Nasib Tukang
Sapu
oleh: Syaif Ahmad
Seperti hari
sebelumnya, suara kemresek sapu lidi yang bergesekan dengan tanah berhasil
membangunkanku. Tidak hanya itu, langkah terseok dan kaki terseret membuatku
sebal karena harus membuka mata di pagi yang buta.
Lastri perempuan
tua yang gagap bicara itu harus memikul beban berat menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang
sapu di kampung, karena suaminya sudah tidak mampu bekerja. Si Marni anak
satu-satunya yang diharapkan dapat mengurangi beban orangtua, malah
pulang ke kampung dengan membawa tiga anak setelah diceraikan suaminya. Mbok
Lastri tidak bisa berbuat apa-apa. Pendidikannya yang rendah dan gangguan
mental yang pernah dialaminya membuatnya takut berhadapan dengan orang-orang.
“Nduk
Simbok hari ini belum masak, bangunkan anak-anak suruh minum air rebus
pengganti sarapan sebelum berangkat sekolah. Dan jangan lupa ambilkan secangkir
air putih untuk bapakmu juga. Doakan Simbok dapat uang pagi ini sehingga bisa
beli beras.”
Marni yang masih
memeluk si bungsu, mengangguk lemah.
Mbok Lastri
segera bergegas. Ia mengambil sapu tuanya yang sudah memendek. Batang lidi pun
tak genap l
“Sudah pulang
Mbok.” Tanya Marni.
Mbok Lastri
mengangguk lesu. Mulutnya mengomel lirih melihat Si Marni mematut di depan
pecahan kaca yang di dipasang di dinding bambu.
“Dapat uang
berapa? Marni butuh uang buat bayar buku Seto dan beli susu buat si kecil”
“Kamu ini tidak
mau kerja, tiap hari minta uang terus.” Jawab Simbok ketus.
“Simbokkan tahu
sendiri Marni ini tidak laku kerja Mbok, tak ada orang yang menerima Marni.
Mereka takut melihat Marni yang idiot.” Kata marni sambil tertawa.
“Simbok ndak
dapat uang hari ini. Orang-orang kaya itu semakin pelit saja.” Jawab Simbok
sedih.
“Ya sudah Simbok
berhenti jadi tukang sapu saja.” Jawab Marni
“Lalu Simbok
kerja apa?”
“Ya nganggur.
Seperti Marni, ha...ha...”
“Dasar bocah
gemblung.”
“Memang Marni
gemblung, ha...ha...”
Lastri tak bisa
menahan diri, ia keluar ke belakang rumah dengan langkah terseret sambil
menangis. Ia meratapi nasibnya yang melarat.
***
“Simbok!” Sapa
Seto dan Adim.
“Sudah pulang
Nak.” Buru-buru Lastri mengusap air matanya.
“Mbok... minta
uang dong, buat bayar buku. Kalau tidak besok kena marah Bu Guru.” Kata Seto
sambil memegangi perutnya yang lapar.
“Adim juga Mbok.
Pensil Adim dipatahin Aldo. Adim minta uang buat beli pensil. Oh ya mbok
makannya sudah siap kan. Tadi pagi Adim belum sarapan.”
“Sana minta
Ibumu” Kata Mbok Lastri sambil berlalu pergi.
Sore ini Lastri
menuju rumah Juragan beras. Ia hendak hutang beras. Persediaan beras di rumah
sudah habis. Namun ia tak mendapat pinjaman karena hutangnya juga belum
dibayar. Lalu ia mendatangi rumah lainnya Kiai Usman, namun lagi-lagi nihil.
Kiai Usman yang sudah naik haji lima kali itu, beralasan tidak punya uang. Mbok
Lastri akhirnya pulang dengan isak tangis. Pak Saleh suaminya tertegun melihatnya.
“Sudah jangan
menangis. Bapak masih punya satu pacul. Kamu jual ke pak Dirman. Beliau
menerima barang bekas. Uangnya bisa kamu belikan beras.”
Lastri semakin
deras tangisnya. Ia memeluk suaminya. Ia mengerti jika itu adalah barang
terakhir yang belum dijual. Ia tak tahu lagi jika nanti tak ada barang yang
bisa dijual. Sementara Seto dan Adim masih merengek minta makan.
Lastri segera
bergegas ke rumah Pak Dirman. Rumah yang diharapkan bisa membantu ternyata
tutup. Lastri segera berlari ke rumah sebelahnya. Beruntung ada seorang anak
berbaju putih, sepertinya ia baru pulang dari masjid.
“Nak Pak Dirman
kemana ya?” tanya Lastri terbata.
“Oh Pak Dirman
sedang menjenguk anaknya yang lahiran Bu.”
Lastri
mengangguk lemah. Ia tak tahu lagi menjual paculnya kemana. Ia terus berjalan
terseok sambil menjajakan pacul. Namun tak seorangpun yang berminat. Daerah
yang dulu subur kini berubah menjadi kawasan perumahan. Penduduk lebih banyak
yang bekerja menjadi pedagang atau pegawai kantoran, daripada bertani. Mereka
tak butuh pacul lagi.
“Pacul, pacul”
teriak Mbok lastri parau. Hingga magrib menjelang tak satupun yang berniat
membeli pacul bekas milik suaminya. Lastri menangis meratapi nasibnya yang
melarat. Sejak pagi ia tak makan. Lemas dan lelah mendera tubuhnya yang
ringkih. Ia duduk di bawah pohon mahoni
sambil menyelonjorkan kakinya yang bengkak. Dalam kesedihannya ia teringat
Seto, Adim dan Si Kecil Sarah yang belum makan. Ia segera beranjak dari
duduknya dan kembali menjajakan Pacul.
“Pacul, pacul”
suaranya semakin lirih tak terdengar. Matanya yang lelah berbinar setelah
melihat warung di depannya. Ia segera mendekati warung itu sambil menenteng
pacul suaminya yang terasa semakin berat di pundaknya.
“Pak maukah
Bapak membeli pacul ini?” tanya Lastri. Pak tua penjual makanan itu tak
langsung menjawab. Ia mengamati sekujur tubuh orang dihadapannya.
“Maaf Mbok saya
tidak butuh pacul. Saya tidak punya kebun.” Jawab pemilik warung.
“Bapak bisa
gunakan untuk membersihkan rumput di sekitar rumah.” Usul Lastri.
“Halaman rumah
bapak berpaving Mbok.”
Lastri tertegun.
Ia tak tahu lagi apa yang akan diperbuatnya. Sementara keluarga di rumah sudah
lama menunggunya.
“Oh ya sudah Pak
saya tukar pacul ini dengan nasi saja.” Kata Marni diiringi isak tangis.
Sementara Si Penjual nasi terlihat berpikir keras.
“Baiklah. Simbok
minta berapa bungkus?” Kata penjual nasi.
“Kalau boleh
lima bungkus Pak.” Jawab Mbok Lastri lemah. Ia begitu pasrah.
Pemilik warung
mengangguk lemah.
Malam itu Marni
tiba di rumah sudah sangat larut. Suami, anak dan cucunya sudah tidur. Ia
membangunkan mereka semua dan memintanya untuk makan. Ia sendiri tidak makan.
Biasanya ia makan jika ada sisa. Sementara keluarganya sedang makan, ia
membersihkan tubuhnya di sungai belakang rumah. Ia dan keluarganya tak mampu
membuat kamar mandi. Sehingga ia dan keluarganya menggantungkan kebutuhan air
dari sungai yang sudah tidak bersih lagi.
Esoknya
pagi-pagi sekali Lastri kembali menyapu halaman rumah tetangganya. Ia
melaksankan tugasnya dengan iklas. Ia tak begitu berharap hari ini, karena
memang sudah tak ada yang diharapkan. Pacul satu-satunya barang yang tersisa
sudah ditukarkannya dengan nasi. Hari ini ia pasrah. Sesekali ia mendongak ke
langit. Dan tak ada lagi gurat kelasah di wajahnya.
Biodata:
Syaif
Ahmad bernama asli Ahmad Saifudin lahir di Tulungagung, namun sejak kecil
berdomisili di Blitar. Kesehariannya sebagai Dosen di UNU Blitar dan LKP SMART
sebuah Pendidikan Luar Sekolah yang bergerak di bidang pendidikan. Beberapa
karyanya terbit di majalah dan koran regional.
Nomer yang bisa
dihubungi: 085649305903
1 comment:
cerpen hambar gak ketemu endingnya
Post a Comment