Regan
Wajah langit telah berganti merah kehitaman, saat aku sampai di kafe ini. Kafe di selatan stadion Supriyadi ini adalah salah satu tempat yang cukup sering kukunjungi setiap aku pulang ke Blitar.
Setelah pelayan kafe berlalu dengan membawa daftar makanan yang kupesan, segera kusambungkan jaringan Wi-fi pada laptopku. Beberapa saat kemudian, akun Facebook-ku segera terbuka. Ada beberapa pemberitahuan baru yang masuk. Dan salah satunya berhasil melebarkan senyumku. Ya, gadis itu baru saja mengganti foto profilnya. Tanpa berpikir panjang, aku pun mengunduh foto barunya itu dan menyimpannya dalam folder khusus di laptopku.
“Ayla, aku kangen kamu…” gumamku lirih sambil terus melihat-lihat linimasanya. Senyum itu masih belum mau pergi dari wajahku, membuat pelayan kafe yang mengantar pesanan keheranan melihat tingkahku.
♯
Saat kecil dulu, aku memang dikenal sebagai anak yang cukup bandel dan jahil. Bisa dikatakan, mengusili teman adalah hobiku saat itu. Mulai dari meminta jatah bekal, memanggil mereka dengan nama julukan ciptaanku, juga suka meledek. Namun, Ayla berbeda. Justru dialah yang paling berani menegurku saat aku menjahili teman-teman yang lain. Itulah yang akhirnya membuatku sungkan padanya, dan jadi tak ingin menjahilinya. Aku juga tak bisa marah saat ia memendekkan namaku menjadi Regan. Padahal, aku akan selalu protes jika ada teman yang mengubah-ubah namaku. Bagiku, mereka harus memanggilku dengan nama yang benar. Rendra Ganesha.
♯
Namun, ternyata kebersamaanku dengan Ayla terjadi lebih
singkat dari yang kubayangkan. Menjelang kenaikan kelas tiga, dia harus pindah
ke Jakarta. Momen itu masih sangat melekat di benakku. Saat itu, Bu Dewi, wali
kelasku, memintanya maju ke depan kelas. Di hadapan teman-teman, dia berkata
bahwa mulai besok tidak akan bersekolah di tempat itu lagi. Ketika dia selesai
bicara, para anak perempuan berhamburan ke arahnya dan memeluknya. Disusul
semua murid lelaki yang menyalaminya bergantian. Namun aku sama sekali tak bisa
beranjak dari bangkuku. Aku bahkan tak sanggup melihat apa yang terjadi di
hadapanku. Tinggal kepalaku yang tertunduk, dengan bahu yang terguncang pelan.
Aku masih saja seperti itu, sampai kudengar suara langkah kaki yang mendekati
bangkuku.
“Regan, aku pamit ya. Mulai besok aku nggak sekolah di sini lagi. Kamu nggak boleh nakal lagi, ya!” ucapnya saat itu. Hening sesaat, sampai kemudian kuberanikan diri mengangkat wajahku yang basah. Ya, hari itu aku menangis. Satu hal yang sebenarnya sangat memalukan bagiku.
“Maafin aku ya, Ayla…semoga… kamu inget aku terus. Aku janji nggak akan nakal lagi…” ucapku tersendat, yang dianggukinya dengan senyuman.
“Regan, aku pamit ya. Mulai besok aku nggak sekolah di sini lagi. Kamu nggak boleh nakal lagi, ya!” ucapnya saat itu. Hening sesaat, sampai kemudian kuberanikan diri mengangkat wajahku yang basah. Ya, hari itu aku menangis. Satu hal yang sebenarnya sangat memalukan bagiku.
“Maafin aku ya, Ayla…semoga… kamu inget aku terus. Aku janji nggak akan nakal lagi…” ucapku tersendat, yang dianggukinya dengan senyuman.
♯
Aku tersenyum mengingat momen itu. Enambelas tahun
berlalu, dan kenangan singkat bersama Ayla masih terekam jelas di pikiranku.
Ya, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dan tak kusangka, bahwa di masa ini
aku akan bertemu lagi dengannya. Terimakasihku untuk Mark Zuckerberg, karena
jejaring sosial ciptaannya telah jadi perantaraku berjumpa lagi dengan Ayla.
Lewat linimasa itulah kami bertukar nomor ponsel.
Kuhabiskan cappuccino yang masih tersisa, setelah me-log out Facebook. Rinduku pada Ayla terasa makin dalam saja.
Kuhabiskan cappuccino yang masih tersisa, setelah me-log out Facebook. Rinduku pada Ayla terasa makin dalam saja.
♯
Bersambung...
Sumber Gambar: Instagram @pinterestuk
No comments:
Post a Comment