Rabu, 11 Desember 2019
Bunyi rintik hujan itu selalu sama, sejak kita kecil hingga usia sekarang ini, atau sejak kita mulai menyadari bahwa ada banyak cerita terkenang di antara lebatnya air yang mengguyur dan geluduk petir yang bersahutan.
Mulai dari tubuh yang basah, janji yang tidak bisa ditepati, kegiatan yang tak bisa didatangi, penantian, hingga obrolan ringan di balik tembok warung kopi sembari menunggunya reda.
Tiap kali hujan turun menderas, seperti ada ingatan diputar ulang. Bermacam ingatan, selama bertahun-tahun, dan itu membuat tangan tak bisa tenang. Selalu ingin menuliskan sesuatu, entah hanya sebaris kalimat, atau catatan beberapa paragraf. Sepertinya ada banyak hal yang bisa dirayakan, bukan?
Tiap kali hujan turun, selintas ada banyak bayangan dalam otak saya, mulai dari wajah orang, tempat-tempat tertentu, suasana, jalanan yang pernah dilalui, lagu-lagu, beragam kalimat yang pernah diperbincangkan, dan sebagainya.
Ingatan itu tak selalu menyenangkan, kadang menyedihkan dan menegangkan. Seperti musibah banjir 2004 silam di kawasan Blitar selatan. 3 hari hujan tak berhenti, meski tak lebat, namun cukup untuk membuat sungai meluap ke jalanan, rumah-rumah terendam, dan ribuan hewan ternak mati.
Hujan juga nyaris membuat saya tumbang di jalanan, kala motoran dari Malang ke Blitar. Tubuh menggigil kedinginan, sampai tangan begitu kaku untuk sekadar memegang setir motor. Akhirnya berhenti di sebuah warung untuk menghangatkan badan, sembari berdoa agar tak tumbang karena perjalanan baru sampai Jalibar Kepanjen.
Namun selebihnya, saya menikmati hujan. Kadang hanya menikmatinya dari balik jendela kamar tidur, atau dari teras rumah. Suasananya begitu syahdu, kesederhanaan yang layak disyukuri.
Hujan juga bukan penghalang untuk keluar rumah, kan ada mantel? Kalaupun harus menunda jadwal keluar rumah, biasanya karena disertai angin kencang dan banyaknya pohon-pohon tumbang di jalanan.
Menerabas hujan, menikmati percikannya membasahi wajah, membuat kacamata mengembun. Apalagi jika hanya gerimis, biarlah pakaian basah sebentar, lalu kering lagi oleh hempasan angin selama perjalanan.
Banyak puisi, lagu, esai, dan cerbung saya buat demi merayakan hujan. Lewat genangan air di jalanan, dedaunan yang basah, atau dingin yang membekap selepas reda, adalah suasana romantis yang tiada duanya.
Musim penghujan adalah waktu produktif untuk menulis, selain mungkin karena kita lebih sering berada di rumah, menyeduh kopi sendiri, merasakan kesejukan batin dan berdialog dengan kenangan. []
Di Istana Gebang
Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment