamu, ya. Karena hanya
dengan nama belakangmu yang tersemat padanya, aku bisa mengenangmu.
Oh ya,
sampaikan salamku untuk tunanganmu, Mas Abiyasa. Semoga dia mau memaafkanku
yang sudah lancang mencintai calon istrinya selama ini.
Dan
terimakasih, karena pernah melukisi hidupku dengan bermacam warna. Dan untuk
tetap memanggilku “Regan”.
Finally, it’s
time to say goodbye for us. Please forgive me for everything. You’ll be in my
heart, Ayla, Always…
Rendra Ganesha
Aku
berusaha menyusut airmata yang masih enggan berhenti. Regan, terimakasih juga
untuk kisah sebentar ini. Untuk rangkaian kenangan ini. Terimakasih untuk
semuanya. Kini aku menuju Surabaya. Menuju ke sana, berarti bersiap kembali
pada kisah baruku. Kisah yang akan kurangkai bersama Mas Yasa.
♯
Januari 2014
Dari cerita seorang teman
Baca part sebelumnya di sini.
No comments:
Post a Comment