Sejak lama aku tak pernah tidur di rumah nenek. Ya
sejak rumahnya dirobohkan dan diganti dinding batako keras berwarna abu-abu
itu. Nenek bilang ia sudah lama memimpikannya. Di sekeliling situ memang
tinggal rumah nenek yang terbuat dari bambu. Yang lain sudah menjelma menjadi
gedung warna-warni dengan lantai mengkilap. Jadi memang tak salah kalau nenek
ingin rumah seperti itu. Dia melihat rumah-rumah mereka setiap hari. Barangkali
sempat masuk ke dalam juga dan merasa bahwa rumah seperti itu terasa adem saat
musim panas tiba dan tetap hangat di musim dingin. Nenek memang sering
menceritakan tentang rumah impiannya itu setiap bercengkerama dengan kami.
Anak-anak dan cucunya.
“Tak apa rumah nenek kecil, asal rapet dari batako”
katanya selalu mengakhiri penjelasan ceritanya.
Rumah nenek memang cukup luas. Berbentuk joglo tapi
dindingnya terbuat dari bambu yang setiap tahun di cat warna putih. Rumah itu
tinggi. Ada empat undakan menuju ke terasnya. Awalnya ada 5 soko kayu jati di
teras nenek. 4 buah di teras. Dan sebuah soko di ruang utama. Akan tetapi
ketika kakek sakit-sakitan, tahu-tahu saat aku kesana semua soko itu sudah
berganti bambu. Katanya ada yang membeli kayu-kayu itu. Entah berapa harganya.
Konon, kayu-kayu soko itu pemberian dari kakek buyut. Pasti sudah berumur
puluhan tahun tentunya.
Tak lama kemudian, ganti meja ruang rumah utama yang
kayunya baru. Ukuran dan bentuknya sama tapi bukan itu meja yang biasanya. Aku
tak tahu apa yang aku rasakan. Tapi aku tak suka meja dan soko-soko itu hilang.
Selalu terbayang aku bergelayutan, berputar-putar di soko itu, kadang sampai
membuat nenek marah karena takut aku terjatuh. Sementara kakek hanya tertawa
memperlihatkan sederetan giginya yang ompong.
Sebenarnya ibuku anak kedua. Tetapi karena kakaknya
sudah meninggal jadi dia menjadi anak pertama. Aku satu-satunya cucu nenek yang
terlahir disana. Biasa menghabiskan hari-hari di rumah nenek. Berlama-lama
bermain dikali di timur pas rumah nenek, apalagi kalau bukan mencari cetol alias anak-anak ikan yang baru menetas.
Aku satu-satunya cucu nenek yang hafal susunan
setiap inci dari rumah nenek. Aku biasa bermain di seluruh kamar. Ya, seluruh
kamar, juga membuka semua almari yang ada disana. Kalau aku meminta sesuatu itu
jangan dibuang, nenek tak akan membuangnya walaupun itu hanya selembar kertas.
Bisa dibilang begitulah mungkin cucu kesayangan itu. Aku hanya tinggal disana
sampai umur 6 tahun karena setelah itu Bapak mengajak kami pindah ke rumah
sendiri. Walau etiap liburan aku masih tetap ke rumah nenek. Entah kenapa ke
rumah nenek lebih menyenangkan daripada pergi kemanapun.
Hingga malam itu aku mendengar bahwa nenek menjual
separuh tanahnya. Dari hasil penjualan itu nenek akan membuat rumah kecil dari
batako. “Pumpung ada yang mau beli” jelas nenek.
Beberapa hari kemudian rumah nenek pun di robohkan.
Aku tak pergi kesana. Untuk sementara dia tinggal di dapur sampai rumah
batakonya selesai dibangun. Ah, entah kenapa mulutku selalu mengatup setiap
kali mendengar cerita rumah itu sudah roboh. Tetapi, mana ada yang peduli
dengan suara gadis kecil sepertiku. Bahwa- aku kesal rumah itu dirobohkan.
Apalagi saat itu kakek sudah tiada.
Segalanya membuat semua kenanganku tentang kakek hanya bisa aku
bayangkan. Ketika satu-satunya almari kayu jati dijual juga, hatiku semakin tidak terima.
Sementara rumah bentuk joglo dari bambu itu masih
sering menghiasi mimpi ini. Setiap lekuk rumah tergambar jelas di ingatan.
Kadang terdengar gelak-tawa aku bersikejar dengan kakek dan nenek di rumah itu.
Rumah yang sekarang sudah dirobohkan dan tak bisa dilihat lagi wujudnya. Rumah yang menyisakan rindu tak berkesudahan.
No comments:
Post a Comment