Sabtu, 5 Oktober 2019
Dede, staf Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), mengambil waktu untuk bertemu kami disela kegiatannya dengan Ibu-ibu PKK. Bertempat di Sam Bistro Kafe, ia menyampaikan kabar baik setelah Panja DPR RI mengesahkan revisi UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan terkait batas usia minimal perkawinan, yang sebelumnya 16 tahun untuk perempuan, menjadi 19 tahun. Itu berarti ada batas usia perkawinan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Revisi UU untuk batas usia perkawinan ini memang salah satu yang diperjuangkan YKP, terutama terkait kampanye menolak perkawinan anak. Menurut YKP, usia 16 tahun bukan usia yang ideal, dilihat dari kesiapan fisik, mental, dan intelektual.
Namun Achmad Ryan Fauzi dari Insan Genre Kabupaten Blitar, tetap sepakat jika usia ideal perkawinan adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
Meskipun untuk menaikkan batas usia minimal pernikahan dari 16 ke 19 tahun itu bukan hal yang mudah. Banyak lobi dijalankan, termasuk ke Panja DPR dan ke Kementrian terkait. Setidaknya, informasi ini bisa diteruskan ke masyarakat bahwa saat ini batas usia minimal pernikahan adalah 19 tahun.
Pertemuan kami dengan Dede malam itu adalah tindak lanjut dari kegiatan Pelatihan yang digelar 4-6 Maret 2019 lalu, dan selepas pelatihan tersebut kami mendapatkan tugas sosialisasi.
YKP saat ini memang memprioritaskan sosialisasi ke tiga kabupaten di Jawa Timur, yaitu Ponorogo, Bojonegoro, dan Blitar. Karena angka perkawinan anak usia dini memang cukup tinggi.
Usia 19 tahun memang sudah lumayan, meski belum ideal. Minimal mereka sudah lulus SMA, baik bagi laki-laki atau perempuan.
Memang ada budaya yang masih kuat mengakar, jika perempuan tidak perlu sekolah tinggi, sebab nantinya hanya di rumah, tidak berkarir. Bahkan lulus SMA saja dianggap lebih dari cukup. Di beberapa tempat, tak jarang lulusan SMP sudah menikah.
Namun kematangan mental dan intelektual itu tidak bisa diremehkan, terutama di era sekarang, perempuan juga membutuhkan skill tertentu, terlepas apakah nanti dia bekerja atau tidak.
Menikah pada usia dini beresiko antara lain pada kesehatan fisik, yang belum siap untuk hamil. Kesiapan mental, sebagai istri dan ibu. Juga kesiapan intelektual untuk mendidik anaknya kelak.
Salah satu yang dikhawatirkan adalah, tingginya angka perceraian. Terlebih jika laki-lakinya juga belum siap, seringkali perempuan harus pergi bekerja keluar negeri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sehingga kehilangan banyak waktu untuk interaksi dengan keluarga.
Selain itu tingginya angka kelahiran anak stunting, juga disumbang dari rendahnya wawasan orang tua tentang kesehatan reproduksi dan gizi selama masa kehamilan.
Memang tidak semua bisa disamaratakan. Sebab perempuan menikah usia dini, antara 16-18 tahun toh banyak terjadi sejak lama. Hanya saja tidak semua bernasib baik, artinya tinggal dalam keluarga yang berkecukupan, yang bersedia menopang kehidupan mereka.
Namun usia toh juga tak serta merta menunjukkan kedewasaan, atau kematangan intelektual. Namun semua memang perlu diperjuangkan dan dipersiapkan.
Wawasan yang saya dapat dari pelatihan yang diadakan YKP itu memberikan kesadaran, bahwa manusia harus terus berusaha mengupayakan yang terbaik, apalagi terkait perkawinan.
Sebab pelatihan tersebut tidak hanya berisi imbauan menolak perkawinan anak usia dini, namun juga pengayaan pengetahuan tentang gender, penyakit menular seksual, kesehatan reproduksi, dan yang menyertainya.
Ada tiga modul yang saya dapat, yang sebenarnya ingin saya pelajari lebih mendalam, juga ingin saya bagikan isinya. []
Sam Bistro Blitar,
Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment