Oleh: Subek A. B.
Aktivitas pelabuhan itu tak pernah berubah, selalu konsisten dengan kewajibanya. Masih diramaikan dengan lalu lalang petugas dan pekerja, ataupun nelayan juga warga sekitar. Debur ombak menjilati pinggiran dermaga kokoh, menggoyangkan beberapa kapal besar penangkap ikan, juga beberapa kapal tunda yang terparkir rapi. Di seberang batas perairan dangkal dan dalam, belasan kapal ikan, perahu, juga beberapa tongkang terpakir diam.
Desiran angin laut bersahutan dengan klakson kapal pengangkut kontainer yang merambat pelan menjauhi pelabuhan. Atap-atap kapal diramaikan kawanan burung camar yang hanya bertengger diam, dengan mata sayup malas. Tak ada hal yang menarik di pelabuhan ini untuk dinikmati kecuali merah padamnya sinar matahari yang hampir tenggelam ke dasar laut.
Seorang berkaoas oblong melompat kecil dari kapal pemadam ke dermaga beton : Labiru. Tampak berjalan santai, pundak kanannya tersampir segulung selang panjang, selang oranye kusam dengan beberapa robekan kecil, terkelupas, oleh panas lembabnya cuaca pantai. Kotak peralatan digenggamnya kuat dengan tangan kiri. Sekedar prosesi rutin, kewajiban memeriksa apakah peralatan dalam kapal darurat itu tetap berfungi baik. Selama tak ada sesuatu yang harus dipadamkan, kapalnya hanya akan patroli mengitari pelabuhan, tak ada pekerjaan berat. Bukan berarti malas ataupun lambat. Hanya jika benar-benar dibutuhkan.
Ia tak sendirian. Ada sepuluh orang di tim pemadam khusus pelabuhan ini. Tentu saja baik di kantor maupun di atas kapal, mereka disibukkan dengan tugas masing-masing. Tetap berdisiplin seperti pertama kali mereka bertugas : profesional.
Setelah mengembalikan selang dan peralatan di dalam kantornya, Labiru bergegas keluar. Kini jaket kulit membalut badannya. Hanya berjalan santai menuju dermaga peti kemas. Duduk diatas bollard besar memandangi kapal-kapal. Debur ombak pinggir dermaga sesekali mencipratkan embun air dingin mengenai kulit.
Tiiiinn ... Tiiiinn ...!
Suara klakson dari motor oranye bertuliskan ‘Pos Indonesia’ berhenti di belakangnya. Seorang tukang pos turun : Yuli. Wajahnya ceria, berhias senyum santai, meski peluh mengalir dari pelipis hingga pipi cokelatnya. Yuli menyodorkan minuman kaleng pada Labiru. Telapak tangan ‘Si Pengantar Pesan’ itu terbalut sarung tangan cokelat compang-camping. Entah berapa lama sarung tangan itu menyertainya dalam tugas.
“Nganter surat ke kantor pelabuhan lagi?”
“Yow, surat yang masuk kesini cukup banyak. Padahal sekarang sudah ada WA, ternyata surat-menyurat masih eksis,” Yuli terkekeh.
“Lalu apa Pak Pos masih diperlukan untuk mengantar surat-surat?” Mata tajam Labiru menghujam Yuli yang berdiri di sampingnya, memandangi laut.
“Aku tidak yakin,” Yuli menoleh, sembari membuka kaleng minuman di genggamannya, “Aish, jangan menatapku begitu, kebiasaan kau, La.”
Senyum Labiru mengembang, Ia menyadari memang wajah juga tatapan matanya selalu terlihat garang untuk orang lain. Meski sebenarnya sikapnya hangat dan humble.
“Yaah sudah lama kita gak ngobrol Yul, katanya kau baru pulang kampung ya?”
“Heem, hanya satu minggu, ganti liburku selama hari raya lalu. Seingatku, kau belum ambil liburan."
“Sudah dua tahun, semenjak dipindahtugaskan ke pelabuhan. Di timku hanya masih satu petugas yang baru saja cuti. Seorang gadis yang cuti karena menikah. Selebihnya kami belum boleh cuti, belum ada petugas pengganti,”
Diteguknya minuman dingin pemberian Yuli, “Kau tahu sendiri tentunya, petugas PMK sangat sedikit, bahkan di kota sekalipun.”
Tak ada jawaban dari Yuli. Ia hanya diam terhenyak. Sesekali meneguk minumanya.
“Jadi aku ingin mengirimkan ini,” Labiru mengeluarkan sebuah amplop cokelat panjang terbalut rapat selotip bening dari dalam jaketnya. Disodorkanya pada Yuli.
Yuli bergegas menerimanya, dahinya mengernyit, wajahnya nampak keheranan. baru kali ini temanya itu mengirim surat.
“Ini bukan surat, ini segepok uang tunai.”
“Kau membukanya?”
“Tak ada surat setebal satu setengah inchi!”
Labiru diam menatap Yuli.
“Dan kau mempecayakanya padaku? Maksudku kau mempercayakanya untuk kubawa ke kantor lalu mengirimnya ke alamat tujuan?”
“Aku hanya tinggal menyeretmu ke kantor polisi, kan. Itu untuk orang tuaku Yul, rumahku setelah menikah sangat jauh dengan rumah orang tuaku. Setiap kali aku mengririmkan uang selama ini kutitipkan ke tetanggaku, bukan suudzon, tapi aku khawatir uang yang kukirimkan sebelumnya tidak utuh. Heeh, mengerti kan maksudku."
Mereka berdua teridam dalam berisiknya debur ombak diiringi desiran angin. Saling menatap laut yang mulai gelap petang. Beberapa nyala lampu mulai terlihat di ujung-ujung bangunan.
“Sudah mulai petang La, baiklah akan kukirim langsung besok, dengan pos kilat khusus, free ongkir.”
“Hahaha, terima kasih Yul.” Labiru beranjak dari duduknya. Tanganya membersihkan debu-debu dari belakang celana. Ia mengiringi Yuli yang berjalan ke motor dinasnya.
“Oh ya La, ini sedikit oleh-oleh dari kampungku.” Yuli menyodorkan sebungkusan jajanan.
Labiru menerimanya dengan senyum, “Terima kasih. Oh ya juga, Yul, sebagai sesama pelayan masyarakat, apa seorang ‘Pengantar Pesan’ sepertimu merasakan emosi dalam setiap surat-surat yang kau antar?Maksudku, dalam timbunan beragam surat yang belum sampai itu, pastinya ada surat dari seorang suami pada istrinya, anak pada orang tuanya, kerabat, seorang pengangguran yang mendambakan pekerjaan di mana ia mengirim surat lamaranya, juga surat-surat yang seharusnya cepat sampai karena di dalamnya ada sebuah ‘suara’ si penulis sekaligus pengirimnya. Apa kau benar-benar menjaganya sesuai sumpah profesimu?"
Yuli terperanjat. Mata hitamnya menatap Labiru heran, mimik wajahnya bingung. Ia nampak berusaha mencerna apa yang ditanyakan temanya itu. Labiru memang dikenal di kalangan temanya sebagai seorang yang kritis, dengan pemikiran dalam filosofis.
Blitar, 20 November 2019
No comments:
Post a Comment