Oleh : Titiek ST
PART 1
AKU INGIN MENJADI PENARI
"Selain pintar memasak, dandan, dan beranak, perempuan juga harus bisa menjadi ratu keluarga, Nduk. Seperti menghangatkan suasana, memahami selera lidah penghuni rumah, atau pun membakar peraduan suaminya. Sederhananya, perempuan mempunyai banyak peran dalam keluarga."
"Banyak peran dalam keluarga?"
"Iya. Terkadang kamu akan menjadi juru masak. Terkadang kamu akan menjadi sekretaris. Terkadang kamu akan menjadi guru. Dan terkadang kamu akan menjadi--"
"Pelacur." Aku memotong kata-kata beliau sambil tersenyum nakal.
Mendengar itu, ibu mengalihkan pandangannya dari cobek dan menatapku dengan tajam. Sesaat setelahnya, beliau membalas senyumanku.
" Kenapa tidak, Ndhuk? Kalau hanya menjadi pelacur lakimu? Memangnya kamu mau kalau suamimu mencari pelampiasan di luar sana? Atau kamu mau membiarkan suamimu kelak mencari-cari pepesan di luaran karena engkau tak pernah menyajikannya? Ingat, seorang istri harus mampu menjaga kasur dan dapur suaminya."
Ibuku memang paling hebat mengolah kata dan menyelipkan nasehat-nasehat dalam setiap langkah-langkah kehidupan kami.
"Wis to Ndhuk, Bapakmu itu pasti punya rencana kenapa harus menghentikan cita-citamu menjadi penari....apa...hmmm professional, lha mbok yo eling, es campur itu ditambah apapun bisa tetep namanya es campur. Ditambah tape singkong atau tape ketan pun kan yo tetep es campur rasane tambah enak, to? Kamu bisa menjadi guru, seperti apa yang Bapakmu mau. Bisa jadi menjadi tempat sawah ladangmu beribadah to. Apa Bapakmu melarangmu belajar menari? Nak yo ora to?"
Aku terdiam mencerna apa yang ibuku bilang. Ibu selalu benar, ibu selalu menenangkanku. Bagaimana bisa ibu begitu sabar dan bijak dalam meniti hidup dan kehidupan ini.
" Iya...pa ndak?" Ibu menepuk bahuku. Aku tersentak.
"Njih Bu." Ibu tidak bersekolah sampai tingkat tinggi, ibu hanya lepasan Sekolah Rakyat, namun kebijakannya melebihi doktor manapun juga. Aku peluk ibu dari belakang, aku seka air mataku di punggung ibuku, lega rasanya, damai terasa.
" Na...yo ngono. Wis senyum, hadapi dunia dengan senyum keikhlasanmu. Berjuang sisanya pasrahkan kehendak Gusti Allah."
***
Sungguh sepadan nama yang aku sandang dengan semua kelebihanku. Rahajeng Puspitarini, nama jawa tulen. Rahajeng yang bermakna bahagia, dan Puspitarini yang berarti sekutum bunga. walaupun aku tidak bertanya pada Ibu maupun Bapak tentang makna namaku, namun akumampu mereka-reka doa dibalik namaku. Mereka menghendaki menjadi seorang putri yang selalu bahagia dan selamat.
Aku memang tinggal di sebuah desa pinggiran desa Jimbe namanya. Desa yang syarat akan budaya tradisional Jawa, bukan hanya sebagai sinden namun juga menari. Gusti Allah menganugerahi aku kedua-duanya, suara yang merdu dan gerakan yang luwes. aku tahu semua dari Lik Hir, pelatihku.
"Sudahlah Jeng, jika engkau mau tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyulapmu sebagai waranggono sing peng-pengan."
"Tapi Lik, saya masih kecil, masih kelas dua SMP, dan Bapak tidak memperkenankan aku menjadi waranggono," aku duduk di sebelah Lik Hir. Kuambil batang lidi di sampingku, aku mulai menari-narikan lidi diatas tanah membentuk garis-garis yang melingkar-lingkar. Lik Hir memperhatikan semua tingkah yang aku lakukan.
"Na, itu pikiranmu kacau seperti benang kusut, Na...apa latihan nyinden dan nari harus meninggalkan sekolah? Na apa yo Bapakmu selalu memperhatikan semua kegiatanmu? Lha wong Kang Mul mesti ke sawah to setiap pulang mengajar?" katanya.
"Tapi Lik, nanti kalau ketauan bapak bagaimana?" tanyaku polos sambil memandang Lik Hir lekat-lekat. Waktuku banyak kuhabiskan dengan Lik Hir bukan hanya saat ini tapi semenjak aku kecil.
"Sudahlah dicoba dulu, kalau darah seni telah mengalir di tubuhmu, kau tidak akan bisa menyangkal," Lik Hir mengacak-ngacak rambutku sambil melangkah masuk ke dalam pendopo.
Aku bimbang, masuk mengikuti Lik Hir yang berarti berlatih dengan teman-teman yang lain, atau pulang dan menghentikan khayalanku untuk menjadi penari. Sungguh tidak adil Lik Hir meninggalkan aku untuk menentukan langkahku. Kutarik napas panjang-panjang, aku tak mampu membayangkan bagaimana aku akan sangat tersiksa jika harus mengekang diri untuk tidak menari dan menyanyi.
Aku berdiri, sampur yang tadi aku ikatkan di pinggang kulepas. aku kalungkan di leher. Lik Hir paling suka jika aku menggenakan sampur seperti itu. dia selalu bilang bahwa aku calon waranggono mumpuni.
Kutatap rumahku yang tak jauh dari tempat aku berdiri, suara gamelan telah mendayu-dayu memanggil namaku. suara cempreng Surti diantara gender mengundangku untuk bergabung. aku sebera berlari kecil memasuki pendapa. Lik Hir tersenyum puas, tanpa suara tanpa kata, dia segera mengalihkan pandangan dariku.
Sore ini perjalananku untuk menjadi penari atau tepatnya menjadi calon waranggono di mulai. aku tak peduli dengan apa yang akan kuhadapi. bukankah ibu selalu di depanku setiap Bapak akan menghukumku?[]
Bersambung...
Daftar Istilah:
1. waranggono sing peng-pengan : sinden yang luar biasa kepandaiannya
2. sampur : selendang kecil panjang untuk menari.
3. mumpuni : piawai
Mohon kritik dan saran dari pembaca.
1 comment:
Ayoo ramaikan ya, yang sudah baca silahkan berjejak. Jika rindu lanjutannya segera beritahu. Biar Oma semedi bertemu dengan Rahajeng mau turun ke istana Kita.
Salam santun,
Salam berkarya,
Oma Titiek St
Post a Comment