Oleh : Titiek ST.
PART 2: TONIL
"Jeng focus." Lik Hir menyentuh pundakku ketika beliau mau menuju sayap panggung sebelah kiri. Seperangkat gamelan beserta penabuhnya sudah siap, hanya lapak gendang yang berbentuk U yang kosong. Itu istana Lik Hir pelatih, penyandang dana sekaligus pimpinan sanggar budaya ini.
Hatiku bergetar keras, aku tidak merisaukan kepiawaianku menari, namun aku agak meragukan ketrampilanku nyinden. Berbagai pikiran keraguan terlintas di benakku. Aku, Rahajeng Puspitarini, gadis yang masih berbau kencur, memberanikan diri duduk di antara empat waranggono kondang Blitar. Bagaimana nanti jika tamu agung memintaku nyekar ini itu yang belum aku kuasai ? "Ah...entahlah," aku hanya berserah. Tonilku yang pertama.
Seorang Kakek Buyut tampak membawa genting yang di atasnya ada bara api dari arang berjalan perlahan mengelilingi panggung. Asap yang mengepul berbau kemenyan semakin membumbung dengan kibasan kipas bambu di tangan. Dua cantrik mengikuti langkahnya menenteng nampan berisi kendi, cok bakal, dan setangkap pisang raja yang dilengkapi dengan kelapa yang sudah tak berserabut.
Di setiap sudut panggung lelaki tua itu berhenti sejenak, merapal japa mantra, meletakkan cok bakal menyirami dengan air dari kendi, mengibas-kibaskan asap kemenyan yang mengepul di atasnya kemudian berlalu ke pojok berikutnya. Hatiku semakin bergemuruh.
Ritual kakek buyut diiringi dengan gending landrang Mugi Rahayu, tanpa suara waranggono, namun di hatiku tembang itu mengalun tiada henti.
Rujak nangka rujake para sarjana
Aja ngaya dimen lestari widada
Rujak uni bumbune mrica sak iji
Ngati-ati yen nganti nyindrani janji
Rujak nangka rujaknya para sarjana
Jangan memaksa agar abadi selamanya
Rujak uni bumbunya merica sebiji
Hati-hati jika mengingkari janji
Kiblat Papat Lima Pancer, atau Sedulur Papat Lima Pancer. Aku masih ingat Lik Hir pernah membahas tentang ini dengan suluk yang sungguh mengetarkan jiwa.
Ana kidung akadang premati//Among tuwuh ing kuwasanira//Nganakaken saciptane//Kakang kawah puniku//Kang rumeksa ing awak mami//Anekakaken sedya//Pan kuwasanipun adhi ari-ari ika//Kang mayungi ing laku kuwasaneki//Anekaken pangarah//Ponang getih ing rahina wengi//Angrowangi Allah kang kuwasa//Andadekaken karsane//Puser kuwasanipun//Nguyu uyu sambawa mami//Nuruti ing panedha//Kuwasanireku//Jangkep kadang ingsun papat//Kalimane pancer wus dadi sawiji//Nunggal sawujudingwang.
Dalam lisanul jawi (lisan orang Jawa), secara leksikal, dapat diartikan ke dalam beberapa poin. Pertama, ada nyanyian tentang saudara kita yang merawat dengan hati-hati. Memelihara berdasarkan kekuasaannya. Apa yang dicipta terwujud. Ketuban itu menjaga badan saya. Menyampaikan kehendak dengan kuasanya. Adik ari-ari tersebut memayungi perilaku berdasar arahannya.
Darah siang malam membantu Allah Yang Kuasa. Mewujudkan kehendak-Nya. Pusar kekuasaannya memberi perhatian dengan kesungguhan untuk saya. Memenuhi permintaan saya. Maka, lengkaplah empat saudara itu. Kelimanya sebagai pusat sudah jadi satu. Manunggal dalam perwujudan saya saat ini.
"Nah, apakah ini syirik, Ndhuk?"
Aku hanya diam tak mampu memberi keterangan.
"Kiblat Papat Limo Pancer, Sedulur Papat Limo Pancer Kakang Kawah Adi Ari-ari, bisa diterjemahkan dalam beberapa bagian. Pertama, kakang kawah atau air ketuban. Kedua, adi ari-ari atau ari-ari. Ketiga, getih atau darah. Keempat, puser atau pusar. Kelima, pancer, yang berarti kita sendiri sebagai pusat kehidupan ketika dilahirkan. Dan menjelma dalam elemen dasar dalam kehidupan manusia. Seperti cipta, rasa, karsa, dan karya. Tanpa keempat hal ini, bisa jadi manusia hidup namun mati. Artinya, sangat konyol ketika manusia hidup namun tidak memiliki cipta, rasa, karsa dan karya, paham, Ndhuk?"
Lik Hir mengakhiri penjelasannya dengan pertanyaan pemahaman. Aku meresapi dan mencoba memengerti sebatas aku mampu.
Kakek Buyut telah menyelesaikan ritualnya di empat arah angin. Beliau beserta cantrik merunduk masuk kolong panggung. Tepat di tengahnya, Beliau meletakkan sesajen dan cok bakal terakhir, dan tentu saja japa mantranya. Selesai sudah tugas yang dia emban.
Di antara ratusan penonton malam ini, Bapak ada di sana, dengan cundrik kecil di pinggang tertutup baju beskapnya. Bapak tidak pernah mengijinkan aku menjadi bagian tonil manapun, namun darah yang mengalir di setiap nadiku menuntunku ke sini.
"Sudahlah Ndhuk, cukup Ibu saja yang pernah menjadi waranggono. Kau belajarlah dengan baik biar besuk bisa menjadi dokter," pernah suatu hari ibu menasehatiku sepulang berlatih dari pendopo Lik Hir.
Lik Hir seakan Bapak keduaku, telaten mengajariku beksan, mengenal berbagai macam tembang jawa , bercengkrama dengan gender dan kendang. Lik Hir selalu bercakap pendek-pendek dengan Bapak. Lik Hir selalu mencuri pandang lama-lama pada Ibuku. Aku tak pernah memusingkan dan mempertanyakan itu semua. Aku menyayangi Lik Hir selayaknya Bapak, dan aku merasa nyaman berada di dekatnya.
Sabetan kendang Lik Hir menyeretku dari lamunan yang ngladrah tak tentu arah. Gamelan sidem sesaat. Semua waranggono berdiri, inilah saatnya aku menunjukkan kepandaianku menari.
"Blitar-Banyuwangi, dados," suara Lik Hir membahana di antara suara gending yang menghangat. Kami berlima berdiri, satu sebagai sindennya dan kami berempat penari menata jarak berhadap-hadapan.
Satu, dua putaran hatiku lega, tidak ada yang turun menari namun, separoh sebelum lagu itu berakhir tiga sampur berkibar, tergantung di tiga sosok laki-laki yang belum aku kenal, tampaknya mereka dari desa tetangga. Maka menarilah kami bertujuh, meliuk berkelit sesuai irama. Aku belum mempunyai pasangan.
"Bukankah waranggono berkewajiban meladeni sesiapa yang ingin menari, inilah rejeki," bisik hatiku. Aku bergerak semakin lincah, pinggang meliuk, kaki melangkah. Terkadang aku harus menghentakkan pinggulku kanan-kiri memutar dan senyumpun harus selalu mengembang. Aku menikmati tonil perdanaku.
Malam semakin larut, gending silih berganti mengiringi kami menari, begitu pula lelaki yang turun menemani kami. Toples kaca bening di depan sebagai saksi. Toples hampir penuh dengan lembaran-lembaran pecahan lima puluh dan seratus ribu. Lik Hir tampak puas, aku bisa merasakannya dari suara yang semakin lantang setiap menentukan pilihan gending yang akan ditampilkan.
Semakin larut, semakin panas suasana. Satu hal yang tak aku suka, bau minuman keras memenuhi ruangan. Kalau sejak sore aku masih dianggap waranggono bau kencur, sehingga tak ada seorangpun yang mendekati dan mengajakku menari. Tapi, menjelang tengah malam seorang anak muda turun dengan sampurnya. Memasukkan uang ratusan ke dalam toples dan mendekatiku untuk menari.
"Minggir, jangan sentuh anakku," suara serak Bapak mengejutkanku. Bapak telah mengenakan selendang di leher dan mengeser lelaki yang hampir di depanku. Lelaki muda itu tidak terima dengan apa yang Bapak lakukan.
"Aku membayar, aku berhak menari dengan sesiapapun!" ucapnya lantang sambil tangannya mendorong Bapak, Bapak jatuh terjengkang. Aku gugup, tak tau apa yang harus kuperbuat. Menolong Bapakpun jelas ku tak mampu.
Bapak berdiri, sambil menari dia mendekati anak muda tadi. Entah apa yang Bapak bisikkan, pemuda itu lari tunggang-langgang meninggalkan kalangan. Bapak meneruskan menari mengitariku, aku melihat mata Bapak berkaca-kaca.
"Ampuni aku Pak," kataku lirih.[]
Bersambung...
Blitar, 06102019
Note :
Kendi : Tempat air dari tanah
Cok bakal : Takut dari daun pisang berisi Bunga tiga warna, telor ayam jawa dankinangan.
Ndhuk. : Panggilan anak perempuan Bahasa Jawa
Cundrik : Keris kecil
Sidem : Diam
Nyekar : Menyanyi
2 comments:
Baca..baca... Dan tinggalkan krisan
kerennnn 🤗
Post a Comment