Oleh: Yayuk Amirotin*
“Ayo, siram sampai basah kuyub! Hahaha,” teriak Zahra puas.
Satu persatu teman-teman Zahra mengambili air selokan dengan gayung. Lalu disiramkannya air itu ke tubuh Zubaida. Kini Zubaida basah kuyup. Kemeja putih yang ia pakai berubah kecoklatan.
“Masih berani kau melawanku, hah?!?” tantang Zahra berkacak pinggang mengitari Zubaida yang mulai menggigil.
“Zahra! Beraninya keroyokan!Sekali lagi kau berani menganiaya Zubaida, kuadukan kau ke Pak Ali!” ancam Zahira membubarkan Zahra dan teman-temannya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Zahira membantu membersihkan tubuh sahabatnya, “seharusnya kau lawan mereka!Jangan diam saja!” lanjutnya geram.
“Terimakasih, Hira!” Zubaida mencuci rambutnya. Hijab putih yang ia kenakan pun dibersihkannya. Dia tidak mau ibunya marah mengetahui peristiwa itu.
“Zahira, mengalah bukan berarti kalah! Nabi Muhammad saw senantiasa mengajarkan kelembutan. Bahkan kepada orang yang telah menghina kita sekalipun. Aku ingin belajar meneladani sikap beliau. Aku cinta beliau,” tutur Zubaida.
“Subhanallah, aku sangat bangga mempunyai sahabat sepertimu!Andai saja semua orang mempunyai sifat seperti Nabi Muhammad saw, pasti dunia ini akan aman dan tentram.”
Sementara di kantin sekolah, Zahra dan teman-temannya tengah asyik bercengkerama sambil menikmati makan siang. Mereka puas telah menghakimi Zubaida beramai-ramai.
*****
Peluit tanda pelajaran olahraga telah ditiup. Zubaida berlari menuju lapangan. Sebelum sampai di lokasi, tiba-tiba kakinya terasa perih. Ia meringis kesakitan. Ada benda-benda tajam yang menancap di telapak kakinya. Dibukanya sepatu perlahan, telapak kakinya telah berdarah. Pecahan-pecahan kaca menembus kaos kaki gadis itu sehingga menyebabkan luka yang serius.
Mengetahui hal itu, Zahira berlari hendak menolong. Ia menyebut Zahra dan teman-temannya yang telah memasukkan pecahan-pecahan kaca itu dengan sengaja ke sepatu Zubaida.
Zahra dan teman-temannya menolak tuduhan Zahira. Apa buktinya kalau mereka yang telah memasukkan pecahan-pecahan kaca itu?Terjadi perang mulut di antara mereka. Untung saja, Pak Heri segera menengahi pertikaian. Semua mata akhirnya menatap ke Zubaida yang meringis menahan sakit.
“Maaf, mungkin ini karena kecerobohanku! Aku lupa tidak memeriksa sepatu sebelum memakainya. Mungkin, karena kucingku menumpahkan segelas susu yang belum habis kuminum semalam,” kata Zubaida berusaha mencari-cari alasan agar perdebatan tidak berkepanjangan.
Setelah minta maaf kepada Pak Heri selaku guru olahraga SMA Tunas Mulia, Zubaida bergegas ke ruang UKS. Zahra dan teman-temannya girang, karena hari ini lawan handal pertandingan basket mereka, Zubaida tidak bisa ikut bertanding.
Zubaida berjalan tertatih-tatih menuju ruang UKS. Ketika sampai di depan mushola sekolah, ia. “Maafkan aku ya Allah, hari ini hamba absen salat duha,” kata Zubaida sedih.
“Assalamualaikum….” Zubaida mengetuk pintu ruang UKS. Tak ada jawaban. Zubaida pun segera mengambil kapas, obat merah dan plester di dalam kotak P3K. Beberapa saaat kemudian, Fardhan muncul di depan pintu.
“Assalamualaikum… wah, ternyata ada pasien! Maaf, aku baru dari mushola,” kata Fardhan kepada gadis itu. la segera membantu Zubaida.
“Maaf, biar saya saja, Kak!” Zubaida sedikit menggeser tempat duduknya menjauhi Fardhan. Ia merasa canggung duduk di dekat laki-laki yang bukan muhrimnya. Apalagi di ruang UKS itu hanya ada mereka berdua.
“Tidak apa-apa kalau kamu bisa mengobatinya sendiri. Kebetulan, teman-teman kakak yang lain sedang melakukan pemeriksaan gigi dan telinga di dalam kelas. Jadi, kakak yang bertugas piket di sini,” Fardhan menjelaskan.
“Ngomong-ngomong, mengapa kakimu bisa berdarah?” tanya pemuda bertubuh tinggi dan berkulit putih itu.
“Tadi sewaktu mau pelajaran olahraga, ada pecahan-pecahan kaca di dalam sepatuku. Aku lupa tidak memeriksanya,” kata gadis itu sibuk mengobati luka di telapak kakinya.
“Berarti, belum dibersihkan. Sini…!” pemuda itu melepas kembali balutan plester yang hampir diselesaikan Zubaida. Diambilnya ember kecil berisi air bersih. Perlahan, dibersihkannya luka gadis itu dengan kapas. Tentu saja, Zubaida terpaksa menurut. Ia meringis menahan sakit.
“Tahan!Tahan!Hanya sebentar saja!” Fardhan mencoba menenangkan. Ia mengelap luka menggunakan kain kering sebelum membalut luka gadis itu. Pekerjaan Fardhan sangat cekatan. Pantas saja, dia menjadi ketua UKS sekaligus ketua PMR SMA Tunas Mulia.
Di lapangan basket, tim Zahra hampir memenangkan pertandingan. Tanpa Zubaida, mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk mengalahkan lawan. Sementara tim Zubaida harus pasrah dan siap menerima kekalahan. Meski begitu, mereka pantang menyerah untuk terus berjuang melawan tim Zahra.
“Hidup Zubaida…!Hidup Zubaida…!Hidup Zubaida!” teriak teman-teman pendukung tim Zubaida bersamaan.
Kehadiran Zubaida ke tengah lapangan membuat Zahra dan teman-temannya terkejut. Rupanya, pecahan kaca yang mereka letakkan di dalam sepatu Zubaida tak mempan untuk mematikan semangat gadis itu. Pertandingan pun dilanjutkan. Dalam hitungan menit, tim Zubaida berbalik meraih angka-demi angka. Pertandingan pun akhirnya dimenangkan oleh tim Zubaida.
Sementara dari kejauhan, tampak seorang pemuda mengawasi jalannya pertandingan basket. Ia ikut lega dengan kemenangan gadis itu.
*******
Pakkk! Tamparan keras Ayu tiba-tiba mendarat di pipi kanan Zubaida. “Dasar wanita tak tahu diri! Sukanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!”
Wajah Ayu bersungut-sungut geram. Ia mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi hendak mendaratkan tamparan di pipi kiri Zubaida.
“Cukup! Apa-apaan ini? Memalukan!” tiba-tiba Fardhan muncul dan langsung menarik tangan Ayu. “Ayu, kau salah paham!” Fardhan berdiri di antara keduanya.
“Apa foto ini kurang cukup bukti bahwa…,” kata-kata Ayu terhenti, ia tak mampu menahan air mata yang terbendung. Dikeluarkannya ponsel berisi foto Fardhan dan Zubaida yang sedang duduk berdua, “bahwa kau telah menghianati cinta kita. Aku sangat…”
“Cinta kita?!?” Fardhan memotong ucapan Ayu, “kapan kita jadian? Apa aku pernah mengungkapkan cintaku padamu? Aku belum pernah mengungkapkan cintaku kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT. Aku juga mencintai Rasulullah saw. Beliau menjadi uswatun hasanah di dunia ini. Itulah cintaku yang sesungguhnya. Tak ada yang bisa mengalahkan cintaku kepada beliau,” kata-kata Fardhan membuat tangis Ayu menjadi.
“Maafkan aku, Ayu!Tapi, itulah kenyataannya,” Fardhan mengutarakan hatinya.
Hati Ayu hancur berkeping-keping. Ia telah menganggap Fardhan sebagai kekasihnya. Kini ia merasa malu. Malu kepada Fardhan, malu kepada Zubaida. Malu kepada teman-teman sekelasnya.
“Kak Ayu, jangan sedih! Kita adalah sahabat. Aku sayang sama Kak Ayu! Nabi Muhammad saw selalu mengajarkan kasih sayang terhadap sesamanya,” Zubaida mendekat. Tapi Ayu malah mendorong tubuh Zubaida hingga terjatuh di lantai. Ia berlari keluar kelas.
Kini Zubaida dan Fardhan tahu, rupanya keberadaan mereka berdua di ruang UKS pagi tadi, telah dimanfaatkan Zahra untuk mencuri foto mereka lalu disebarkan ke seluruh siswa SMA Tunas Mulia.
“Kak Fardhan, kasian Kak Ayu!Buruan, kakak kejar!” pinta Zubaida yang masih terduduk di lantai.
“Maaf, aku tidak mau memberinya harapan. Bukannya aku sombong. Tapi, jika aku mengejarnya, sama artinya aku memberinya sebuah harapan. Ingat! Dalam agama Islam, kita dilarang berpacaran. Orang tuaku selalu menasihati akan hal itu. Karena berpacaran itu lebih mengarah ke hal-hal maksiat. Oiya, kamu tidak apa-apa?Maafkan atas perbuatan Ayu,” Fardhan mengulurkan tangan hendak menolong Zubaida. Tapi, buru-buru gadis itu bangkit dan berdiri.
“Maaf, aku tidak apa-apa, Kak!”
“Alhamdulillah kalau kamu baik-baik saja,” pemuda itu memutar badan hendak keluar kelas.
“Jadi, Kak Fardhan belum pernah pacaran?” tanya Zubaida lirih.
“Inya Allah belum,” jawab Fardhan menoleh sambil tersenyum.
Menyadari hal itu, tentu saja Zubaida sangat terkejut bercampur malu. Ia tak menyangka jika kata-kata yang lirih ia ucapkan, terdengar oleh pemuda itu.
“Maaf, aku harus buru-buru. Ada acara takmir di mushola. Assalamualaikum…,” pemuda itu pun meninggalkan Zubaida di kelas.
Gadis berkulit putih dengan alis hitam tebal, berhias sinar mata yang selalu berbinar menatap kepergian Fadhan hingga menghilang menyusuri koridor sekolah. Ia tak percaya bahwa pemuda tampan yang sering menjadi incaran siswi-siswi SMA Tunas Mulia itu belum pernah berpacaran. Bahkan Ayu yang tinggi, berkulit putih, berhidung mancung, dan smart, ditolaknya!
“Hayo…ngelamunin siapa?” goda Zahira yang tiba-tiba muncul mengagetkannya.
“Engg…enggak kok,” jawab Zubaida gugup.
“Ayo ke mushola! Kita belum salat dhuhur,” ajak Zahira. Deg! Ajakan Zahira membuat jantung Zubaida berdegup cepat.
“Aku… aku salat di rumah saja!” tolak Zubaida. Ia masih malu jika bertemu Fardhan nantinya.
“Enggak baik menunda-nunda salat. Buruan!” Zahira menarik paksa Zubaida.
Rupanya Zahra dan teman-temannya masih menyimpan kebencian dan dendam kepada Zubaida. Apalagi, hari itu Zubaida dan timnya berhasil mengalahkannya dalam pertandingan basket. Belum lagi pembelaan Fardhan kepada gadis yang sangat ia benci itu. Pasti dia sangat besar kepala. Akhirnya Zahra dan teman-temannya menyusun satu rencana lain yang lebih jitu untuk Zubaida.
*****
Sudah dua hari Zubaida selalu terlambat datang ke sekolah. Hari ini ada ulangan harian Agama Islam dari Pak Ali. Siswa yang tidak mengikuti ujian ataupun mendapatkan nilai yang kurang dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), akan mendapatkan hadiah untuk menggantikan Pak Ali mengajar di kelasnya selama seminggu. Materi yang dibahas adalah juga tentang bab yang diujikan.
Tangan Zubaida tampak ragu mengetuk pintu kelas. Zubaida diperbolehkan masuk dan mengikuti ujian karena alasan yang ia sampaikan masih bisa ditoleransi oleh Pak Ali. Tetapi dia tidak mendapat perpanjangan waktu. Zubaida segera duduk di tempatnya dan diam sejenak untuk berdoa. Gemetaran tangannya memegang bolpoin. Apalagi semalam ia tidak sempat membuka buku dan belajar.
“Ada apa Zubaida?Kamu baik-baik saja?” tanya Pak Ali menatap gadis itu.
“I…iii iya Pak! Saya baik!” jawab Zubaida terbata-bata.
Zahira merasa kasian kepada sahabatnya. Mungkinkah dia bisa menyelesaikan soal itu dengan waktu yang tersisa. Ada 50 soal pilihan ganda dan 20 essay. Sedangkan waktu yang tersisa hanya 30 menit. Dia bermaksud membantu sahabatnya dengan menuliskan jawaban di selembar kertas kecil. Tetapi, niat itu diurungkannya. Zubaida pasti akan menolak. Zahira tahu, Zubaida selalu jujur dalam perkataan maupun perbuatannya.
Bel istirahat pertama telah memanggil siswa-siswi Tunas Mulia untuk menghentikan aktivitas pembelajaran. Pak Ali segera mengumpulkan hasil pekerjaan siswa lalu keluar kelas. Zahira buru-buru menghampiri sahabatnya.
“Aku takut kamu tidak bisa menyelasaikan soal-soal ujian,” Zahira mengungkapkan kekhawatirannya, “tapi, aku yakin kamu bisa mengatasinya,” lanjutnya yakin.
Hari itu, Zubaida berharap waktu di sekolah berlalu cepat. Saat bel tanda pulang berbunyi, ia segera menghambur keluar halaman sekolah dan melarikan sepeda motornya menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ban sepedanya kempes. Tak ada bengkel terdekat. Terpaksa, gadis itu pun berjalan menuntun. Berkali-kali dilapnya keringat yang mulai jatuh bercucuran di kening. Dahaga menyerang tenggorokannya, tetapi air di botol sebagai persediaan pun tiada sisa. Gadis itu berhenti dan duduk sejenak.
“Pergi!Aku tak butuh bantuanmu!”
Zubaida sangat terkejut. Sepiring nasi yang ia bawa telah dilemparkan Zahra ke lantai. Ia merasa bersalah karena salah mengambil sepeda. Seharusnya, ia yang mengalami kecelakaan. Bukan Zahra.
“Gara-gara kamu, aku jadi seperti ini!!!” tuding Zahra. Kata-kata itu masih terngiang di telinga Zubaida.
“Assalamualaikum…,” Zubaida tersentak dari lamunannya.
“Kak Fardhan, wa’alaikumsalam…” jawab gadis itu menutupi kegalauannya.
Fardhan segera membantu Zubaida mencari bengkel terdekat. Karena harus buru-buru ke rumah sakit, akhirnya Zubaida meminta ijin untuk meminjam sepeda Fardhan. Sedangkan Fardhan menunggui sepeda Zubaida untuk ditambal di bengkel.
Gadis yang tergeletak di atas ranjang rumah sakit itu tampak sangat pucat. Tubuhnya lemah karena sejak tadi pagi tidak makan. Hanya beberapa teguk air mineral yang dia tumpahkan di bibirnya untuk mengusir dahaga di tenggorokan.
“Ibu, mengapa kau tak kunjung pulang…?” ratapnya sedih, “ andai saja ayah dan ibu pulang, aku akan berusaha memperbaiki kesalahanku. Maafkan aku, Bu!” kata gadis itu menyesal. Diraihnya ponsel di samping ranjang. Dicarinya foto kebersamaan ia dan ibunya. Ia begitu rindu. Ibunya tak pernah marah atau kasar kepadanya, meski ia sering membentak ibunya.Tiba-tiba Zahra terpaku pada sebuah album rekaman. Ia lupa, kapan rekaman itu dibuatnya. Klik! Diputarnya rekaman itu.
Allahumma sholli ‘sholatan
kamilatan wa sallim salaman
tamman ‘ala sayyidina Muhammadinilladzi
tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil kurobu
wa tuqdlo bihil hawa-iju wa tunalu bihirroghoibu,
wa husnul khowatimu wa yustasyqol ghomamu
biwajhihilkarim wa ‘ala alihi
wa shohbihi fi kulli lamhatin wa nafasin bi’adadi kulli ma’lumin laka
Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kutatap wajahmu
Kan pasti mengalir air mataku
Karena pancaran ketenanganmu
Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kukecup tanganmu
Moga mengalir keberkatan dalam diriku
Untuk mengikut jejak langkahmu
Ya Rasulullah Ya Habiballah
Tak pernah kutatap wajahmu
Ya Rasulullah Ya Habiballah
Kami rindu padamu
Allahumma Solli Ala Muhammad
Ya Rabbi Solli Alaihi Wasallim (2x)
Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kudekap dirimu
Tiada kata yang dapat aku ucapkan
Hanya Tuhan saja yang tahu
Kutahu cintamu kepada umat
Umati kutahu bimbangnya kau tentang kami
Syafaatkan kami
Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kutatap wajahmu
Kan pasti mengalir air mataku
Karena pancaran ketenanganmu
Ya Rasulullah Ya Habiballah
Terimalah kami sebagai umatmu
Ya Rasulullah Ya Habiballah
Kurniakanlah syafaatmu
Ya, lagu itu direkamnya bersama kakaknya waktu di SMP. Mereka terlihat sangat rukun dan bahagia. Kedua gadis itu menggunakan busana yang sama, bershalawat di atas panggung saat peringatan Maulid Nabi Muhammad. Air mata gadis itu semakin deras mengalir. Begitu menyentuh dan syahdu shalawat yang ia nyanyikan. Tapi kini, ia menyesal, mengapa shalawat itu tak pernah ia amalkan. Sesenggukan ia menangis seorang diri mengenangkan perubahan nasibnya sekarang.
Zubaida berdiri mematung di tengah pintu, memperhatikan apa yang terjadi.
“Kak Zubaidaaa….”
Sekotak nasi yang dibawa Zubaida terjatuh dari genggaman. Ia tidak percaya dengan apa yang baru diucapkan Zahra.
“Apakah aku sedang bermimpi?” tanyanya lirih.
“Kamu tidak mimpi, Kak!” Zahra meyakinkan gadis yang masih berdiri terpaku di pintu.
Zubaida segera berlari dan memeluk Zahra. Mereka berpelukan erat. Tak lama terdengar tangis sesenggukan di antara keduanya.
“Maafkan aku, Zahra!Harusnya aku yang terbaring di sini!” kata Zubaida menyesal.
“Tidak, Kak. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku pantas mendapatkan hukuman ini. Aku telah berkali-kali menyakitimu. Aku juga yang telah membuat rem sepedamu tidak berfungsi waktu itu. Subhanallah, tapi Allah telah menyelamatkanmu dari niat burukku,” sesal Zahra, “aku selalu iri dengan apa yang kamu dapatkan, aku….”
“Aku telah memaafkanmu, Zahra!” potong Zubaida. “Aku selalu menyayangimu. Kau adalah adik kebanggaanku!” lanjutnya membelai rambut Zahra.
Air mata Zahra bercucuran semakin deras. Ia menyesal akan perbuatan yang selama ini dilakukannya.
“Aku rindu mengenang masa-masa itu, kita bernyanyi dan bershalawat bersama. Aku berharap kita bisa hidup rukun seperti dulu lagi. Bukankah kamu pernah mengatakan, kalau ingin berhati seperti Nabi Muhammad? Bahkan, kau juga pernah mengatakan, ingin menjadi kekasih nabi! Kau begitu mencintai Rasulullah,” Zubaida menggenggam tangan Zahra dan berusaha mengingatkan keinginan Zahra sewaktu masih kecil.
“Assalamualaikum….” tiba-tiba Fardhan dan Zahira muncul, “ternyata, kalian adalah saudara?!?” tanya keduanya serempak.
Kedua gadis itu mengangguk. Fardhan segera menyodorkan sekotak nasi yang jatuh di pintu. Zubaida menerimanya, ia pun segara menyuapi adiknya.
“Zubaida, Zahra!” tiba-tiba sepasang suami istri masuk ke ruangan dan menyebut nama kedua gadis itu.
“Ibu, assalamualaikum…” ucap Zahra dan Zubaida hampir bersamaan.
“Ibu sudah pulang?” tanya Zahra, “maafkan aku, Bu!” sesal Zahra, “tidak seharusnya Zahra berkata kasar sama Ibu.”
“Yang penting sekarang kamu sudah sadar dan menyesal akan perbuatanmu. Besok adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Ibu telah membelikan busana muslim untuk kalian. Warnanya putih. Ibu ingin kalian bershalawat di hari kelahiran Nabi Muhammad!vBahkan, ibu ingin kalian bershalawat setiap hari. Hidup rukun dan saling menyayangi,” pinta Bu Ana.
“Iya, Bu! Insya Allah Kak Zubaida dan Zahra laksanakan. Zahra akan belajar meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad. Zahra akan berusaha memperbaiki kesalahan yang Zahra buat. Zahra ingin menjadi kekasih Nabi Muhammad. Zahra cinta Rasulullah saw,” janji Zahra. Zubaida dan semua yang ada di kamar itu merasa bahagia dengan perubahan Zahra.
“Kak Fardhan, terimakasih atas bantuannya! Ini kunci sepeda motor, Kakak!” Zubaida menyerahkan kontak sepeda motor kepada Fardhan ketika mengantar pemuda itu dan Zahira keluar halaman rumah sakit.
“Zubaida, ini hasil ulanganmu tadi! Amazing! Betul semua!” seru Zahra bertepuk tangan.
“Alhamdulillah…,” Zubaida bersyukur girang.
“Wah, selamat! Selamat ya….” Fardhan tidak melanjutkan kata-katanya. Pemuda itu mencoba mengingat-ingat nama gadis di depannya.
“Zubaida,” Zahira segera memberi tahu.
“Selamat!Selamat ya Zubaida!Aku ikut senang,” ulang Fardhan memberi ucapan selamat sambil tersenyum.
“Besok, aku tunggu penampilan terbaikmu dengan Zahra!” Zahira melambaikan tangan, “satu hal lagi! Hari ini pukul 04.00 sore kalian ada gladi bersih menjadi pembawa acara untuk besok!”
Zubaida dan Fardhan saling pandang. Mereka baru ingat kalau hari ini adalah latihan terakhir untuk persiapan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Dalam hati, mereka berjanji berlatih antusias demi kelancaran acara esok. Persiapan dilakukan sematang mungkin, bukti kecintaan mereka kepada Rasulullah.[]
*BIODATA PENULIS
Wanita yang lahir di Blitar pada 25 Juni 1986 mempunyai nama lengkap Yayuk Amirotin. Putri dari seorang Ibu Suwani. Ia tinggal di Dusun Krajan RT 21 RW 06 Pagerwojo Kec. Kesamben Kab. Blitar, Jawa Timur. Sehari-hari ia bekerja di UPT SDN Wlingi 01. Nomor telepon yang bisa dihubungi 081232462612 dengan akun FB Akbar Yayuk Amirotin dan alamat email akbaralfaradiance@gmail.com
Wanita yang sedikit pendiam ini, sekarang aktif berkegiatan di Forum Lingkar Pena (FLP) Blitar. Ia juga aktif mengikuti event-event puisi dan menyumbangkan karya-karyanya sebagai kontributor terpilih.
No comments:
Post a Comment