Bahasa publik seakan terlihat hanya sebatas ulasan panjang yang lari kemana-mana tanpa disertai makna yang jelas. Retorika yang dekat dengan makna muluk tersebut, terkadang mampu menipu penyimak/pembaca dengan kemasan bahasa yang terlihat kritis, yang seakan-akan mampu menekankan pada masalah mendasar dan secara komprehensif mampu merepresentasikan akar pembahasan, padahal kenyataanya tidak. Tentu semua kembali pada sudut pandang masing-masing. Hanya saja, harus lebih ditekankan, interpretasi seharusnya tetap pada batasan dan norma secara khusus.
(Hemat saya) kritis dapat dianalisis dari dua pandangan, yaitu surface dan in-depth. Kritis yang hanya sebatas surface menunjukkan bahwa bahasa publik yang disampaikan cenderung menggunakan bahasa ilmiah dan susah dimengerti, namun terkadang mampu mengantarkan pembaca untuk berasumsi bahwa penulis telah menuangkan ide kritis. Artinya kekritisan bahasa hanya terletak pada struktur bahasa yang ditulis, sementara makna yang dikandungnya sebenarnya meleset dari tujuan yang hendak dicapai. Sehingga hanya menghasilkan zero interpretation atau miss interpretation terhadap esensi dari akar pembahasan. Sementara in-depth berarti makna yang ingin dipahamkan ke pembaca/penyimak menjadi fokus utama yang ingin dicapai. Penggunakan kata-kata yang sederhana terlebih dengan kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari namun dikemas dengan lugas, sehingga menimbulkan makna yang kuat dan tertransformasikan pada pemahaman pembaca/penyimak dengan baik.
Memang tidak mustahil, ketika bahasa publik disampaikan dengan gaya keduanya, yakni surface dan in-depth yang terintegrasi, menggunakan pemilihan kata yang ilmiah dan menekankan pada makna yang akan disampaikan. Namun, wacana ini hanya akan mampu dipahami oleh orang-orang tertetu saja, khususnya orang yang secara akademis memiliki wawasan lebih terhadap sebuah wacana. Gaya wacana yang terintegrasi tersebut perlu dikembangkan dan digenerasikan untuk membudayakan bahasa publik yang lebih prestigious, baik dari segi makna maupun tulisan, terlebih bila memerhatikan etika dalam mengemasnya. Sehingga daya nilai sebuah wacana akan semakin kuat.
Kritis cenderung diartikan sebagai upaya untuk mempertajam penganalisisan terhadap sebuah isu atau topik yang diangkat. Kritis mencoba menjabarkan secara cermat poin-poin sekecil mungkin yang timbul dari sebuah isu/problem/topik bahasan. Sejatinya berpikir secara kritis akan mampu memberikan dampak positif terhadap kemajuan peradaban dunia. Namun, semakin orang bebas untuk berpikir kritis, akan semakin terkikis pula norma etik dalam sebuah wacana. Nyatanya, banyak orang yang mencoba mengeksplorasi daya kritis mereka namun mereka terlupa untuk tetap menjaga etika dalam eksekusinya, sehingga dengan mudah keluar dari koridor norma. Tanpa disadari, mereka berbahasa tanpa moralitas dan keluar dari falsafah bahasa yang sesungguhnya. Akibatnya esensi manusia untuk saling menghargai juga semakin rapuh. Hal ini cukup mengkhawatirkan, karena akan berdampak lebih luas ke dimensi kehidupan manusia yang lainnya.
Lebih menghawatirkan lagi, hal ini harus terjadi di tengan era digital. Alat bantu digital terhadap sebuah wacana sangat berdampat kuat. Penggunaan media yang semakin tidak terbatas sangat membuka peluang terhadap publik untuk menuangkan ide apapun itu. Bahkan mereka dapat melakukannya dalam hitungan detik (dengan media online). Ujaran menghina, propokatif, hoaks, dsb menghiasi media yang tidak sedikit berujung pada pertikaian panjang. Etika dalam hal ini sangat krisis untuk mampu diaplikasikan. Alih-alih sembunyi dari identitas palsu di akun media sosialnya, semakin membuat penggunanya bebas berujar semena-mena. Bukan masalah sepele, hal ini kaya akan fitnah yang menghantarkan pada pertikaian sekala besar, seperti saling melaporkan, saling menjatuhkan, mempermainkan kekuasaan, bahkan tidak menutup kemungkinan saling membunuh. Mungkin terlihat sedikit berlebihan, nampun nyatanya kasus-kasus tersebut dapat ditemukan dengan mudah di era sekarang. Miris.
Emansipasi etika harus secara aplikatif dan sungguh-sungguh dilaksanakan dalam penggunaan wacana, terlebih bahasa publik yang jelas akan lebih menyedot perhatian khalayak umum. Terkadang masyarakat harus menyadari saksama bahwa hal ini berawal dari transformasi era yang semakin menyempitkan ruang untuk berkomunikasi secara langsung dan lebih memilih untuk berinteraksi melalui dunia maya. Dunia maya akan selalu memberikan gambaran maya yang rawan akan segala macam bentuk kesalahpahaman bahkan kejahatan. Era digital memang tidak dapat dihindari dan semua pasti terlibat dalam proses digitalisasi. Hal ini benar-benar nyata. Begitu seriusnya isu-isu yang terdapat dalam era digital, hendaknya disertai pembekalan wawasan terkait literasi digital. Melalui literasi digital dilakukan pembekalan nilai-nilai moral atau norma yag terkandung dalam digital, yang mana mampu mewakili pembelajaran terhadap konsep kritis dan etis sebuah wacana.
Digital memang salah satu wadah menyampaikan wacana yang paling berdampak. Namun, kaidah terkait pengunaan wacana dalam bentuk apapun harus tetap diperhatikan. Wacana harus tetap menjunjung kritis dan tidak melalaikan etis, melihat keuniversalan nilai moral dan kearifan sudah menjadi kodrat manusia. Oleh karena itu, daya kritis dan etis bagi penulis atau pembicara wacana mesti menjejak pada nilai kearifan, karena merefleksikan prinsip dasar moral umat manusia.[]
No comments:
Post a Comment