Oleh: Ahmad Mualimin
Tidak bisa dipungkiri memang, di dunia ini ilmu menjadi hal penting untuk menjadikan hidup lebih berkualitas dan bermanfaat tentunya. Kesadaran untuk mengakui kelemahan diri ini yang belum tentu tumbuh dalam sanubari setiap orang. Menyadari akan hal itupun butuh perjuangan dan metode tepat untuk mendapatkan ilmu tersebut.
Sejak sepuluh tahunan yang lalu sering main-main ke Museum Bung Karno Blitar. Karena dari kecil sudah punya jiwa seni, otomatis beberapa lukisan dan karya seni yang terpajang di sana menjadi sasaran utama pandangan mata.
Bicara soal ilmu tahu memang kalau di kompleks Makam Proklamator ini ada Perpustakaan Nasional yang sudah tentu banyak banget buku-buku yang memuat segudang pengetahuan. Masalahnya adalah minat untuk melangkahkan kaki ke ruangan itu yang berat. Jelasnya diri ini malas banget jika disuruh meluangkan waktu untuk sekedar baca buku. Karena menurutku waktu itu, ada hal lain yang lebih menarik dari itu.
Meski begitu jangan salah, kemana pun aku keluar, tak jarang dalam tasku selalu ada buku yang sengaja kubeli di Gramedia. Padahal hanya tertarik dengan gambar sampul dan judulnya saja. Kalau untuk membacanya ya, perlu pertimbangan dulu. Setahuku membawa buku ke mana-mana memang ada beberapa manfaat buatku.
Pertama, karena aku adalah pejalan sunyi yang sering berpetualang, mengkhayal dan berburu inspirasi. Di kala kelopak mata berat sekali dibuka karena rasa kantuk yang tak tertahankan. Buku adalah alternatif utama sebagai pengganjal kepala. Siapa tahu saja dengan kebiasaan itu, kata-kata yang tertulis didalamnya bisa meresap ke otak lewat mimpi. Jadi bangun tidur sudah menguasai isi buku tanpa membacanya.
Yang kedua, karena Hp selalu ada di dalam tas. Secara tidak sengaja saat aku mengambilnya, tangan sering bersentuhan dengan buku. Dari seringnya bersentuhan itu, mudah mudahan ilmunya meresap melalui pori-pori tangan. Sehingga apa yang disampaikan oleh pengarang sudah terkusai dengan sentuhan. Terlalu konyol ya...he he he.
Lebih sepesifiknya begini. Karena dalam tas itu ada banyak barang, jadi saat mengambil salah satunya, tak jarang buku ikut terangkat keluar, bahkan kemungkinan juga bisa jatuh. Beberapa pengalaman, orang yang melihatnya mengira diri ini adalah kutu buku. Dalam hatiku andai saja apa yang orang pikirkan terhadapku itu benar betapa kerennya ya. Jadi jika ada orang yang bertanya, tentang isi buku itu. Ya berlagak sok ngerti dan dilebih-lebihkan biar meyakinkan bahwa sudah menguasai betul isi buku itu. Padahal,....aduh.....,gaya dulu tidak apa-apakan.Orang bergaya soleh saja banyak kok. Meski surganya hanya sangkaan orang.
Kira-kira yang kulakukan itu dosa apa tidak ya. Terserah Tuhanlah maunya gimana. Maksudku bersikap begitu, biar orang itu punya daya tarik terhadap buku. Aku ini pecinta buku banget cuma malas baca saja, jadi kalau nanti orang itu tertarik dan suka baca, kan bisa bacakan buku koleksiku. Lumayan bisa irit waktu. Aktifitas tetap seperti biasa, sementara telinga mendengarkan orang membaca.
Makanya kenalnya teman FLP itu, awalnya dari Komunitas Malas Baca yang berevolusi jadi Muara Baca sekarang ini. Dan metode yang dipakai di komunitas itu ya seperti itu. Hanya diminta hadir, duduk manis, dan mendengarkan orang membaca.
Menurutku bersikap sok, itu perlu juga, untuk memaksa diri agar menjadi sesuatu yang diluar kemampuan sebelumnya. Tapi yang penting terukur dan segera sadar, serta terus belajar untuk mewujudkannya.
Yang ketiga, tidak selamanya orang itu sibuk dengan kerjaan, hoby, ataupun aktifitas rutinnya kan. Semua kegiatan memeliki titik jenuh. Saat bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja, kondisi psikologis kita menginginkan hal baru yang berbeda. Entah itu berupa refreshing ke pantai, jalan ke mal, ke lokalisasi, ke karaoke, atau sekedar cari teman ngobrol baru.
Nah begitu pula aku, selama ini hanya sering ngoleksi buku yang kuanggap menarik, namun hanya ditenteng kesana kemari. Kasihan juga dengan si buku, ibarat menikahi seseorang diajak ngalor ngidul hanya untuk gaya, tapi tak pernah diajak bicara.
Beberapa kerjaan di rumah dan kegiatan masyarakat yang kujalani itulah yang lumyan menyita waktu dan tenaga. Buku baru terjamah saat sudah jenuh dengan aktifitas yang menyibukan keseharianku itu. Iseng-iseng bolak balik halaman demi halaman. Kalau dirasa tidak ada yang menarik perhatian tutup lagi, tapi kalau ada lanjut baca. Itupun tidak sampai setengah hati, mungkin hanya sepersembilannya saja. Tapi kan sudah lumayan banget to. Biar sedikit sudah mulai hal baru, yang sudah jelas positif.
Itulah sebenarnya alasanku kenapa kemana-mana bawa buku. Sadar betul kalau ilmu itu penting. Dan sadar pula kalau diri ini selalu banyak alasan untuk membaca. Sengaja pasang ranjau untuk kemalasan tingkat dewa ini, agar terjebak sewaktu-waktu lengah dan tumbuh minat menyapa, meskipun seberapa kadarnya.
Tidak ada masalah besar di luar diri ini. Selama ini hanya sibuk belajar beladiri, namun bersamaan dengan itu menciptakan musuhku sendiri. Semoga diri ini menjadi hamba yang taubat, dan lebih menghargai ilmu.
Blitar, 20 Nov 2019
No comments:
Post a Comment