Oleh: Alfa Anisa
Terlepas dari segala hal yang berada di
depan--panggung, penampilan teman-teman ataupun prosesi wisuda--pawon menjadi
salah satu tempat sentral terlaksananya sebuah acara. Bersama Mak
En--manggilnya ngikutin mbak pondok yang lain--Mbah Hud dan pasukan
sangit. Saya belajar banyak dari hal-hal sederhana tentang pawon. Ada banyak
perasaan bercampur jadi satu: marah, sedih, galau bahkan tangis pun terjadi.
Padahal posisi saat itu tak melihat penampilan teman-teman rebana, tak ikut
berfoto, ataupun prosesi wisuda yang katanya banyak orang menangis. Tapi, di
pawon tangis haru juga ikut pecah saat
masing-masing dari kami menatap Mbah Hud.
Siang hari, rasa lelah telah bertumpuk.
Kami istirahat sejenak di paving tapi tetap di lokasi pawon, tiba-tiba
terdengar isakan pelan. Kutoleh kanan kiri, ternyata tak jauh dari tempatku
duduk, Fina dan beberapa teman lain yang bertugas di pawon sesenggukan pelan,
tangan berulangkali mengusap kedua mata. Saat kutatap lebih cermat, apa sebab
tangisan itu, sorot mata mereka mengarah ke arah Mbah Hud.
Ialah yang mencuci piring seluruh peralatan
yang digunakan saat acara. Tubuhnya sudah terlihat agak ringkih, rambutnya
sebagian telah memutih, bahkan kedua tangannya pucat karena terlalu lama
terendam air akibat mencuci piring. Tapi semangat dan niat menjalankan tanggung
jawab, tak membuatnya untuk mengeluh.
"Itu salah satunya cara untuk
membersihkan hati, yaitu dengan mencuci piring." Kata seorang teman.
'Degg' aku terdiam cukup lama mendengar hal
itu. Betapa dan betapa. Saya sempat berbincang sebentar, sungguh keteladanan
yang patut ditiru.
Bahkan saat adzan Dzuhur berkumandang,
tiba-tiba beliau bergegas membereskan segala peralatannya lalu beranjak pergi.
Saat itu saya tahu, bahwa beliau tinggal di mushola yang didirikannya bersama
warga lain dan akan meninggalkan segala sesuatu jika adzan telah berkumandang.
Subhanalloh. Dari penuturan Mak En pun menambah kekaguman tentang Mbah Hud.
Kesabarannya, hanya sendirian di Blitar karena semua keluarga berada di luar
Pulau Jawa.
Semoga sehat selalu, Mbah Hud. Semoga kesabaran senantiasa berada
di sisimu, dan menularkan kepada kami. Terimakasih telah memberikan sedikit
panutan hidup. Santri tak menentukan baik dan tidaknya kelak di mata masyarakat,
tapi melihat dan peka terhadap sekitar adalah bekal utama menjadi orang baik di
masyarakat.[]
24 April 2019
No comments:
Post a Comment