Oleh Alfa Anisa
Barangkali menulis adalah cara untuk mengabdi, menjadi pribadi yang lebih mencintai dan menghargai diri sendiri serta hal-hal sederhana yang membuat senyum binar mata bahagia.
07 November 2019, ahad kesekian saya mengikuti pertemuan kepenulisan. Datang lebih awal dari jadwal, mungkin yang benar adalah tepat waktu. Hanya ada Mbak Dinda sendirian di meja timur ruang koleksi khusus, dan pria berkacamata di meja barat bersama dua perempuan lain. Pria itu sepertinya anggota FLP entah saya belum pernah berkenalan langsung karena saya pikir dia mirip Saiful, tetangga Rosi. Lupakan.
Rosi pamit menuju lantai atas, melengkapi halaman-halaman tesis yang masih rumpang. Saya memilih menikmati wifi, udara dingin dan lembar-lembar koran di lantai bawah. Tiba-tiba Mbak Dinda datang mencari teman, mengajak masuk meski saya masih enggan karena menunggu waktu dan teman-teman berdatangan. Koleksi umum menjadi tujuan saya selepas Mbak Imro datang menemani Mbak Dinda menunggu kedatangan teman-teman.
Tiga puluh menit, sekiranya waktu yang cukup untuk menghadiri pertemuan. Saya dan Rosi datang beriringan, menimbulkan gaduh tiba-tiba dalam ruangan.
Lima orang lelaki dan tiga orang perempuan memenuhi meja timur ruang koleksi khusus. Agenda membahas evaluasi kelas fiksi dan nonfiksi, perombakan mentor dan masih banyak hal lain. Ada beberapa orang baru yang belum saya kenal. Tapi perhatian saya justru ke arah pria paruh baya berkacamata yang duduk di sudut. Beragam pertanyaan memenuhi pikiran, meski rasa iba ikut hadir memenuhi pertanyaan. Mungkin ada ketertarikan di dunia kepenulisan atau saya tak bisa menebak dengan benar.
Berulangkali angop-angop datang, kepala saya letakkan di meja. Di posisi yang dulu pernah saya lakukan, justru ternyata saya menyadari betapa membosankan. Tapi mungkin kebiasaan buruk saya dari dulu hingga sekarang mengikuti diskusi komunitas kepenulisan adalah cepat bosan, terlebih tak ada yang bisa diajak usil. Eh. Justru hal yang menarik dari pertemuan siang itu adalah Pak Aji. Ah, sayangnya beliau datang tak tepat waktu.
Agendanya rapat, meski saya sempat membaca agenda diskusi 07 November adalah kelas artikel. Entahlah kebenaran memang hanya milik Tuhan.
Menatap Pak Aji, saya teringat dengan Pak edi. Penulis, pemulung sekaligus tinggal di Masjid Syuhada' Haji Kota Blitar. Bagaimana nasib tulisan-tulisannya yang telah diketik dan dijilid beberapa judul.
Semangatnya masih berkobar, namun sayangnya komunitas ini masih bergerak ke arah yang lebih menghidupkan. Meski realita di lapangan mengatakan jauh berbeda, tapi menularkan semangat menulis dan mendengarkan keluhan adalah cara sederhana yang masih bisa kami lakukan.
Dunia kepenulisan itu rumit. Terlebih pelaku seni belum dihargai secara maksimal di negeri ini. Sedangkan literasi di kota ini masih terkesan hiruk pikuk, lebih banyak ditumbuhi tradisi. Saya sedang memulai lagi, mencari ruang-ruang di mana saya bisa mengakrabi hari-hari. Sulit. Tapi yang terpenting tetap menulis daripada tidak sama sekali.
Waktu pada akhirnya memilih berpamitan. Saya dan Rosi memilih pulang mendahului teman-teman lain. Setidaknya saya mendapat pelajaran sederhana. Berbakti, berkarya, berarti menjadikan adanya motivasi untuk hari nanti. Barangkali menulis adalah cara untuk mengabdi, tak ada yang bisa saya lakukan demi negeri ini. Hanya dan masih menulis yang bisa saya lakukan untuk berbagi.
Selamat menulis keabadian!
No comments:
Post a Comment