Sabtu, 21 September 2019
"Mas jarang ke Malang ya?" Tanya Hazel lewat Whatsapp.
Tentu, sejak kembali ke Blitar pada pertengahan 2015, jarang sekali saya ke Malang. Belum tentu sebulan sekali. Kadang ke Malang pas ada acara, atau hanya sekadar rindu pada kota bunga itu.
Sejak kenal Hazel pada awal 2013, kami sering mengatur jadwal ngopi bersama. Biasanya setelah pulang kerja, sore hari. Ada banyak tempat nongkrong di Malang. Kami lebih sering memilih kafe dekat stasiun yang nyaris semua propertinya terbuat dari kayu jati.
Kami makin akrab sebab Hazel sempat menjadi narasumber untuk sebuah tugas liputan yang sedang saya kerjakan.
Dia juga beberapa kali mampir ke kos saya di Jalan Panjaitan saat masa-masa akhir studi. Kebetulan jarak kos tak terlalu jauh dari kampusnya.
"Kamu gak risih kan berteman denganku?" Tanyanya.
Pertanyaan yang sempat membuat saya tertawa. Namun mungkin pertanyaan itu wajar, sebab Hazel memang berbeda, dia agak ekspresif. Namun nyaris tak ada dialog yang remeh temeh saat kami berbincang. Itulah yang membuat saya, mungkin, tidak begitu antipati mengenalnya.
Sepertinya, Hazel juga anak orang kaya. Beberapa kali dia menunjukkan novel yang baru dia beli dari Gramedia, dan ia jadikan itu sebagai topik perbincangan.
Lalu ia menunjukkan sebuah foto dari ponselnya, wajahnya memerah dan senyumnya merekah. Ini tak biasanya.
"Cantik gak?" Tanyanya.
Jadi, Hazel menunjukkan foto teman perempuannya, teman satu kelas di perkuliahan.
"Banyak cowok yang suka," Lanjutnya dengan wajah murung.
Saya tak banyak berkomentar, dan semenjak itu jarang sekali kami ngopi bersama. Jujur saya memang menghindari topik semacam itu. Mungkin biasa bagi orang kebanyakan, namun tidak untuk Hazel yang ekspresif.
Apalagi, dia pernah mendapatkan catatan dari psikiater bahwa ada gejala bipolar. Lebih jauh, saya juga kurang memahami sejauh mana sosok seperti Hazel menjalani kehidupannya.
Namun saat dia memperlihatkan foto teman perempuan di kelasnya, saya jadi bertanya-tanya ulang, sebenarnya karakter macam apa yang ada pada diri anak itu? Meskipun pada akhirnya saya menyadari bahwa perasaan adalah hal paling privat bagi seseorang.
Jujur saja, sejak tahu bahwa ia berpotensi mengidap bipolar, saya memang kurang merespon setiap ajakan ngopi. Untungnya pula, tak lama setelah itu saya lebih banyak di Blitar.
Usia kami terpaut tiga tahun, alias beda 6 sementer. Saat saya kembali ke Blitar dia juga sedang tenggelam dengan kesibukan tugas akhirnya. Sehingga, tak terlalu banyak interaksi.
Hubungan kami berlanjut via telepon. Panjang lebar ia bercerita dan saya lebih sering sebagai pendengar setia.
"Sebenarnya aku ingin seperti dia," Jelasnya.
Saya nyaris berjingkat mendengarnya. Jadi selama ini begitu ceritanya? Bahwa perempuan yang sempat ia ceritakan itu adalah role model sempurna untuk dirinya.
"Sebab seseorang yang aku suka, ngefans banget sama dia."
Alamak. Hampir dua tahun saya mengenal Hazel, tak pernah sekalipun pikiran tertuju ke arah sana. Saya pikir, sebagaimana umumnya, bahwa perempuan itu memang menarik untuk diperbincangkan para pria.
Saya juga lupa jika Hazel itu berbeda, ya sekali lagi, dia sedikit ekspresif.
"Jangan aneh-aneh ya, bahaya," pesan saya, yang mungkin terdengar membosankan.
Sampai akhirnya dia kembali ke Cimahi, kampung halamannya. Dia sempat dirawat di rumah sakit, entah karena penyakit apa. Dia mengirimkan sebuah link video di YouTube, yang ia sebut film favoritnya.
Hazel sepertinya kesepian. Bukan tanpa teman, sepertinya temannya banyak. Namun banyak sedikitnya teman tak bisa memendung rasa kesepian seseorang, kan?
Hazel meminta saya mencari novel berjudul Pasung Jiwa karya Oky Madasari. Katanya, biar saya paham.
Novel itu saya dapatkan, di sebuah kafe buku, yang kemudian bisa saya pinjam.
Lalu, Hazel tak pernah lagi menghubungi. Sampai dia dikabarkan telah pergi, untuk selamanya. Ya. Betapa kagetnya saya melihat beranda facebooknya dipenuhi ungkapan belasungkawa.
Selamat jalan, Hazel.
Ahmad Fahrizal Aziz
Just-fahri.blogspot.com
No comments:
Post a Comment